Syariat Poligami Kasih Sayang Allah Subhanahu wata’ala

 

مُكْرَهٌ أَخَاكَ لاَ بَطَلٌ

“Saudaramu ini terpaksa, bukan karena berani.”

Hanya Allah Subhanahu wata’ala sajalah tempat meminta tolong, dan Dia sajalah sandaran bertawakal. Kalimat di atas, terus terang ingin kami ucapkan ketika kami ditunjuk dan diberi amanat untuk menyusun materi kajian utama di majalah ini dengan tema poligami. Bukan karena apa-apa, melainkan masih banyak ustadz dan dai Ahlus Sunnah—yang memiliki ilmu dan amal yang melebihi penyusun—yang lebih pantas dan lebih utama menulisnya. Selain itu, kalau hanya berteori, semua orang bisa.

Tetapi, giliran pengamalan, inilah yang sulit. Penyusun sendiri khawatir terjatuh pada perkara menggurui dalam agama Allah Subhanahu wata’ala tanpa ilmu dan amal. Lebih-lebih, dalam masalah yang mungkin masih dianggap peka dan banyak yang menolaknya karena keawaman (kejahilan) atau hawa nafsu. Ditambah lagi, masih banyak praktik yang salah dari para pelakunya, jauh dari ilmu yang benar dan bimbingan para ulama rabbani.

Akibatnya, syariat poligami yang mulia ini dipandang buruk oleh manusia. Secara panjang lebar kita bisa memaparkan tentang poligami karena kitab-kitab ulama telah menerangkannya. Akan tetapi, yang menjadi masalah mungkin pengamalan kita sendiri atau pasangan kita, istri-istri kita. Sudahkah kita dan mereka benar-benar menerima, tunduk, dan mengamalkannya dengan benar dan sesuai dengan tuntunan? Wallahul musta’an.

Namun, amanat tetaplah amanat. Ia harus ditunaikan sesuai dengan kemampuan, terlepas dari pengamalan keseharian kami sebagai hamba yang lemah, banyak kelalaian dan kealpaan. Wallahul musta’an wa waffaqaniyallahu ilash shawab wal ‘amal bihi.

Apa yang kami paparkan di sini bukanlah hasil dan kesimpulan dari pikiran dan pengamalan kami pribadi, atau hasil pengalaman seorang praktisi/ pakar ahli yang sudah berpengalaman dalam masalah ini, nastaghfiruka ya Rabbi wa natubu ilaika. Kami semata-mata menukilkan dari Kitabullah dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menyusun kembali dari ilmu para ulama yang merupakan pewaris ilmu beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dari sini, kami mengajak diri kami, keluarga kami, dan segenap kaum muslimin untuk becermin dari penjelasan ilmu yang syar’i, guna mengamalkannya dan memperbaiki amalan. Kita tengadahkan tangan, memohon taufik dari Allah Subhanahu wata’ala. La haula wa la quwwata illa billah.

Penyusun menyadari, apa yang tertuang dan terangkum di sini masih terlalu banyak kekurangannya, bisa jadi terlalu jauh dari apa yang diharapkan, dan belum memenuhi apa yang dibutuhkan para pembaca. Karena itu, kami meminta uzur dan maaf kepada semuanya. Hanya Allah Subhanahu wata’ala-lah yang memiliki kesempurnaan.

Poligami yang Ditentang

Serasa disambar petir di siang bolong, ketika seorang istri—yang tidak bisa menerima syariat poligami, seakan-akan tak sudi untuk diduakan—mendengar suaminya sudah punya istri lagi selainnya, atau bahkan baru sekadar berencana menikah lagi.

Poligami memang masih menjadi hal yang mengganjal bagi para istri dan kaum hawa secara umum, selain yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, tak heran apabila syariat ini mengundang protes dan kritikan di mana-mana. Padahal, syariat poligami bukan buatan kaum lelaki untuk menzalimi perempuan, melainkan Allah Subhanahu wata’ala—Dzat Yang Maha Mengetahui kemaslahatan para hamba—yang menetapkannya.

Bisa jadi, lubuk hati kita akan bertanya, “Sekejam itukah aturan syariat  yang diturunkan dari tujuh lapis langit ini oleh Allah Subhanahu wata’ala, sehingga mengundang protes dari para hamba-Nya?” Jelas, jawabannya, “Tidak.” Sebab, Allah Subhanahu wata’ala sendiri amat penyayang kepada para hamba-Nya dan tidak akan menzalimi mereka sedikit pun. Kebencian kepada poligami ini diperparah dengan propaganda dan slogan-slogan ‘merendahkan perempuan’, buku-buku, lagu-lagu, dan film-film yang menggambarkan kelamnya poligami, ditambah praktik yang salah dari pelakunya, dan sebagainya.

Kalau dirunut, sebenarnya ada otak yang bermain di balik semua kebencian ini. Ya, ini sebenarnya ulah orangorang kafir dan kaki tangannya yang memang ingin menjelekkan Islam dan tidak akan pernah meridhainya. Salah satu yang mereka anggap sebagai celah mencacati Islam adalah syariat poligaminya. Dikaranglah sekian igauan untuk memperburuk perkara yang halal ini. Yang menyedihkan, kaum muslimin juga mau mendengarkan igauan mereka tersebut, wallahul musta’an.

Bahkan, penyusun—afahullahu min kulli khatha’in wa zallatin/semoga Allah menjaganya dari kesalahan dan ketergelinciran—pernah melihat sebuah pelat kendaraan bermotor di negeri yang katanya mayoritas kaum muslimin ini, bertuliskan: antipoligami. Islam dianggap kelam dengan syariat poligaminya. Lantas bagaimana dengan orang-orang kafir di negeri Barat, yang laki-laki dan perempuannya hidup bebas, tidak peduli istri orang, perselingkuhan, perzinaan, kemudian dijiplak oleh sebagian artis atau selebritas yang mengaku muslim di negeri kita; tidakkah itu dianggap kelam, bahkan pekat dan sangat kotor? Mengapa orang mau memaklumi sesuatu yang haram, menerima, dan memaafkannya, sedangkan untuk sesuatu yang halal seolah-olah tidak ada maaf? Kenyataan yang terjadi, ketika seorang istri mengetahui suaminya selingkuh, punya kekasih gelap, ia masih bisa memaafkan suaminya, memaklumi, dan mau berbaikan kembali. Tetapi, tidak ada maaf ketika suaminya menikahi perempuan lain secara sah, ‘Pilih dia ceraikan aku, atau pilih aku ceraikan dia!’ Wallahul musta’an.

Kasih Sayang-Nya yang Mahaluas

Suara protes jelas banyak datang dari perempuan sebagai pihak yang merasa dirugikan dengan aturan ini. Cemburu, merasa dizalimi, direndahkan, diduakan, takut kehilangan cinta, dan sebagainya, menjadi alasan. Kalau bisa protes kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul- Nya, mereka akan protes (dan sudah mereka lakukan!). Padahal seperti yang telah dinyatakan sebelum ini, Allah Subhanahu wata’ala sebagai Pencipta, Pemberi segalanya, dan Pengatur alam semesta ini, tentu lebih tahu kebutuhan para hamba dan yang menyebabkan kebaikan bagi mereka. Allah Subhanahu wata’ala menyatakan,

وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

 “Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal sesuatu itu baik bagi kalian. Dan bisa jadi kalian mencintai sesuatu padahal sesuatu itu tidak baik bagi kalian. Allahlah yang mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.” (al-Baqarah: 216)

Dari nama-Nya yang agung, Ar- Rahman dan Ar-Rahim, kita juga tahu bahwa Allah Subhanahu wata’ala amat penyayang kepada para hamba-Nya. Sama sekali Dia tidak pernah menzalimi mereka.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ

“Sesungguhnya Allah tidak pernah menzalimi walaupun sebesar zarrah2….” (an-Nisa: 40)

Bahkan, Dia adalah Dzat Yang Mahaadil, yang keadilan-Nya ada pada puncak kesempurnaan. Dengan demikian, ketika menetapkan syariat poligami, Dia Mahatahu bahwa hal itu memberikan kemaslahatan kepada para hamba. Bisa kita katakan, Dia menetapkan syariat poligami sebagai kasih sayang-Nya kepada para hamba- Nya, baik lelaki maupun perempuan.

Banyaknya Jumlah Perempuan

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang mulia, pernah menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَكْثُرَالْجَهْلُ وَيَكْثُرَ الزِّنَا وَيَكْثُرَ شُرْبُ الْخَمْرِ وَيَقِلَّالرِّجَالُ وَيَكْثُرَ النِّسَاءُ حَتَّى يَكُوْنَ لِخَمْسِيْنَامْرَأَةٍ الْقَيِّمُ الْوَاحِدُ.

“Termasuk tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, banyaknya kebodohan, banyaknya perzinaan, dan banyaknya diminum khamr (minuman memabukkan). Di samping itu, jumlah para lelaki sedikit sedangkan jumlah perempuan banyak, sampai-sampai untuk lima puluh orang perempuan hanya dipimpin oleh seorang lelaki.” (HR. al-Bukhari no. 81 dan Muslim no. 2671)

Karena jumlah perempuan lebih banyak dibanding lelaki, tentu banyak perempuan yang tidak memperoleh pasangan yang akan memimpin hidupnya apabila seorang lelaki hanya boleh Sebesar debu atau sesuatu yang paling kecil yang bertebaran di udara. menikahi seorang perempuan. Seandainya tidak ada syariat poligami, niscaya akan banyak perempuan menjadi perawan tua. Tentu kasihan sekali hidup para perempuan yang tidak mendapat pasangan tersebut. Tidak terbayang kejelekan yang mungkin bisa menimpa mereka, karena harus diakui bahwa perempuan butuh hidup berdampingan dengan lelaki yang dicintai dan mencintainya, seperti halnya lelaki membutuhkan perempuan.

Maka dari itu, alangkah egoisnya para perempuan yang memprotes poligami! Di manakah kasih sayangnya kepada sesama, padahal Dzat yang memberinya kehidupan amat sayang kepada para hamba?

Seorang Istri Tidak Bisa Memenuhi Semua Keinginan Suami

Sebagai seorang istri, perempuan memiliki keterbatasan. Tidak semua “keinginan” suaminya bisa dia penuhi. Ada kalanya dia sakit, haid, nifas, repot mengurus anak, letih dengan pekerjaan rumah tangga, dan sebagainya. Ketika suami meminta khidmat/pelayanannya, istri salehah yang ingin menyenangkan suami tidak pantas menolaknya.

Lantas bagaimana kiranya jika ia memiliki penghalang atau uzur untuk menjalankan khidmat tersebut? Kalau itu berupa pekerjaan, bisa jadi istri masih bisa menyerahkannya kepada orang yang membantunya di rumah. Namun, apabila terkait “hubungan khusus”nya dengan suami, tentu tidak bisa diserahkan kepada siapa-siapa saat ia haid atau nifas, misalnya. Andai tidak ada syariat poligami, niscaya kebutuhan lelaki akan

tersia-siakan dan na’udzubillah, bisa jadi semakin banyak lelaki jatuh pada perzinaan.

Menutup Pintu Perzinaan

Apabila mau jujur, bisa dikatakan bahwa lelaki tidak merasa cukup dengan satu wanita. Namun, apabila ia hanya memiliki satu istri di rumahnya, ke mana gerangan ia palingkan kebutuhannya yang tidak terpenuhi dari seorang istri saja?

Apabila si lelaki tidak memiliki rasa takut kepada Allah l, ia akan salurkan hasrat yang kurang itu kepada yang tidak halal. Bisa jadi dengan memandang wanita yang bukan mahram, mencari kekasih gelap, selingkuh, zina, …. Na’udzubillah, kita mohon keselamatan kepada Allah Subhanahu wata’ala!

Tiga alasan di atas, cukuplah mewakili pernyataan kita bahwa syariat poligami adalah tanda rahmat dan kasih sayang Allah Subhanahu wata’ala kepada para hamba. Al-Allamah Muhammad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullah, seorang ulama besar dan ahli ilmu tafsir di zamannya, menyatakan dalam tafsirnya, anggapan sebagian musuh-musuh Islam bahwa poligami akan selalu menimbulkan pertikaian dan kegaduhan yang mengantarkan kepada keruhnya kehidupan adalah salah besar. Menurut mereka, setiap kali suami membuat senang salah satu istrinya, niscaya akan membuat marah istri yang lain (madunya), sehingga suami selalu berada di antara dua kemarahan.

Ucapan ini amat jelas batilnya bagi setiap orang yang berakal. Sebab, pertikaian di antara individu dalam keluarga, mau tidak mau, memang selalu ada. Pertikaian bisa terjadi antara seseorang dan ibunya, ayahnya, anak-anaknya, bahkan dengan istri satu-satunya. Sebab, pertikaian dan perselisihan itu sebenarnya perkara biasa dalam kehidupan insan. Pertikaian yang dikhawatirkan akan muncul karena poligami tidak ada apa apanya jika dibandingkan dengan kebaikan besar yang diperoleh dari poligami,

yaitu penjagaan terhadap perempuan, memudahkan seluruh perempuan untuk menikah/mendapat pasangan hidup, dan memperbanyak jumlah umat yang akan terlahir dari pernikahan tersebut,

sehingga memberi kekuatan besar untuk menghadapi musuh-musuh Islam. Kebaikan yang besar ini tentu lebih dikedepankan daripada menolak mafsadat atau dampak negatif yang kecil. Kalaupun kita anggap kericuhan yang terjadi karena poligami sebagai mafsadat, atau dianggap menyakiti hati istri pertama dengan memberinya ‘madu’, niscaya sisi positif yang diperoleh dengan poligami lebih dikedepankan karena lebih kuat apabila dibanding dengan mafsadat yang mungkin terjadi. Kaidah dan prinsip seperti ini sudah dikenaldalam ilmu ushul.

Al-Qur’an membolehkan poligami demi kemaslahatan perempuan agar mereka tidak terhalang dari menikah dan untuk kemaslahatan lelaki agar tidak tersia-siakan kemanfaatan mereka saat istrinya yang satu sedang beruzur. Selain itu, tentu ada kemaslahatan bagi umat dengan bertambah banyaknya jumlah mereka sehingga mereka bisa menghadapi musuh-musuh agama.

Poligami adalah syariat dari Dzat Yang Maha Memiliki hikmah, Maha Mengetahui lagi Memberitakan, sungguh tidak ada yang mencela aturan-Nya ini selain orang yang dibutakan oleh Allah Subhanahu wata’ala dengan gelapnya kekafiran. Pembatasan jumlah istri dengan bilangan empat adalah ketentuan dari Dzat Yang Maha Memiliki hikmah, bersifat pertengahan antara jumlah yang sedikit yang menyebabkan tersia-siakannya kemanfaatan lelaki dan jumlah banyak yang menyebabkan seorang suami tidak mampu menunaikan semua kebutuhan dan keperluan kehidupan berumah tangga4. (Adhwa’ul Bayan, 3/416— 417, dengan sedikit perubahan) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq al-Atsari