Salah Kaprah Mukjizat dan Karamah

السلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Masih banyak salah kaprah dalam keberagamaan masyarakat kita. Salah satunya adalah soal karamah. Karamah selama ini identik dengan “kesaktian” seorang wali. Definisi wali sendiri juga tergolong salah kaprah. Selama ini dikesankan, wali adalah orang yang punya keluarbiasaan, titik. Wali pun menjelma menjadi gelar yang bisa disematkan pada seseorang. Muncullah khurafat-khurafat yang tumbuh di atas salah kaprah ini. Ada “wali” yang fisiknya berada di Indonesia, namun diyakini juga mempunyai jasad lain yang tengah beribadah di Makkah, ada “wali” yang bisa bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam baik dalam keadaan terjaga maupun mimpi, “wali” yang kuat “bermujahadah”, tidak tidur selama 33 tahun, bisa mengkhatamkan al-Qur’an dalam sehari sebanyak 8 kali, dan sebagainya.

Berangkat dari pemahaman yang keliru tentang wali ini, muncul beragam cerita dan tontonan menyesatkan: ada tokoh—yang direpresentasikan sebagai kyai atau orang beserban putih—tasbihnya bisa berubah jadi pisau, biji tasbihnya menjadi ular, dan lain sebagainya. Kekeliruan demi kekeliruan yang muncul ini bersambung terus menjadi mata rantai kesesatan. Muncul sikap-sikap yang berlebihan dalam menyikapi “wali” ini. Ada yang menjadikan “wali” tersebut sebagai wasilah (perantara) dalam doa mereka, dengan keyakinan bahwa doa seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah Subhanahu wata’ala, kecuali dengan perantaraannya.

Bahkan, ada yang melambungkan kedudukannya layaknya ilah. Ada pula yang meninggininggikan derajat seorang wali—dalam anggapannya—di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, atau setidaknya melebihi para sahabat . Padahal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah rasul paling mulia di antara para nabi dan rasul yang derajatnya tidak akan pernah bisa dilampaui di sisi Allah Shallallahu ‘alaihi wasallam oleh manusia mana pun. Juga para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yang mereka adalah manusia-manusia terbaik sesudah para nabi dan rasul. Demikian juga dengan mukjizat. Istilah ini juga ikut-ikutan tereduksi. Mukjizat yang sejatinya lebih sempit maknanya dari ayat, bayyinat, atau burhan—istilah yang seharusnya dipakai—mengalami bias. Mukjizat jamak dipakai sebagai nama lain (sinonim) dari keajaiban. Alhasil, mukjizat bisa terjadi atas manusia, siapa pun dia. Kecelakaan tragis yang menewaskan seluruh penumpang mobil misalnya, namun ada balita selamat. Maka orang-orang menyebutnya dengan mukjizat.

Perlu digarisbawahi, salah kaprah ini bukan sekadar soal penggunaan istilah, namun sudah merembet pada persoalan akidah. Yang jelas, kesaktian dan keluarbiasaan yang terjadi pada seseorang bukanlah ukuran untuk menentukan karamah atau kewalian, namun harus dilihat ketaatan dan kesesuaian pelakunya dengan ajaran Islam. Karena itu, tidak semua peristiwa luar biasa atau aneh yang terjadi dinamakan karamah. Bisa jadi, itu adalah tipu daya setan berupa sihir. Bagi setan, amat mudah untuk mewujudkan keanehan atau keajaiban dalam pandangam manusia.

Setan bisa membantu manusia menghilang dari pandangan orang lain. Inilah yang sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak beriman untuk menipu dan menyesatkan manusia. Oleh karena itu, mari kita kaji lebih dalam perkara mukjizat dan karamah ini, agar kita mendudukkan perkara mukjizat dan karamah ini dengan semestinya. Karamah bukanlah sesuatu yang kita cari, bukan pula tujuan kita. Kita berbeda dengan kalangan sufi. Yang harus kita yakini, keanehan atau keluarbiasaan bukanlah syarat wali Allah Subhanahu wata’ala dan bukan syarat kesempurnaan iman. Wallahu a’lam.

والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته