Shahihkah Hadits Ibnu Abbas Tentang Bolehnya Nyanyian dan Alat Musik?

(ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Rijal, Lc.)

 

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ n خَرَجَ وقَدْ رَشَّ حَسَّانُ فِنَاءَ أَطِمِهِ وَأَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ n سِمَاطَينِ وَبَيْنَهُمْ جَارِيةٌ لِحسَّانَ يُقَالُ لَـهَا سِيرِينُ، وَمَعَهَا مِزْهَرٌ لَهَا تُغَنِّيهِمْ وَهِيَ تَقُولُ فِي غِنَائِهَا: هَلْ عَلَيَّ وَيْحَكُمْ * إنْ لَهَوْتُ مِنْ حَرَجٍ. فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللهِ n وَقَالَ: لَا حَرَجَ

Bahwasanya Rasulullah n keluar ketika Hassan1 z telah menyirami halaman tempat tinggalnya, sementara para sahabat g duduk dua shaf, di tengah-tengah mereka budak perempuan milik Hassan z bernama Sirin membawa mizhar-nya (sejenis alat musik berdawai seperti kecapi) berdendang untuk para sahabat. Dalam nyanyiannya dia mengatakan: “Celaka! Apakah ada atasku * dosa jika aku berdendang?” Maka Rasulullah n tersenyum seraya bersabda: “Tidak mengapa (tidak ada dosa atasmu).”

Sepintas, siapapun yang membaca hadits ini akan berkesimpulan bahwa nyanyian dan alat musik adalah sesuatu yang wajar dan boleh-boleh saja. Demikian dipahami dari zhahir hadits ini. Rasulullah n memberikan hukum atas perbuatan budak Hassan bin Tsabit z dengan sabda beliau n: “La haraj” (tidak mengapa), yang menunjukkan kebolehan apa yang dilakukan Sirin, budak perempuan Hassan bin Tsabit z.

Dalam hadits ini juga terdapat taqrir (persetujuan) Nabi n kepada para sahabat g yang menikmati mizhar dan mendengarkan alunan suara Sirin. Sehingga dipahami bahwa perbuatan tersebut adalah perkara mubah, sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul bahwa persetujuan Nabi n atas perbuatan yang dilakukan di hadapan beliau menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut.

Para pembaca rahimakumullah (semoga Allah l merahmati Anda). Sesungguhnya hadits ini adalah sekian dari syubhat-syubhat yang dijadikan sandaran oleh hati-hati berpenyakit untuk membolehkan nyanyian dan alat musik. Akan tetapi benarkah hadits ini adalah dalil untuk mereka? Shahihkah penyandaran hadits ini kepada Rasulullah n?

 

Tinjauan Sanad Hadits

Ibnu ‘Asakir2 menyebutkan hadits Abdullah bin ‘Abbas c di atas dalam kitab beliau Tarikh Dimasyq (12/415) dari jalan Abu Uwais, dari Al-Husain bin Abdillah, dari ‘Ikrimah, dari Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib c.

Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah n, bahkan tergolong hadits yang maudhu’ (palsu). Abul Faraj Ibnul Jauzi memasukkannya dalam kitab beliau Al-Maudhu’at (3/115-116) pada bab Fi Ibahatil Ghina (Bab Tentang Bolehnya Nyanyian). Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t dalam takhrij beliau terhadap risalah Ada`u Ma Wajaba Min Bayani Wadh’il Wadhdha’ina Fi Rajab (hal. 150) mengatakan bahwa hadits ini bathil3.

Batilnya hadits Ibnu ‘Abbas c dapat diketahui dari beberapa tinjauan.

Pertama, kelemahan sanadnya.

Kedua, penyelisihannya terhadap Al-Qur`an.

Ketiga, penyelisihannya terhadap As-Sunnah yang shahih.

Keempat, hadits ini sangat bertentangan dengan keadaan sahabat Rasulullah n sebagai generasi terbaik, yang sangat menjaga batasan-batasan Allah k dan sangat jauh dari perkara-perkara yang diharamkan.

Empat tinjauan inilah yang insya Allah akan dibahas pada kesempatan kali ini.

Diawali dari tinjauan sanad hadits, kita dapatkan dalam hadits ini dua orang perawi yang diperbincangkan yaitu Al-Husain bin ‘Abdillah dan Abu Uwais.

Perawi pertama, dia adalah Al-Husain bin ‘Abdillah bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib Al-Hasyimi Al-Madani. Berikut kita nukilkan hukum ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil tentang Al-Husain bin ‘Abdillah.4

Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata dalam riwayat Al-Atsram: “Lahu asy-ya`u munkarah (Dia mempunyai beberapa perkara mungkar).”

Yahya bin Ma’in t berkata: “Huwa dha’if (Dia lemah).”

Abu Zur’ah Ar-Razi t berkata: “Laisa bi qawiyyin (Dia bukanlah orang yang kuat).”

Abu Hatim Ar-Razi t berkata: “Dha’iful hadits (Haditsnya lemah).”5

An-Nasa`i t berkata: “Matruk (Ditinggalkan).”6

Al-Jauzajani t berkata: “Laa yusytaghal bi haditsihi (Tidak disibukkan dengan haditsnya).”7

Ibnu Hibban t berkata: “Yuqallibul asanid wa yarfa’ul marasil (Dia membolak-balik sanad dan me-marfu’-kan yang mursal).”8

Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Dha’if (lemah).”9

Ibnul Jauzi t berkata dalam kitabnya Al-Maudhu’at (3/116) –setelah menyebutkan hadits di atas–: “Adapun Al-Husain, ‘Ali bin Al-Madini berkata tentangnya: “Taraktu haditsahu (Aku meninggalkan haditsnya).”10

An-Nasa`i berkata: “Matrukul hadits (Haditsnya ditinggalkan).” As-Sa’di berkata: “Laa yusytaghal bi haditsihi (Tidak disibukkan dengan haditsnya).”

Dari perkataan-perkataan ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil di atas didapatkan bahwa mereka bersepakat akan kedhai’fan (kelemahan) Al-Husain. Hal ini tentunya mengakibatkan lemah dan tertolaknya hadits yang diriwayatkannya. Oleh karena itulah Al-Imam Adz-Dzahabi t dalam kitab beliau Mizanul I’tidal (2/292) memasukkan hadits Ibnu ‘Abbas c ini sebagai salah satu dari kemungkaran-kemungkaran hadits Al-Husain bin ‘Abdillah.

Tentang perawi kedua yaitu Abu Uwais, berkata Ibnul Jauzi: “ Abu Uwais, namanya adalah ‘Abdullah bin ‘Abdillah bin Uwais. Ahmad (bin Hanbal) dan Yahya (bin Ma’in) berkata: “Dha’iful hadits (Haditsnya lemah).” Dan Yahya pernah berkata: “Kana yasriqul hadits (Adalah dia mencuri hadits).” (Al-Maudhu’at 3/116)

Adz-Dzahabi berkata tentang Abu Uwais: “Laisa biqawiyyin (Dia bukan orang yang kuat).”11

Demikian secara singkat beberapa nukilan ucapan ulama tentang kedha’ifan Al-Husain dan Abu Uwais. Wallahu a’lam.

 

Penyelisihan terhadap Al-Qur`an

Para pembaca rahimakumullah (semoga Allah l merahmati Anda).

Lemahnya hadits Ibnu ‘Abbas c bukan hanya ditinjau dari sisi sanad. Penyelisihan hadits ini terhadap Al-Qur`an dan hadits shahih semakin memperjelas kebatilannya. Al-Qur`an menunjukkan haramnya musik dan alat-alat musik. Demikian pula sabda-sabda Rasulullah n yang shahih.

Di antara ayat yang menunjukkan haramnya musik adalah firman Allah l:

“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suara (ajakan)mu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki, dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak serta beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (Al-Isra`: 64)
Mujahid t mengatakan bahwa makna (ﯓ) adalah perkataan sia-sia dan nyanyian. Demikian Ibnu Jarir Ath-Thabari t meriwayatkan perkataan Mujahid t dalam tafsirnya.12
Dalam ayat lain Allah l berfirman:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Asy-Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di t berkata dalam tafsir beliau: “Yang dimaksud dengan ‘perkataan yang tidak berguna’ adalah perkataan-perkataan yang melalaikan hati, yang menghalangi hati dari tujuan yang mulia. Maka masuk di dalamnya seluruh jenis perkataan haram, yang sia-sia dan batil, ucapan-ucapan yang tidak masuk akal dari perkataan yang menjerumuskan kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. (Juga) perkataan orang-orang yang menolak kebenaran dan berdebat dengan kebatilan untuk menghancurkan al-haq, ghibah, namimah (adu domba), dusta, cercaan dan celaan. (Termasuk juga) nyanyian, dan alat-alat musik,13 dan perkara-perkara melalaikan yang tidak ada manfaatnya, baik dunia atau agama.” (Taisir Al-Karimir Rahman, 6/150)
As-Sunnah Ash-Shahihah Bertentangan dengan Hadits Ibnu ‘Abbas c
Di antara hadits Nabi n yang menunjukkan haramnya musik dan alat musik adalah yang diriwayatkan dari sahabat Abu Malik Al-Asy’ari z, bahwa Rasulullah n bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْـمَعَازِفَ
“Sungguh akan ada dari umatku sekelompok kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik.”
Al-Imam Al-Bukhari t meriwayatkan hadits ini secara mu’allaq dalam Ash-Shahih. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban t dalam Shahih-nya, juga yang lainnya dengan sanad yang shahih.14
Hadits yang mulia ini sangat tegas menyatakan haramnya alat musik sebagaimana haramnya zina, khamr, dan sutera (bagi laki-laki). Hadits ini sekaligus menjadi bukti dari sekian banyak bukti kenabian, di mana Rasulullah n mengabarkan perkara yang belum terjadi, kemudian terjadi seperti apa yang beliau kabarkan. Betapa banyak kaum muslimin menghalalkan musik dan alat-alat musik dengan berbagai model dan alirannya. Kenyataan yang menimpa umat ini sangat menyedihkan. Dan lebih menyedihkan lagi, ketika orang yang menghalalkannya adalah sosok yang mengaku sebagai da’i dan ustadz, kemudian menjual dagangannya dengan menyuguhkan hadits-hadits palsu yang tidak sah dari Rasulullah n. Subhanallah! Tidakkah mereka takut dengan ancaman Rasulullah n dalam hadits yang mutawatir:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berdusta atasnamaku hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”15
Hadits kedua di antara hadits-hadits yang mengharamkan musik dan alat musik adalah sabda Rasulullah n:
صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ: صَوْتُ مِزْمَارٍ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَصَوْتُ وَيْلٍ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ
“Dua suara yang dilaknat: suara mizmar (seruling) di kala suka, dan suara (ratapan) celaka di kala musibah.”16
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Dalam hadits terdapat pengharaman alat musik, karena mizmar adalah alat (musik) yang ditiup. Hadits ini merupakan salah satu dari banyak hadits yang membantah pembolehan Ibnu Hazm terhadap alat-alat musik.”17
Kemuliaan Sahabat Membantah Hadits Ibnu Abbas c
Para pembaca rahimakumullah. Seorang muslim yang mengenal kesempurnaan Rasulullah n dan kemuliaan para sahabat beliau g, akan merasakan keanehan dan keganjilan pada hadits yang kita bahas ini. Bagaimana tidak? Hadits tersebut mengandung celaan terhadap sahabat g, bahkan kepada Rasulullah n.
Inilah sisi keempat yang dengannya kita mengenal kebatilan hadits yang kita bahas. Yaitu dengan membandingkan keadaan sahabat Rasulullah n yang sangat berlawanan dengan apa yang ditunjukkan oleh hadits.
Telah menjadi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwasanya sahabat Rasulullah n adalah generasi terbaik umat ini, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Mas’ud z, Rasulullah n bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi sesudahnya (tabi’in), kemudian generasi sesudahnya (tabi’ut tabi’in).”18
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan hafizhahullah berkata: “Yang wajib diyakini tentang sahabat, bahwasanya mereka adalah umat yang paling mulia dan generasi terbaik. Karena mereka adalah pendahulu (dalam kebaikan), memiliki kekhususan berupa menyertai Nabi n, berjihad bersama beliau, mengemban syariat dari beliau, kemudian menyampaikannya kepada orang-orang sesudah mereka. Sungguh Allah k telah memuji mereka dalam kitab-Nya. Allah  l berfirman:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di bawahnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Dalam ayat lain Allah l berfirman:
“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)19
Perhatikan sifat-sifat mulia yang Allah l berikan kepada sahabat dalam dua ayat di atas. Tidak ada lagi keraguan akan kemuliaan sahabat dan tingginya derajat mereka di sisi Allah l.
Sejarah Islam turut membuktikan bahwa mereka adalah generasi terdepan umat ini. Waktu mereka dipenuhi dengan mempelajari ilmu, mengamalkan dan menyebarkannya. Mereka adalah mujahidin yang senantiasa berlaga di medan jihad untuk menegakkan kalimat Allah l di muka bumi. Gelapnya malam mereka lalui dengan bertaubat dan berdiri di hadapan Allah l, membaca dan mentadaburi ayat-ayat-Nya. Demikianlah sejarah bertutur, mereka adalah generasi termulia yang paling bersemangat dalam kebaikan serta paling jauh dari perkara yang tidak Allah l ridhai.
Adalah suatu hal yang mustahil bagi sahabat Rasulullah n yang waktu mereka dipenuhi dengan ketaatan kepada Allah l, kemudian mereka membuang waktu dengan perbuatan sia-sia bahkan diharamkan Allah l. Sangat mustahil, sahabat Rasulullah n yang demikian mulianya, duduk bershaf menyia-nyiakan waktu dengan perkara haram, memandang wanita, menikmati alunan lagu dan alat musik dari seorang perempuan yang tidak halal di tengah-tengah mereka. Demi Allah, hal ini adalah kedustaan yang nyata! Dan lebih tidak mungkin lagi Rasulullah n membiarkan kemungkaran yang tampak di hadapan beliau.
Di akhir pembahasan, sejenak kita buka lembaran kehidupan sahabat g bersama Rasulullah n yang penuh dengan kemuliaan. Sebuah sejarah yang setiap muslim tidak pernah bosan membacanya.
Al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats As-Sijistani t dalam kitabnya As-Sunan, meriwayatkan sebuah hadits dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah z. Beliau z menceritakan di antara kisah kesungguhan sahabat dalam beribadah dan berjihad fi sabilillah.
عَنْ جَابِرٍ [فِي رِوَايَةٍ عِنْدَ أَحْمَدَ: فِيْمَا يَذْكُرُ مِنَ اجْتِهَادِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ n فِي الْعِبَادَةِ] قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ n يَعْنِي فِي غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ فَأَصَابَ رَجُلٌ امْرَأَةَ رَجُلٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَحَلَفَ: أَنْ لاَ أَنْتَهِيَ حَتَّى أُهَرِيقَ دَمًا فِي أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ. فَخَرَجَ يَتْبَعُ أَثَرَ النَّبِيِّ n فَنَزَلَ النَّبِيُّ n مَنْزِلًا فَقَالَ: مَنْ رَجُلٌ يَكْلَؤُنَا؟ فَانْتَدَبَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَرَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَالَ: كُونَا بِفَمِ الشِّعْبِ. قَالَ: فَلَمَّا خَرَجَ الرَّجُلاَنِ إِلَى فَمِ الشِّعْبِ اضْطَجَعَ الْمُهَاجِرِيُّ وَقَامَ الْأَنْصَارِيُّ يُصَلِّي وَأَتَى الرَّجُلُ فَلَمَّا رَأَى شَخْصَهُ عَرِفَ أَنَّهُ رَبِيئَةٌ لِلْقَوْمِ، فَرَمَاهُ بِسَهْمٍ فَوَضَعَهُ فِيهِ فَنَزَعَهُ حَتَّى رَمَاهُ بِثَلاَثَةِ أَسْهُمٍ ثُمَّ رَكَعَ وَسَجَدَ ثُمَّ انْتَبَهَ صَاحِبُهُ، فَلَمَّا عَرِفَ أَنَّهُمْ قَدْ نَذِرُوا بِهِ هَرَبَ، وَلَمَّا رَأَى الْمُهَاجِرِيُّ مَا بِالْأَنْصَارِيِّ مِنَ الدَّمِ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ، أَلاَ أَنْبَهْتَنِي أَوَّلَ مَا رَمَى؟ :قَالَ كُنْتُ فِي سُورَةٍ أَقْرَؤُهَا، فَلَمْ أُحِبَّ أَنْ أَقْطَعَهَا
Dari Jabir bin Abdillah z [tentang kesungguhan sahabat Rasulullah n dalam beribadah]20, beliau berkata: Kami keluar bersama Rasulullah n pada perang Dzatur Riqa’, (ketika itu) seorang sahabat membunuh perempuan –istri dari seorang musyrikin–21, maka dia (laki-laki musyrik tersebut) bersumpah tidak akan berhenti (mengejar) hingga menumpahkan darah pada sahabat Muhammad n. Pergilah dia mengikuti jejak Nabi n. Maka singgahlah Nabi n di suatu tempat, kemudian beliau bersabda: “Siapakah yang akan menjaga kami?” Bangkitlah seorang sahabat dari Muhajirin dan seorang dari Anshar.22 Beliau bersabda: “Berjagalah di ujung syi’b (lembah antara dua bukit).” Tatkala keduanya telah pergi menuju ujung lembah di antara dua bukit, tidurlah sahabat dari Muhajirin, sedangkan sahabat dari Anshar tadi berdiri shalat. (Di saat itu) datanglah laki-laki musyrik melihat sahabat Anshar (dalam keadaan shalat), dan tahu bahwa dia adalah penjaga kaum. (Maka) dilepaskanlah anak panah hingga mengenai sahabat Anshar. Lantas (oleh sahabat yang terpanah) dicabutnya anak panah itu, hingga tiga kali terkena anak panah. Kemudian sahabat Anshar itu ruku’ dan sujud, hingga bangunlah sahabatnya (dari Muhajirin). Orang musyrik inipun tahu bahwasanya sahabat telah bersiaga, maka dia pun lari. Berkatalah si Muhajir ketika melihat darah pada sahabatnya: “Subhanallah, mengapa engkau tidak bangunkan aku ketika engkau baru dipanah?” Sahabat Anshar itu menjawab: “Aku ketika itu sedang membaca sebuah surat, dan aku tidak suka untuk memotongnya.”23
Perang Dzatur Riqa’ terjadi pada tahun ke-4 Hijriah demikian dikatakan Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya. Disebut perang Dzatur Riqa’ karena para sahabat Rasulullah n ketika itu banyak yang membalut kaki-kaki mereka yang terluka dalam peperangan, sebagaimana ditunjukkan riwayat Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih keduanya, dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari z. Beliau z berkata:
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ n فِي غَزْوَةٍ وَنَحْنُ سِتَّةُ نَفَرٍ بَيْنَنَا بَعِيرٌ نَعْتَقِبُهُ فَنَقِبَتْ أَقْدَامُنَا وَنَقِبَتْ قَدَمَايَ وَسَقَطَتْ أَظْفَارِي، وَكُنَّا نَلُفُّ عَلَى أَرْجُلِنَا الْخِرَقَ، فَسُمِّيَتْ غَزْوَةَ ذَاتِ الرِّقَاعِ لِمَا كُنَّا نَعْصِبُ مِنَ الْخِرَقِ عَلَى أَرْجُلِنَا
“Kami keluar bersama Rasulullah n dalam sebuah peperangan, dan kami enam orang memakai satu onta bergantian dalam mengendarainya. Kaki-kaki kami terluka, dan terluka juga kakiku hingga lepas kuku-kukunya. Kami ketika itu membalut kaki-kaki kami dengan kain-kain, maka dinamailah perang tersebut dengan perang Dzatur Riqa’ karena apa yang kami lakukan, (yaitu) membalut kaki-kaki kami dengan kain.”24
Lihatlah pembaca rahimakumullah, sebagian dari perjuangan yang sangat menakjubkan dari Rasulullah n dan generasi terbaik umat ini. Berjalan siang malam menempuh sahara dengan segala kesukarannya. Mengorbankan jiwa dan raga untuk menegakkan kalimat Laa ilaa ha illallah di muka bumi.
Perhatikan pula bagaimana sahabat Anshar itu tegak berdiri membaca kalam Allah l dalam shalatnya di tengah-tengah tugas menjaga Rasulullah n. Darah yang mengalirpun tidak lagi dihiraukan untuk tetap merenungi kalam Allah k. Demikian pula kakinya tetap kokoh berdiri di hadapan Allah l. Maka, orang yang mengetahui sejarah dan sadar akan kedudukan sahabat, dia akan terkejut ketika mendengar hadits Ibnu ‘Abbas c yang sangat tidak sesuai dengan kehidupan sahabat g. Selanjutnya dia akan bertanya: “Shahihkah hadits ini?” Maka jawabnya: Hadits ini bathil dan didustakan atas nama Rasulullah n.
Pembaca rahimakumullah (semoga Anda dirahmati Allah l).
Di akhir pembahasan ini, kita meminta kepada Allah l agar Dia melindungi kita dari kesesatan dan penyimpangan di tengah badai fitnah yang menimpa umat ini. Semoga Allah l menjadikan hati kita mencintai keimanan, mencintai Rasulullah n dan generasi terbaik umat ini. Dan semoga Allah l mengumpulkan kita bersama mereka di jannah-Nya yang penuh kenikmatan dan kebahagiaan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Semoga Allah l senantiasa melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad n, keluarganya, dan para sahabatnya.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

1 Beliau adalah Hassan bin Tsabit bin Al-Mundzir bin Haram Al-Anshari Al-Khazraji, penyair Rasulullah n. Beliau meninggal tahun 54 H. Lihat Taqrib At-Tahdzib karya Ibnu Hajar Al-’Asqalani.
2 Beliau adalah Al-Hafizh Abul Qasim ‘Ali bin Al-Hasan bin Hibatullah bin Abdillah Asy-Syafi’i. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Asakir, meninggal tahun 571 H.
3 Lafadz bathil ketika digunakan untuk menghukumi sebuah hadits, semakna dengan lafadz maudhu’ atau makdzub atau hadza min ifkihi. Semuanya adalah lafadz-lafadz sharih (jelas) yang menunjukkan akan kepalsuan hadits. Wallahu a’lam.
4 Lafadz-lafadz jarh (pencacatan rawi) tersebut adalah istilah yang harus dipahami dan dicermati secara khusus dalam ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil. Semua ibarat yang dilontarkan terhadap Al-Husain bin ‘Abdillah dan Abu Uwais adalah jarh (pencacatan) terhadap keduanya. Wallahu a’lam.
5 Ucapan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Zur’ah Ar-Razi, dan An-Nasa`i disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim Ar-Razi dalam kitab beliau Al-Jarh Wa At-Ta’dil (2/57).
6 Lihat Adh-Dhu’afa` wal Matrukin karya Al-Imam An-Nasa`i (1/33). Ibnu Abi Hatim juga menukilkan ucapan An-Nasa`i dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (2/57).
7 Lihat Asy-Syajarah Fi Ahwalir Rijal karya Al-Jauzajani, hal. 240.
8 Lihat Al-Majruhin karya Ibnu Hibban Al-Busti (1/242).
9 Lihat Taqribut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani.
10 Ucapan ‘Ali bin Al-Madini disebutkan Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (2/57). Lihat juga Ad-Dhu’afa` karya Al-‘Uqaili (1/245).
11 Mizanul I’tidal karya Adz-Dzahabi (2/292).
12 Tafsir At-Thabari (15/118)
13 Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsir beliau (21/61-64) meriwayatkan sejumlah riwayat dari sahabat dan tabi’in tentang makna (  ﭴ    ﭵ) yaitu nyanyian, maka rujuklah kepadanya.
14 Pendapat Ibnu Hazm tentang dha’ifnya hadits ini adalah pendapat yang tertolak. Untuk menambah keterangan, lihat pembahasan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t dalam risalah beliau Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 38).
15 HR. Al-Bukhari no.108, dari hadits Az-Zubair bin Al-‘Awwam z. Di awal hadits ini disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Az-Zubair t bertanya kepada ayahnya: “Aku tidak mendengar engkau banyak menyampaikan hadits dari Rasulullah n sebagaimana fulan dan fulan menyampaikannya.” Kemudian Az-Zubair berkata sebagaimana lafadz hadits di atas.
16 HR. Abu Bakr Asy-Syafi’i dalam Ar-Ruba’iyat (2/22/1). Lihat pembahasan hadits pada Ash-Shahihah, no. 427.
17 Lihat Ash-Shahihah (1/2/790) hal. 791.
18 HR. Al-Bukhari no. 2652.19 Kitab At-Tauhid (hal. 122-123) oleh Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan.
20 Apa yang ada di antara dua kurung ada dalam riwayat Al-Imam Ahmad. Lihat Musnad Al-Imam Ahmad (3/359).
21 Faedah: Pada asalnya perempuan tidak boleh dibunuh dalam peperangan, kecuali jika dia termasuk pasukan musyrikin yang ikut berperang. Maka tidak ada isykal dalam hadits ini karena dibunuhnya perempuan musyrik dalam perang Dzatur Riqa’. Boleh jadi karena dia masuk dalam barisan pasukan musyrikin, atau terbunuh tanpa disengaja. Demikian keterangan Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah ketika mensyarah hadits ini.
22 Dalam kitab ‘Aunul Ma’bud (1/333) penulis memberikan faedah bahwa Al-Imam Al-Baihaqi dalam Dala`il An-Nubuwah menyebutkan nama dua sahabat ini, yaitu ‘Ammar bin Yasir dari kalangan Muhajirin dan ‘Abbad bin Bisyr dari Anshar.
23 HR. Abu Dawud (No.198)
Di antara faedah hadits Jabir bin Abdillah z yang bisa kita petik: (1) Hadits ini merupakan dalil bahwa darah (selain darah haid dan nifas) tidak najis (2) Keluarnya darah dengan sebab luka tidak membatalkan wudhu, sebagaimana sahabat Anshar terus melakukan shalat dalam keadaan darah mengalir (3) Menempuh sebab tidak menafikan tawakal, sebagaimana ditunjukkan hadits bahwa Rasulullah n memerintahkan sahabat untuk melakukan penjagaan (4) Shalat malam tidak disyaratkan harus tidur sebelumnya, sebagaimana shalatnya sahabat Anshar ini. Juga ditunjukkan oleh hadits wasiat Rasulullah n kepada Abu Hurairah z untuk shalat witir sebelum tidur. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
24 HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shahih, kitab Al-Maghazi, Bab Ghazwatu Dzatur Riqa’ (no. 4128) dan Muslim dalam Ash-Shahih, Kitab Al-Jihad was Sair, Bab Ghazwatu Dzatir Riqa’ (no.1816)