Sepuluh Hak yang Harus Dipenuhi (2)

           Telah kita bicarakan dari ayatul huquq al-’asyrah ini hak Allah dan hak kedua orang tua. Masih tersisa delapan hak yang akan kita bawakan semuanya secara ringkas dalam pembahasan kali ini.

Purple Ribbon 

Hak Karib Kerabat

Karib kerabat adalah orang yang memiliki hubungan nasab dengan kita, baik dari pihak ayah maupun ibu. Mereka adalah kakek dan nenek, saudara sekandung, saudara seayah atau seibu dan anak-anak mereka (keponakan), paman, bibi dan anak-anak mereka.

Silaturahim dengan mereka harus dijaga, tidak diperkenankan untuk diputus. Allah ‘azza wa jalla akan menyambung hubungan dengan orang yang menyambung hubungan rahimnya. Sebaliknya, Allah ‘azza wa jalla akan memutus orang yang memutus hubungan rahimnya. Hal ini disebutkam dalam hadits qudsi yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahihnya,

Allah berfirman kepada rahim, “Siapa yang menyambungmu, Aku akan menyambungnya. Siapa yang memutusmu, Aku akan memutusnya.”

Abdullah ibnu ‘Amr c menyampaikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Orang yang menyambung hubungan (silaturahim) bukanlah yang membalas dengan yang setimpal. Akan tetapi, orang yang menyambung hubungan adalah orang yang bila terputus hubungan rahimnya, dia menyambungnya.” (HR. al-Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bahwa menyambung hubungan dengan kerabat yang menyambung hubungan dengan kita disebut sebagai mukafaah, bukan silaturahim. Sebab, silaturahim hakikatnya adalah menyambung hubungan rahim dengan kerabat yang semula terputus.

Yang disebut silaturahim adalah apa yang menurut ‘urf atau kebiasaan masyarakat muslimin setempat sebagai silaturahim, karena al-Qur’an dan as-Sunnah tidak menerangkan macam, jenis, dan kadarnya.

Ahlul ilmi menyebutkan bahwa di antara bentuk silaturahim tersebut ialah berbuat baik kepada karib kerabat, misalnya dengan memberi nafkah kepada mereka yang membutuhkan sesuai dengan kemampuan dan kelapangan si pemberi, mengunjungi mereka, memberikan kebahagiaan kepada mereka, menghormati dan menunjukkan penghargaan kepada mereka.

 

Hak Anak Yatim & Orang Miskin

Anak yatim adalah anak kecil yang ayahnya meninggal sebelum dia baligh. Berbuat baik kepada anak yatim ialah dengan menjadi pengganti ayah mereka dalam hal memberikan perhatian dan menutupi kebutuhannya. Adapun orang miskin adalah orang yang tidak mendapati nafkah yang bisa mencukupinya. Berbuat baik kepadanya orang miskin diwujudkan dengan memberikan apa yang bisa mencukupinya.

Terpenuhinya hak keduanya akan meringankan derita dan kesusahan dua golongan yang lemah ini di tengahtengah masyarakat muslimin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri diperintah oleh Allah untuk berbuat baik kepada anak yatim dan orang miskin. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Adapun anak yatim janganlah engkau memberatkannya. Dan adapun seorang peminta maka janganlah engkau menghardiknya.” (adh-Dhuha: 9-10)

Di antara sifat orang yang mendustakan agama adalah orang yang tidak menghiraukan anak yatim dan tidak mengajak orang lain untuk memberi makan orang-orang miskin, sebagaimana firman-Nya,

“Tahukah kamu, (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (al-Ma’un: 1-3)

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Sekali-kali tidak, bahkan kalian tidak memuliakan anak yatim dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang-orang miskin.” (al-Fajr: 17-18)

Ayat di atas menunjukkan bahwa hak orang miskin adalah diberi makanan dan dipenuhi kebutuhannya, sedangkan anak yatim diberikan pemuliaan. Orang yang memelihara anak yatim akan beroleh janji berikut ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sambil memberi isyarat dengan jari telunjuk dan ibu jari beliau,

“Aku dan orang yang memelihara/menanggung anak yatim[1] di surga (dekatnya) seperti ini[2].” (HR. al-Bukhari)

Berbuat baik kepada golongan yang lemah ini akan menumbuhkan rasa kasih sayang dalam kalbu, kelunakan dan kelembutan hati, serta perasaan inabah/kembali dengan bertobat kepada Allah. Hal ini tidak bisa dirasakan kecuali oleh orang yang telah mencobanya. Dengan mengasihi mereka yang lemah, tentu kasih Allah pun akan diperoleh, sebagaimana dalam hadits,

“Orang-orang yang penyayang akan disayang/dirahmati oleh ar-Rahman (Dzat Yang Maha Penyayang). Sayangilah makhluk yang ada di bumi niscaya Yang di langit akan menyayangi kalian.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi. Derajatnya sahih sebagaimana dalam Shahih al-Jami’, no. 3522)

 

Hak Tetangga yang Ada Hubungan Dekat / Kerabat dan Tetangga yang Jauh / Bukan Kerabat

Tetangga adalah orang yang tinggal bersebelahan atau dekat dengan tempat tinggal kita. Tetangga itu, kata ahlul ilmi, terbagi tiga,

  1. Tetangga beragama Islam yang ada hubungan kerabat. Dia memiliki tiga hak: hak sebagai tetangga, sebagai kerabat, dan hak sebagai muslim.
  2. Tetangga muslim yang bukan kerabat. Dia memiliki dua hak: hak sebagai tetangga dan hak sebagai muslim.
  3. Tetangga yang kafir Dia memiliki hak sebagai tetangga. Apabila ada hubungan kerabat dengannya, dia memiliki hak tambahan sebagai kerabat.

Jibril terus-menerus berpesan kepada Rasulullah tentang hak tetangga sampai-sampai beliau menyangka akan turun wahyu yang menyebutkan hak tetangga untuk turut mendapat warisan. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Di antara bentuk memenuhi hak tetangga adalah berbuat baik kepada mereka dengan menghadiahkan apa yang mungkin dihadiahkan, walaupun hanya mengirimkan kuah masakan daging atau selainnya, sebagaimana pesan Rasulullah kepada Abu Dzar radhiallahu ‘anhu,

“Wahai Abu Dzar, apabila engkau memasak makanan berkuah, perbanyaklah airnya, dan jangan lupa untuk mengirimkannya kepada tetanggamu.” (HR. Muslim)

Diharamkan bagi kita menyakiti tetangga, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Dengan ucapan, misalnya membuat suara gaduh yang mengganggu ketenangan tetangga, atau memutar radio/tape recorder dengan keras, walaupun yang diputar adalah kaset kajian/ceramah Islam atau tilawah al-Qur’an. Apalagi jika yang diputar adalah musik. Adapun dengan perbuatan, seperti melempar kotoran atau sampah di halaman tetangga, mengetuk pintu rumah mereka dengan keras, membiarkan dahan pohon kita merusak genting/atap rumah tetangga, dan sebagainya.

Barangsiapa mengganggu tetangganya, dia tidak memiliki sifat orang-orang beriman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

“Demi Allah, tidaklah seseorang itu beriman. Demi Allah, tidaklah seseorang itu beriman. Demi Allah, tidaklah seseorang itu beriman.”

Ada yang bertanya, “Siapa orang itu, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Muslim, “Tidak akan masuk surga, orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.”

 

Hak Teman Sejawat

Hak berikutnya yang tersebut dalam ayat al-huquq al-’asyrah adalah hak shahib bil janbi. Ahli tafsir menyebutkan maknanya adalah istri. Ada pula yang mengatakan kawan dalam safar dan ada pula yang berpendapat teman yang salih. Kata ahli tafsir yang lain, maknanya adalah teman dudukmu saat mukim dan kawanmu ketika safar.

Seorang teman memiliki hak tambahan selain hak Islam (hak sebagai seorang muslim), berupa hak untuk dibantu dalam urusan agama dan dunianya, mendapat nasihat, setia kepadanya (tidak berkhianat) dalam keadaan lapang atau sempit, ketika senang atau susah, menyenangi untuknya apa yang disenangi untuk dirinya, dan membenci untuknya apa yang dibenci oleh dirinya. Semakin dekat pertemanan atau persahabatan, maka semakin ditekankan hak tersebut dan semakin bertambah.

 

Hak Ibnu Sabil

Ibnu sabil adalah tamu atau musafir yang melintas melewati tempat Anda. Apabila si musafir kehabisan bekal dalam safarnya, berbuat baik kepadanya dilakukan dengan memberinya zakat atau sedekah yang cukup untuk menyampaikannya ke tujuan, walaupun dia adalah orang yang berharta di negeri tempat tinggalnya.

Ibnu sabil memiliki hak terhadap kaum muslimin karena musafir biasanya memiliki kebutuhan/keperluankeperluan. Selain itu, dia adalah orang asing yang perlu dibantu untuk menunaikan maksud/tujuannya, atau sebagian dari tujuannya. Dia pantas dimuliakan dan dibuat tidak merasa asing di negeri yang sebenarnya asing (bukan negerinya sendiri).

 

Hak Hamba Sahaya

Perbudakan dalam Islam memang ada, namun jangan dibayangkan di benak kita gambaran yang kelam penuh kelaliman. Sungguh, semua itu tidak didapatkan dalam Islam. Perbudakan tidak manusiawi yang sarat kezaliman itu hanyalah ada di luar Islam, agama kekafiran yang memperbudak manusia dan memperlakukannya layaknya binatang.

Islam sebagai agama yang dipenuhi keadilan memberikan hak kepada budak atau hamba sahaya dan menanggungkan kewajiban kepada tuan pemiliknya untuk berbuat baik kepadanya. Banyak nash dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang menunjukkan keharusan memperhatikan hak hamba sahaya ini. Satu bukti Islam tidak mengabaikan hak hamba sahaya adalah adanya dorongan untuk memerdekakannya. Bahkan, dalam Islam, banyak perkara pelanggaran yang ditebus dengan memerdekakan budak, seperti melanggar sumpah, tidak memenuhi nazar, dan bersetubuh di siang hari Ramadhan.

Ketika Rasulullah memberi Abu Dzar radhiallahu ‘anhu seorang hamba sahaya, beliau berpesan, “Terimalah wasiatku dalam urusan budak ini agar engkau berbuat baik dan bermuamalah kepadanya dengan baik pula.”

Ternyata Abu Dzar radhiallahu ‘anhu memerdekakan hamba sahaya tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang engkau perbuat terhadap hamba sahayamu?”

Abu Dzar radhiallahu ‘anhu menjawab, “Anda memerintahku berbuat baik kepadanya, maka saya memerdekakannya.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dinyatakan sahih dalam Shahih al-Adab al-Mufrad no. 121)

Rasulullah pernah bersabda kepada pemilik hamba sahaya tentang urusan hamba sahaya mereka, “Berilah para hamba sahaya makanan yang biasa kalian makan. Berilah mereka pakaian yang kalian pakai.” (HR. Muslim)

Pemilik hamba sahaya diperintah untuk tidak membebani hamba sahayanya pekerjaan yang di luar kemampuan mereka. Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hamba sahaya memiliki hak untuk beroleh makanan dan pakaian. Dia tidak boleh dibebani pekerjaan yang tidak dia sanggupi.” (HR. Muslim)

Cukuplah ayat-ayat berikut ini menunjukkan mahasinul Islam (kebaikan Islam) kepada hamba sahaya dengan memberi dorongan untuk memerdekakannya, di samping menyebut tentang berbuat baik kepada anak yatim dan orang miskin,

“Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) dia menempuh ‹aqabah (jalan yang mendaki lagi sukar)? Tahukah kamu , apakah ‹aqabah itu? (Yaitu) melepaskan (memerdekakan) budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir.” (al-Balad: 11-16)

Allah menawarkan, tidakkah kita ingin menempuh jalan menuju kesuksesan dan kebaikan? Kemudian Allah menerangkan jalan tersebut, yaitu membebaskan atau memerdekakan hamba sahaya dari perbudakan.

Banyak pula hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan keutamaan memerdekakan budak. Satu di antaranya ialah hadits berikut ini.

“Siapa yang memerdekakan hamba sahaya yang beriman (dari perbudakan), maka itu menjadi tebusannya dari api neraka.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan an-Nasa’i. Derajatnya sahih sebagaimana dalam Shahih al-Jami’ no. 6050)

Jalan kebaikan lain yang Allah tawarkan dalam ayat di atas ialah memberi makan anak yatim yang ada hubungan kerabat dan orang miskin yang tidak memiliki apa-apa pada hari terjadi kelaparan.

Satu lagi yang menunjukkan keluhuran ajaran Islam, Islam menjadikan hamba sahaya sebagai saudara pemiliknya. Karena itu, layaknya saudara, ia harus diperlakukan dengan baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang maknanya, “Mereka adalah saudara-saudara kalian yang Allah jadikan mereka di bawah kekuasaan kalian….” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

 Ditulis oleh Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah

Sumber:

  • al-Qur’an al-Karim
  • Muhadharat fil ‘Aqidah wad Da’wah, asy-Syaikh

Shalih Fauzan

  • Shahih al-Adab al-Mufrad
  • Shahih al-Jami’ ash-Shaghir, al-Albani
  • Syarhu Riyadhish Shalihin, Ibnu Utsaimin
  • Taisir al-Karim ar-Rahman, as-Sa’di
  • Tafsir Ibnu Katsir

[1] Memelihara dan menanggung anak yatim adalah dengan menunaikan segala sesuatu yang dapat memberikan kemaslahatan dan kebaikan bagi agama dan dunia si yatim. Untuk urusan agamanya adalah dengan memberikan pendidikan, bimbingan, pengajaran, dan semisalnya. Adapun untuk urusan dunianya, dengan memberinya makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan semisalnya.

 [2] Seperti dekatnya ibu jari dan jari telunjuk.