Sifat Shalat Nabi (bagian ke 15)

(ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq)

Tata Cara Ruku’ Bagi Wanita
Mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah, dan selain mereka berpandangan bahwa wanita tidak menjauhkan dua sikunya dari rusuknya saat ruku’ dan sujud, namun ia menempelkan dua siku tersebut pada dua rusuk. Adapun Ibnu Hazm t dalam al-Muhalla dan yang lainnya menyamakan lelaki dan wanita dalam hal tata cara ini. Al-Imam Ibnu Hazm berkata, “Seandainya wanita memiliki hukum yang berbeda dengan lelaki, niscaya Nabi n tidak akan lupa/lalai untuk menjelaskannya.”
Adapun hadits dalam masalah ini (yang membedakan wanita dan lelaki dalam hal tata cara ruku’ dan sujud) tidak ada satu pun yang sahih. Al-Imam Abu Dawud t meriwayatkannya dalam al-Marasil dari Yazid ibnu Abi Hubaib. Demikian juga, al-Imam al-Baihaqi meriwayatkannya dalam as-Sunan al-Kubra dari dua jalan yang maushul. Akan tetapi, kedua jalannya matruk sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Ashl (2/637) karya asy-Syaikh al-Albani t. Disebutkan dalam hadits tersebut bahwa Rasulullah n melewati dua wanita yang sedang shalat. Beliau n bersabda,
إِذَا سَجَدْتُمَا فَضُمَّا بَعْضَ اللَّحْمِ إِلَى الْأَرْضِ، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ فِي ذَلِكَ لَيْسَتْ كَالرَّجُلِ
“Apabila kalian berdua sujud, tempelkan sebagian daging/tubuh kalian ke tanah, karena wanita dalam hal ini tidak sama dengan lelaki.”

5. Punggung Rasulullah n saat ruku’ terbentang dan lurus, sehingga jika dituang air ke atas punggungnya niscaya air itu akan menetap/tidak jatuh.
Hal ini sebagaimana berita dari sekelompok sahabat, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Anas bin Malik, Abdullah ibnu Abbas, dan Abu Barzah al-Aslami g. Semua hadits mereka mengandung kelemahan, tetapi dengan banyaknya jalan dapat terangkat ke derajat sahih. Demikian yang dikuatkan oleh al-Imam al-Albani t dalam al-Ashl (2/637—638).
Rasulullah n pernah bersabda,
لاَ تُجْزِئُ صَلاَةُ الرَّجُلِ حَتَّى يُقِيْمَ ظَهْرَهُ فِي الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ
“Tidak mencukupi shalat seseorang hingga ia meluruskan/meratakan punggungnya dalam ruku’ dan sujud.” (HR. Abu Dawud no. 855 dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr al-Badri z, disahihkan juga dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

6. Saat ruku’, Rasulullah n tidak menundukkan kepalanya dan tidak pula mengangkatnya lebih tinggi daripada punggungnya.
Dalam hadits Aisyah x yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim t (no. 1110) disebutkan:
وَكَانَ إِذَا رَكَعَ لَمْ يُشْخِصْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُصَوِّبْهُ، وَلَكِنْ بَيْنَ ذَلِكَ
“Jika Rasulullah n ruku’, beliau tidak mengangkat kepalanya dan tidak pula menundukkannya. Akan tetapi, kepala beliau berada di antara dua posisi tersebut (tidak tunduk dan tidak pula lebih tinggi, namun rata dengan punggungnya).”

Perintah Thuma’ninah dan Menyempurnakan Ruku’
Rasulullah n memerintahkan thuma’ninah ketika ruku’. Hal ini disebutkan dalam hadits Rifa’ah ibnu Rafi’ z yang dikenal sebagai hadits al-musi’u shalatahu:
ثُمَّ يَرْكَعُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ
“Kemudian ia ruku’ hingga thuma’ninah/tenang persendiannya (anggota-anggota tubuh menetap pada tempatnya).” (HR. al-Bukhari no. 793)
Al-Hafizh t dalam Fathul Bari (2/363) berkata, “Hadits ini dijadikan dalil akan wajibnya thuma’ninah dalam rukun-rukun shalat.”
Demikian pendapat jumhur.
Rasulullah n memerintahkan,
أَتِمُّوْا الرُّكُوْعَ وَالسُّجُوْدَ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنِّي لَأَرَاكُمْ مِنْ بَعْدِ ظَهْرِي إِذَا مَا رَكَعْتُمْ وَإِذَا مَا سَجَدْتُمْ
“Sempurnakanlah ruku’ dan sujud! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku melihat kalian dari belakang punggungku ketika kalian ruku’ dan sujud.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik z)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata, “(Kemampuan seperti) ini termasuk mukjizat Nabi n.”
Suatu ketika, Rasulullah n melihat seseorang shalat dengan tidak menyempurnakan ruku’nya dan mematuk dalam sujudnya. Beliau n lalu bersabda,
لَوْ مَاتَ هَذَا عَلىَ حَالِهِ هذِهِ، مَاتَ عَلَى غَيْرِ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ n، يَنْقُرُ صَلاَتَهُ كَمَا يَنْقُرُ الْغُرَابُ الدَّمَ، مَثَلُ الَّذِي لاَ يَتِمُّ رُكُوْعَهُ وَيَنْقُرُ فِي سُجُوْدِهِ مَثَلُ الْجَائِعِ الَّذِي يَأْكُلُ التَّمْرَةَ وَالتَّمْرَتَيْنِ، لاَ يُغْنِيَانِ عَنْهُ شَيْئًا
“Seandainya orang ini mati dalam keadaan seperti ini, niscaya ia mati di atas selain agama Muhammad n. Ia mematuk ketika shalatnya sebagaimana burung gagak mematuk darah. Permisalan orang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan mematuk dalam sujudnya adalah seperti orang lapar yang makan sebutir atau dua butir kurma, tidak mencukupinya sedikit pun.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Kabir 1/192/1, Abu Ya’la dalam Musnad-nya 340 dan 349/1. Al-Mundziri mengatakan dalam at-Targhib 1/182 dan diikuti oleh al-Haitsami 2/121, “Sanadnya hasan.” Al-Imam al-Albani t berkata, “Hadits ini sebagaimana yang dikatakan keduanya.”)

Zikir-Zikir Ruku’
Rasulullah n dalam amalan rukun ini pernah membaca beberapa zikir dan doa. Beliau n terkadang membaca yang ini, di kali lain membaca yang itu. Al-Allamah Shiddiq Hasan Khan t berkata dalam Nazlul Abrar (hlm. 84, sebagaimana dinukil dalam al-Ashl, 2/649), “Sekali waktu beliau n membaca zikir ini, di kali lain zikir yang lain. Aku belum pernah melihat satu dalil pun yang menyatakan bahwa beliau n mengumpulkan zikir-zikir tersebut dalam satu shalat3. Adalah Rasulullah n dahulu tidak pernah mengumpulkan zikir-zikir dalam satu rukun. Justru sekali waktu beliau membaca ini dan di waktu lain membaca yang itu. Ittiba’ (mengikuti) lebih baik daripada ibtida’ (mengada-adakan sendiri).”
Al-Imam Ahmad, Abu Hanifah, dan asy-Syafi’i, serta jumhur ulama, semoga Allah l merahmati mereka semua, memandang bertasbih dalam ruku’ dan sujud hukumnya sunnah, tidak wajib. Mereka berargumen dengan hadits al-musi’u shalatahu, yang menyebutkan bahwa Rasulullah n tidak memerintahkan orang tersebut untuk bertasbih saat ruku’ dan sujud. Seandainya hal itu wajib, niscaya Rasulullah n akan memerintahkannya. (al-Minhaj, 4/421)
Ini adalah pendapat yang rajih (kuat) menurut penulis.
Sementara itu, al-Imam Ahmad t dan sekelompok imam ahlul hadits berpendapat bahwa wajib berpegang dengan zahir hadits yang memerintahkan bertasbih. Mereka juga berdalil dengan sabda Rasulullah n:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُنِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat!” (HR. al-Bukhari)
Zikir-zikir yang pernah dibaca Rasulullah n saat ruku’ adalah sebagai berikut.
1. Beliau membaca:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ
“Mahasuci Rabbku Yang Mahaagung.” (tiga kali)
Bacaan ini diriwayatkan oleh sejumlah sahabat, di antaranya Hudzaifah ibnul Yaman z (diriwayatkan oleh Ibnu Majah), Jubair Ibnu Muth’im z (diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dan ath-Thabarani), Abu Bakrah z (diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ath-Thabarani), dll. Beberapa hadits diperbincangkan/ada kelemahan di dalamnya, namun hadits yang banyak keseluruhannya menunjukkan pasti dan tetapnya jumlah tiga kali.
Al-Imam at-Tirmidzi t berkata, “Yang diamalkan oleh ahlil ilmi adalah mereka menganggap sunnah seseorang bertasbih dalam ruku’ dan sujud, tidak kurang dari tiga kali.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/164)
Terkadang Rasulullah n mengulang-ngulang lebih dari tiga kali. Sekali waktu dalam shalat lail, Rasulullah n terus-menerus mengulangnya sehingga lama ruku’nya mendekati lama berdirinya. Padahal, saat berdiri beliau n membaca tiga surat yang panjang, yaitu al-Baqarah, an-Nisa’, dan Ali Imran, dengan diselingi doa dan istighfar, sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh hadits Hudzaifah ibnul Yaman z yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim t dengan lafadz, “Kemudian beliau ruku’ dan membaca:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ
‘Mahasuci Rabbku Yang Mahaagung.’
Adalah ruku’ beliau hampir sama dengan berdirinya.” (no. 1811)

2. Beliau membaca:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ
“Mahasuci Rabbku Yang Mahaagung dan dengan pujian kepada-Nya.” (tiga kali)
Tambahan wabihamdihi ini datang dari sekelompok sahabat dengan sanad yang diperselisihkan, namun sebagiannya menguatkan sebagian yang lain, seperti hadits Ibnu Mas’ud z yang diriwayatkan oleh ad-Daraquthni. (al-Ashl, 2/658)

3. Beliau n membaca:
سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ المْلَائِكَةِ وَالرُّوْحِ
“Mahasuci Dia dari segala kejelekan, Maha Memberi berkah, Rabb para malaikat dan ruh.”
“Rasulullah n mengucapkan zikir ini dalam ruku’ dan sujud beliau,” kata Aisyah x. (HR. Muslim no. 1091)

4. Beliau n membaca:
سُبْحَانَك َاللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْلِي
“Mahasuci Engkau, ya Allah, wahai Rabb kami! Dan segala pujian bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku!”
Rasulullah n sering mengucapkan zikir di atas dalam ruku’ dan sujudnya, dalam rangka mengamalkan perintah Allah l kepada beliau n dalam Al-Qur’an, yaitu firman-Nya:
“Maka bertasbihlah memuji Rabbmu dan mintalah ampun kepada-Nya, sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Maha Menerima taubat.” (an-Nashr: 3)
Kabar tentang zikir ini juga datang dari Aisyah x sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Bukhari (no. 794) dan Muslim (no. 1085).
Hadits ini merupakan dalil bolehnya berdoa dalam ruku’. Hal ini tidak bertentangan dengan hadits:
فَأَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوْا فِيْهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ، وَأَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِيْهِ الدُّعَاءَ، فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
“Adapun ruku’ maka agungkanlah Rabb di dalamnya. Adapun saat sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa karena sangat pantas doa kalian dikabulkan.” (HR. Muslim no. 1074)

5. Beliau n membaca:
اللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ، أَنْتَ رَبِّي، خَشَعَ سَمْعِي وَبَصَرِي وَمُخِّي وَعَظَمِي وَعَصَبِي وَمَا اسْتَقَلَّتْ بِهِ قَدَمِيْ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Ya Allah, hanya untuk-Mu aku ruku’, hanya kepada-Mu aku beriman, dan hanya untuk-Mu aku berserah diri. Engkau adalah Rabbku. Pendengaran, penglihatan, otak, tulang, urat sarafku, dan apa yang diangkat oleh telapak kakiku, tunduk kepada Allah, Rabb semesta alam.”
Zikir di atas adalah potongan hadits Ali z yang diriwayatkan oleh ath-Thahawi, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan Ahmad (1/119). Sanadnya sahih di atas syarat Muslim (al-Ashl, 2/664).

6. Beliau n membaca:
اللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، أَنْتَ رَبِّي، خَشَعَ سَمْعِي وَبَصَرِي وَدَمِي وَلَحْمِيْ وَعَظَمِي وَعَصَبِي لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

“Ya Allah, hanya untuk-Mu aku ruku’, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku berserah diri, dan hanya kepada-Mu aku bertawakal. Engkaulah Rabbku. Pendengaran, penglihatan, darah, daging, tulang, dan urat sarafku, tunduk kepada Allah, Rabb semesta alam.”
Zikir ini disebutkan dalam hadits Jabir bin Abdillah c. (HR. an-Nasa’i no. 1051, disahihkan dalam Shahih Sunan an-Nasa’i)

7. Beliau n membaca:
سُبْحَانَ ذِيْ الْجَبَرُوْتِ وَالْمَلَكُوْتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
“Mahasuci Dzat yang memiliki kekuasaan untuk memaksa dan pemilik segala sesuatu (yang melakukan segala tindakan di alam ini), yang memiliki kesombongan dan keagungan.”
Demikian disebutkan dalam hadits Auf bin Malik al-Asyja’i z yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 873 dan disahihkan dalam Shahih Sunan Abi Dawud.

Memanjangkan Ruku’
Ketika shalat, Rasulullah n menjadikan ruku’, bangkit setelah ruku’, sujud, dan duduk di antara dua sujudnya hampir sama lamanya. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh hadits al-Bara’ ibnu ‘Azib z yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 792) dan Muslim (no. 1057).

Larangan Membaca Al-Qur’an Saat Ruku’
Ibnu Abbas c menyebutkan bahwa Rasulullah n bersabda,
أَلاَ، وَإِنِّي نُهِيْتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا، فَأَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوْا فِيْهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ، وَأَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِيْهِ الدُّعَاءَ، فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
“Sungguh, aku dilarang untuk membaca Al-Qur’an ketika ruku’ dan sujud. Adapun ketika ruku’ maka agungkanlah Rabb di dalamnya. Adapun saat sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa karena pantas doa kalian dikabulkan.” (HR. Muslim no. 1074)
Ali bin Abi Thalib z berkata:
نَهَانِي رَسُوْلُ اللهِ n أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا
“Rasulullah n melarangku membaca Al-Qur’an dalam keadaan aku ruku’ atau sujud.” (HR. Muslim no. 1076)
Al-Imam at-Tirmidzi t mengatakan, “Ini adalah pendapat ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi n, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka. Mereka semua memakruhkan (mengharamkan) qiraah (membaca Al-Qur’an) ketika ruku’ dan sujud.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/165)
Al-Khaththabi t berkata dalam al-Ma’alim (1/214), “Larangan Rasulullah n dari qiraah saat ruku’ dan sujud, menguatkan pendapat Ishaq dan mazhabnya tentang wajibnya berzikir ketika ruku’ dan sujud. Tempat ruku’ dan sujud dikosongkan dari qiraah agar keduanya menjadi tempat untuk berzikir dan berdoa.”
Al-Imam asy-Syaukani t berkata, “Larangan ini menunjukkan haramnya qiraah dalam ruku’ dan sujud. Namun, ada perbedaan pendapat tentang batal atau tidaknya shalat karena membaca Al-Qur’an saat ruku’ dan sujud.” (Nailul Authar, 2/108)
Al-Imam ash-Shan’ani t juga menyebutkan haramnya membaca Al-Qur’an saat ruku’ dan sujud. (Subulus Salam, 2/208)
Wallahu a’lam bish-shawab.

Catatan Kaki: