Sebutan ‘Almarhum’

Apakah boleh mengatakan ketika menyebut orang mati   الْمَرْحُومُ فُلَانٌ (Almarhum Fulan) atau غَمَّدَهُ اللهُ بِرَحْمَتِهِ (Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memenuhinya dengan rahmat-Nya) atau انْتَقَلَ إِلَى رَحْمَةِ اللهِ (Dia telah berpindah kepada rahmat Allah subhanahu wa ta’ala)?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab,

“Kalimat فُلَانٌ الْمَرْحُومُ atau تَغَمَّدَهُ اللهُ بِرَحْمَتِهِ , tidak apa-apa diucapkan, karena pernyataan mereka الْمَرْحُومُ termasuk bab tafa’ul (optimisme, lawan dari pesimis) dan raja’ (berharap), bukan termasuk kabar (berita sebagai suatu kepastian).

Jika memang mengucapkan ucapan tersebut karena berharap kepada Allah subhanahu wa ta’ala (agar orang meninggalnya dirahmati), tidak apa-apa[1].


 Memberi Zakat Tanpa Memberi Tahu Bahwa Itu Adalah Zakat

Apa hukumnya memberi zakat kepada seseorang tanpa memberitahunya bahwa pemberian tersebut adalah zakat?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab,

“Tidak apa-apa memberi zakat kepada orang yang berhak menerima zakat tanpa mengetahui bahwa pemberian tersebut adalah zakat, apabila memang yang menerima zakat tersebut adalah orang yang biasa mengambil dan menerima zakat.

Akan tetapi, apabila orang tersebut termasuk orang yang tidak mau menerima zakat, dia harus diberi tahu bahwa pemberian tersebut adalah zakat hingga dia tahu. Setelah itu, dia boleh menerima atau menolaknya.”

(Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 18/312)


Anak yang Meninggal Sebelum Baligh

Saya pernah membaca dalam kitab Syifa al-‘Alil satu riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha, ketika ada seorang anak kecil meninggal, beliau berkata,

طُوْبى لَكَ طَيْرٌ مِنْ طُيُوْرِ الْجَنَّةِ. فَقَالَ: وَمَا يُدْرِيْكِ يَا عَائِشَةُ أَنَّهُ فِي الْجَنَّةِ؟

“Beruntungnya kamu, (menjadi) burung dari burung-burung surga.”

Berkatalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dari mana engkau tahu, wahai Aisyah, bahwa anak itu pasti masuk surga?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ… )ذَكَرَ مِنْهُمْ  ( اَلطِّفْلُ حَتَّى يَحْتَلِمَ

“Diangkat pena dari tiga golongan… (di antaranya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan), anak kecil sampai dia baligh.”

Kedua riwayat di atas adalah riwayat yang sahih, namun saya tidak tahu bagaimana mengompromikan di antara keduanya.

Jawab:

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab sebagai berikut.

Hadits tersebut sahih, dikeluarkan oleh asy-Syaikhani (al-Bukhari dan Muslim). Dalam hadits tersebut Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

عُصْفُورٌ مِنْ عُصْفُورِ الْجَنَّةِ. فَقَالَ: لاَ يَا عَائِشة، إِنَّ اللهَ خَلَقَ لِلْجَنَّةِ أَهلاْ، خَلَقَهُمْ لَهَا وَهُمْ فِي أَصلاْبِ آبَائِهِمْ، وَخَلَقَ لِلْنَّارِ أَهْلاً، خَلَقَهُمْ لَهَا وَهُمْ فِي أَصْلاَبِ آبَائِهِمْ

        “Burung kecil dari burung-burung surga.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, wahai Aisyah. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan surga untuk penghuninya. Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan mereka untuk masuk surga dalam keadaan mereka masih berada dalam sulbi ayah-ayah mereka. Allah subhanahu wa ta’ala pun menciptakan neraka untuk penghuninya, Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan mereka untuk menghuni neraka dalam keadaan mereka masih berada dalam sulbi ayah-ayah mereka.”

Maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melarang Aisyah radhiallahu ‘anha mempersaksikan seseorang tertentu sebagai penduduk surga atau penduduk neraka. Walaupun yang meninggal adalah seorang anak yang masih kecil, tidak boleh dipastikan (bahwa dia ahli surga atau ahli neraka).

Bisa jadi, seorang anak mengikuti kedua orang tuanya sementara kedua orang tuanya hakikatnya tidak di atas Islam, walaupun menampakkan keislaman. Sebab, terkadang seseorang menampakkan keislaman, namun menyembunyikan yang berlawanan dengan Islam (kemunafikan). Terkadang ibunya menampakkan keislaman, tetapi menyembunyikan yang sebaliknya (kemunafikan).

Seseorang tidak boleh dipersaksikan sebagai penduduk surga atau penduduk neraka, sekalipun masih kanak-kanak (saat meninggalnya). Tidak boleh dikatakan, “Anak ini pasti masuk surga.” Sebab, orang yang berkata demikian tidaklah mengetahui keadaan kedua orang tua si anak, padahal anak-anak mengikuti orang tua mereka.

Siapa yang meninggal ketika kecil dalam keadaan tidak mengikuti kaum muslimin (orang tuanya nonmuslim), maka nanti pada hari kiamat dia diuji— menurut pendapat yang sahih. Apabila dia bukan anak kaum muslimin, melainkan anak orang kafir, dia akan diuji pada hari kiamat. Jika taat dalam ujian tersebut, dia masuk surga. Sebaliknya, apabila durhaka, dia masuk neraka.

Keadaan mereka layaknya ahlul fatrah (orang-orang yang meninggal sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hidup di masa kekosongan pengutusan rasul –pen.), yang akan diuji, menurut pendapat yang sahih. Demikian pula, anak-anak kecil yang meninggal.

Karena itulah, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang anak-anak orang kafir yang meninggal, beliau menjawab, “Allah subhanahu wa ta’ala yang lebih mengetahui apa yang mereka amalkan.”

As-Sunnah menunjukkan bahwa mereka akan diuji, yakni diberi perintah. Mereka diperintah untuk melakukan suatu hal. Jika taat, mereka masuk surga. Jika durhaka, mereka masuk neraka.

Dengan demikian, maksud larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah memberi bimbingan untuk tidak mempersaksikan seorang tertentu sebagai penghuni surga atau penghuni neraka, kecuali mereka yang sudah dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini merupakan salah satu kaidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari Aisyah radhiallahu ‘anha karena Aisyah radhiallahu ‘anha mempersaksikan seorang anak secara ta’yin (menunjuk orangnya). Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Anak ini adalah salah satu burung surga.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari ucapan Aisyah radhiallahu ‘anha ini karena ada sesuatu di balik urusan yang tampak, yang menjadi sebab seseorang tidak masuk surga. (Apabila anak orang kafir), dia akan diuji pada hari kiamat karena kedua orang tuanya tidak di atas Islam.

Adapun anak-anak kaum muslimin, mereka mengikuti orang tua mereka masuk surga, menurut pendapat Ahlus Sunnah wal Jamaah. Anak-anak orang kafir akan diuji pada hari kiamat. Ini yang benar. Barang siapa taat, dia masuk surga; dan siapa yang durhaka, dia masuk neraka, sebagaimana ahlul fatrah. Inilah yang benar. Inilah sisi yang dimaksud oleh hadits.”

(Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, al-Aqidah, hlm. 123—124, pertanyaan no. 58)


Apakah Membaca Hadits Nabi Berpahala?

Ada dalil yang menyebutkan pahala bagi orang yang membaca al- Qur’anul Karim. Apakah orang yang membaca hadits-hadits Nabi juga diberi pahala? Berilah kami fatwa, semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberkahi Anda.

 

Jawab:

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab,

“Ya, membaca ilmu (syar’i) seluruhnya ada pahala yang diperoleh. Mengajarkan ilmu dan mempelajari ilmu termasuk jalan al-Qur’an dan jalan as- Sunnah. Di dalamnya terdapat pahala besar.

