Sifat Shalat Nabi (3) : Bersedekap

Bersedekap dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri

Termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah shalat adalah setelah mengangkat tangan dalam takbiratul ihram, tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri saat bersedekap. Beliau bersabda:

“Kami, segenap para nabi, diperintahkan untuk menyegerakan berbuka puasa, mengakhirkan makan sahur, dan kami diperintah untuk meletakkan tangan-tangan kanan kami di atas tangan-tangan kiri kami di dalam shalat.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir no. 11485, dan selainnya dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, dishahihkan dalam Ashlu Shifah Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1/206)

Jabir radhiallahu ‘anhuma mengabarkan, di saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang lelaki yang sedang shalat dengan meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanannya, beliau pun melepaskan tangan tersebut lalu membetulkannya dengan meletakkan tangan kanan orang tersebut di atas tangan kirinya. (HR. Ahmad 3/381. Al-Haitsami rahimahullah berkata, “Rijalnya rijal Ash-Shahih.” Majma’ Az-Zawaid 2/105)

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku meletakkan tangan kiri di atas tangan kananku di dalam shalat. Beliau pun mengambil tangan kananku lalu diletakkannya di atas tangan kiriku.” (HR. Abu Dawud no. 755, dihasankan dalam Shahih Abi Dawud dan Fathul Bari, 2/291)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahihnya menyebutkan Bab Wadh’il yumna ‘alal yusra (peletakan tangan kanan di atas tangan kiri) dan membawakan riwayat Sahl ibnu Sa’d radhiallahu ‘anhu yang mengabarkan: “Adalah orang-orang diperintah agar seseorang meletakkan tangan kanannya di atas lengan kiri bagian bawah (lengan bawah/hasta) di dalam shalat.”

Abu Hazim, perawi yang meriwayatkan dari Sahl mengatakan, “Aku tidak mengetahui dari Sahl kecuali dia menyandarkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Al-Bukhari no. 740)

Faedah

Para ulama menjelaskan, di antara hikmah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri adalah hal ini merupakan tata cara seorang peminta yang hina (meminta dengan menghinakan diri di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala). Cara seperti ini paling menahan/menghalangi dari berbuat main-main dalam shalat dan lebih dekat pada kekhusyukan.” (Fathul Bari, 2/291)

Cara peletakannya

Tangan kanan tadi diletakkan di atas tangan kiri dengan:

– al-wadha’: diletakkan saja di atas punggung telapak tangan kiri, pergelangan, dan hasta/lengannya (antara siku dan telapak tangan).

Dalilnya adalah hadits Wa’il ibnu Hujr radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Sungguh-sungguh aku akan melihat kepada shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengetahui secara tepat bagaimana shalat beliau. Aku pun mengamati beliau. Beliau berdiri, lalu bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga berhadapan dengan bagian atas kedua telinga beliau. Kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kiri, pergelangan, dan hastanya….” (HR. Abu Dawud no. 727, An-Nasa’i no. 889, dishahihkan dalam Al-Irwa’ 2/68-69)

Atau bisa pula dengan cara:

– al-qabdh: tangan kanan menggenggam tangan kiri.

Cara ini disebutkan dalam sebagian riwayat hadits Wail ibnu Hujr radhiallahu ‘anhu seperti dalam riwayat An-Nasa’i (no. 887). Wail berkata: “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila berdiri dalam shalat, beliau menggenggamkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.” (Sanadnya shahih sebagaimana dalam Shahih Sunan An-Nasa’i)

 Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata, “Tidaklah samar bahwa antara qabdh dengan wadha’ ada perbedaan yang jelas. Karena qabath lebih khusus daripada sekadar meletakkan (wadha’). Setiap orang yang menggenggam berarti ia meletakkan dan tidak sebaliknya.” Beliau mengatakan, “Sebagaimana hadits tentang wadha’shahih, demikian pula tentang qabdh. Maka yang mana saja dari keduanya dilakukan oleh orang yang shalat berarti sungguh ia telah mengerjakan Sunnah. Yang lebih utama, bila sekali waktu ia lakukan yang ini dan di waktu yang lain ia lakukan yang itu.

Adapun menggabungkan antara wadha’ dengan qabdh yang dianggap baik oleh sebagian orang-orang yang belakangan dari kalangan Hanafiyah adalah bid’ah. Gambarannya –sebagaimana yang mereka sebutkan– adalah seseorang meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dengan mengambil/menggenggam pergelangan tangan kiri dengan jari kelingking dan ibu jarinya yang kanan, sementara tiga jari yang lain dibentangkan. Cara ini seperti yang disebutkan dalam Hasyiyah Ibnu Abidin alad Dur (1/454).” (Ashlu Shifah, 1/211­-215)

Tempat kedua tangan yang disedekapkan

Dalam hal ini terdapat hadits-hadits yang menyebutkan bahwa kedua tangan tersebut diletakkan di bawah pusar, di atas pusar, atau di atas dada. Bila hadits-hadits tersebut tsabit niscaya ini termasuk keragaman dalam ibadah, di mana masing-masing sahabat meriwayatkan apa yang ia saksikan, maka semuanya berarti disyariatkan. Akan tetapi kata guru besar kami, muhaddits dari negeri Yaman, Al-Imam Abu Abdirrahman Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i rahimahullah, “Hadits-hadits yang menyebutkan di bawah pusar dan di atas pusar, beredar pada rawi yang bernama Abdurrahman ibnu Ishaq Al-Kufi, sementara ia dhaif/lemah.

Diperselisihkan riwayat yang dibawakannya karena ada kegoncangan (idhthirab) dalam haditsnya. Terkadang ia meriwayatkan dari Ziyad ibnu Zaid sehinggaperiwayatannya tergolong dalam musnad Ali radhiallahu ‘anhu. Sekali waktu ia meriwayatkan dari Sayyar ibnul Hakam dan dijadikannya mauquf (berhenti sanadnya) sampai Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Terkadang pula ia meriwayatkan dari An-Nu’man ibnu Sa’d sebagaimana dalam riwayat Al-Baihaqi (juz 2, hal. 11) sehingga tergolong dalam musnad Ali. Al-Baihaqi rahimahullah telah mengisyaratkan sebagian perbedaan ini, kemudian beliau berkata, “Abdurrahman ibnu Ishaq matruk (ditinggalkan haditsnya).”

“Di sana ada riwayat lain dari jalur Ghazwan ibnu Jarir Adh-Dhibbi, dari ayahnya, dari perbuatan Ali radhiallahu ‘anhu, tidak marfu’ (sampai) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada Ghazwan dan ayahnya sendiri ada jahalah (majhul).

Hanya saja riwayat keduanya bisa dijadikan syawahid dan mutaba’ah, sebagaimana penjelasan yang telah lewat. Adapun kalau keduanya bersendiri dalam penetapan suatu hukum maka tidak bisa. Apatah lagi apa yang mereka sebutkan adalah dari perbuatan Ali radhiallahu ‘anhu, sementara perbuatan seorang sahabat bukan hujjah.

Adapun riwayat yang menyebutkan kedua tangan diletakkan di atas dada yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah, maka riwayat tersebut dari jalur Muammal ibnu Ismail. Dia lebih dekat kepada kedhaifan. Terlebih lagi dia bersendiri dalam riwayatnya dari sekelompok huffazh, sebagaimana dalam ta’liq terhadap Nashbur Rayah. Akan tetapi hadits Wail diriwayatkan dari jalur Abdul Jabbar ibnu Wa’il, dari ibunya, dari ayahnya, yang dibawakan Al-Imam Ahmad dan dalam sanadnya ada Qubaishah ibnu Halb. Kata Ibnul Madini, “(Qubaishah ini) majhul, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Sammak.” An- Nasa’i berkata, “Dia majhul.” Kata Al-‘Ijli, “Dia seorang tabi’in yang tsiqah.” Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats-Tsiqat sebagaimana dalam Tahdzibut Tahdzib. Yang terpilih dalam hal ini adalah ucapan Ibnul Madini dan An-Nasa’i, karena Al-‘Ijli dan Ibnu Hibban diketahui sering mentsiqahkan orang yang majhul.

Yang paling shahih dalam masalah ini adalah hadits Thawus yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Di dalamnya disebutkan peletakan tangan di atas dada. Akan tetapi haditsnya mursal, sementara mursal termasuk bagian hadits dhaif. Sehingga yang tampak bagiku adalah perkara di mana kedua tangan itu diletakkan ketika sedekap termasuk perkara yang lapang (tidak dibatasi), sama saja apakah diletakkan di atas pusar, di bawah pusar, ataupun di atas dada. Walaupun riwayat mursal (yang telah kami sebutkan di atas, yaitu meletakkan tangan di atas dada) merupakan riwayat yang paling shahih dalam permasalahan ini. Wallahu a’lam.” (Riyadhul Jannah fir Raddi ‘ala A’da’is Sunnah, hal. 127-128)

Hukum melepaskan tangan tanpa bersedekap

Guru kami yang mulia, Asy-Syaikh Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata, “Telah datang atsar tentang melepaskan tangan tanpa bersedekap di dalam shalat dari sebagian salaf, seperti ‘Abdullah bin Az-Zubair, Ibrahim An-Nakha’i, Sa’id bin Jubair, dan ‘Atha’ bin Abi Rabah, sebagaimana yang ada dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah (1/391) dan Mushannaf ‘Abdir Razzaq (2/276).

Jawaban akan hal ini: Bisa jadi tidak sampai kepada sebagian mereka hadits-hadits tentang meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat, sementara hadits-hadits itu sampai kepada yang lain. Juga bisa jadi mereka menganggap baik dan memandang bahwa melepaskan tangan tanpa bersedekap bisa membantu untuk khusyu’.

Adapun yang tidak sampai padanya dalil-dalil peletakan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat, maka mereka mendapatkan uzur. Sementara yang menganggap baik hal itu dalam keadaan telah mendapati nash, maka anggapan mereka itu tertolak, siapa pun dia. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ketika beliau mengatakan: “Aku tak pernah meninggalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena pendapat seseorang”, atau ucapan yang semakna dengan ini.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١

“Telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik bagi kalian, bagi orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan hari akhir.”(Al–Ahzab: 21)

ٱتَّبِعُواْ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡ وَلَا تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَۗ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ ٣

“Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian, dan janganlah kalian ikuti selain-Nya sebagai wali. Alangkah sedikitnya kalian ingat.” (Al–A’raf: 3)

Karena itu, tidak halal bagi seseorang untuk meninggalkan syariat Allah subhanahu wa ta’ala karena pendapat Fulan dan Fulan. Adapun orang-orang yang berpendapat melepaskan tangan, bisa jadi dia tidak mengetahui dalil dan dia diberi uzur, atau dia seorang alim mujtahid yang diberi pahala dengan ijtihadnya, atau seorang pembangkang yang pantas diberikan hukuman. Tidaklah halal mengikuti mereka semua dalam perkara yang menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam….

Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah telah menetapkan bahwasanya melepaskan tangan itu tidak tsabit (shahih) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Riyadhul Jannah, hal. 131-133)

Larangan berkacak pinggang di dalam shalat

Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seseorang dilarang shalat dalam keadaan berkacak pinggang.” (HR. Al-Bukhari no. 1220)

Juga dari Ziyad bin Shabih Al-Hanafi, dia mengatakan:

Aku pernah shalat di sisi Ibnu ‘Umar. Maka aku meletakkan kedua tanganku di kedua pinggangku. Ketika telah selesai shalat, Ibnu ‘Umar mengatakan, “Ini adalah perbuatan yang menyerupai salib di dalam shalat, dan dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang yang seperti ini.” (HR. Abu Dawud no.903, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Ibnu Sirin rahimahullah mengatakan bahwa yang dimaksud dalam hadits (Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu) di atas adalah meletakkan tangan di pinggang ketika shalat. Ini pula yang ditetapkan oleh Abu Dawud dan dinukilkan oleh At-Tirmidzi dari sebagian ahlul ilmi. Ini merupakan pendapat yang masyhur tentang penafsiran ikhtishar dalam shalat. (Fathul Bari 3/115)

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan: “Yang dimaksud ikhtishar adalah seseorang meletakkan tangannya di pinggang ketika shalat. Sebagian ahlul ilmi membenci jika seseorang berjalan dengan berkacak pinggang. Diriwayatkan bahwa iblis bila berjalan sambil berkacak pinggang.” (Sunan At-Tirmidzi, 1/237)

Al-Imam Asy-Syaukani mengatakan: “Hadits ini menunjukkan haramnya berkacak pinggang di dalam shalat. Demikian pendapat ahlu zhahir. Sementara Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Aisyah, Ibrahim An-Nakha’i, Mujahid, Ibnu Majlaz, Malik, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, ulama ahlul Kufah dan yang lainnya berpendapat makruh. Yang kuat adalah apa yang dipegangi oleh ahlu zhahir, karena tidak adanya dalil-dalil penyerta yang dapat memalingkan larangan ini dari pengharaman yang merupakan maknanya yang hakiki. Inilah yang benar.” (Nailul Authar, 2/223)

 

Comments are closed.