Ilmu itu diambil dari al-Qur’an dan dari as-Sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ

‘Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya.’[2]

Keutamaan membaca al-Qur’an disebutkan dalam banyak hadits, di antaranya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اقْرَؤُوْا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي شَفِيْعًا لِأَصْحَابهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

‘Bacalah al-Qur’an, karena dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat kepada orang-orang yang membacanya.’ (HR. Muslim dalam Shahih-nya)

Suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَذْهَبَ إِلَى بَطْحَانَوَادِي فِي الْمَدِيْنَةِفَيَأْنِي بِنَاقَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ فِي غَيْرِ إِثْمٍ وَلاَ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ؟ فَقَالُوْا: كُلُّنَا يُحِبُّ ذَلِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقَالَ: لَأَنْ يَذْهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَتَعَلَّمَ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ وَثَلاَتٌ خَيْرٌ مِنْ ثَلاَثٍ، وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ مِنْ أَرْبَعٍ، وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ الْإِبِلِ

‘Apakah salah seorang dari kalian suka pergi ke Bathan—sebuah lembah di Madinah—lalu dia pulang kembali dengan membawa dua unta betina yang besar, tanpa berbuat dosa dan tidak pula memutus hubungan rahim?’

Para sahabat menjawab, ‘Kami semua menyukai hal tersebut, wahai Rasulullah!’

Beliau bersabda lagi, ‘Salah seorang dari kalian pergi ke masjid, lalu mempelajari dua ayat dari Kitabullah, lebih baik baginya daripada mendapatkan dua unta betina yang besar. Jika dia mempelajari tiga ayat, lebih baik daripada tiga unta. Empat ayat yang dipelajari lebih baik dari empat unta. Demikianlah sejumlah yang dia pelajari lebih baik daripada unta dalam bilangan yang sama[3]; atau seperti yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ini menunjukkan keutamaan mempelajari dan membaca al-Qur’an.

Dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu disebutkan,

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنَ الْقُرْآنِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا

‘Barang siapa membaca satu huruf dari al-Qur’an, dia mendapat satu kebaikan. Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya.’[4]

Demikian pula as-Sunnah ketika dipelajari oleh seorang mukmin. Dia membaca hadits-hadits dan mempelajarinya. Dia akan beroleh pahala yang besar karena hal tersebut termasuk mempelajari ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

‘Siapa yang menempuh satu jalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mudahkan baginya jalan menuju surga dengan upayanya tersebut.’ [5]

Ini menunjukkan bahwa mempelajari ilmu, menghafal hadits-hadits, dan mudzakarah (mendiskusikannya) termasuk sebab masuk surga dan selamat dari api neraka.

Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

‘Siapa yang Allah ingin kebaikan baginya, Allah subhanahu wa ta’ala akan fakihkan dia dalam agama.’ (Muttafaqun ‘alaihi)

Tafaqquh fid din (mempelajari dan mendalami agama) termasuk jalan al- Qur’an dan jalan as-Sunnah. Tafaqquh terhadap sunnah (mempelajari sunnah) termasuk tanda bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan kebaikan bagi si hamba (yang belajar tersebut) sebagaimana halnya tafaqquh al-Quran. Dalil-dalil tentang hal ini banyak, alhamdulillah.” (Kitab Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, al-‘Aqidah, hlm. 11—12, pertanyaan no. 3)


[1] Jadi, apabila yang dimaksud dari ucapan tersebut adalah memastikan si mayat dirahmati (pasti dirahmati dan diliputi oleh rahmat Allah subhanahu wa ta’ala), hal ini tidak dibolehkan karena termasuk urusan gaib. Tidak ada yang mengetahuinya selain Allah subhanahu wa ta’ala.

[2]  Dalam hadits Utsman ibnu Affan radhiallahu ‘anhu disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‘Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.; (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya) –pen.

[3] HR. Muslim

[4] HR. al-Bukhari dalam Tarikhnya, at-Tirmidzi, dll.; dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 3327. –pen.

[5] HR. at-Tirmidzi; dinyatakan sahih dalam al-Jami’ ash-Shahih no. 6298. –pen.