Tanya Jawab Seputar Khitan

Hukum Khitan

Fadhilatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya tentang hukum khitan. Beliau menjawab sebagai berikut.

Khitan adalah salah satu sunanul fitrah[1] dan salah satu bentuk syiar kaum muslimin, berdasarkan dalil yang ada dalam Shahihain dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

.الْفِطْرَةُ خَمْسٌ: الْخِتَانُ، وَالْإِسْتِحْدَادُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيْمُ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ

“Fitrah itu ada lima: khitan, mencukur rambut kemaluan, memendekkan kumis, memotong kuku, dan mencabut rambut ketiak.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengawalinya dengan khitan dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam beritakan bahwa hal itu merupakan salah satu sunanul fitrah.

gunting-operasi

Khitan yang syar’i dilakukan dengan memotong qulfah (kulit) yang menutupi ujung zakar saja. Adapun mengelupaskan seluruh kulit yang menutupi zakar atau menguliti zakar sebagaimana yang terjadi di sebagian negeri, karena menyangka–dengan kebodohan mereka–bahwa inilah khitan yang disyariatkan. Sesungguhnya perbuatan seperti ini adalah syariat yang dibuat oleh setan. Setan menampakkan hal ini sebagai sesuatu yang bagus di hadapan orang-orang yang belum memahami ilmu agama.

Selain itu, ini adalah penyiksaan terhadap orang yang dikhitan, menyelisihi sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan menyelisihi syariat Islam yang identik dengan kemudahan, kelapangan, serta penjagaan terhadap nyawa manusia.

Perbuatan semacam ini haram dari beberapa sisi, di antaranya sebagai

berikut.

  1. As-Sunnah menjelaskan khitan dengan memotong kulit yang menutupi kepala zakar saja.
  2. Perbuatan menyiksa dan mencacati seseorang.

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang perbuatan mencacati, menawan, menelantarkan hewan, atau memotong anggota badannya hidup-hidup. Tentu menyiksa Bani Adam lebih utama dan lebih keras keharamannya.

  1. Perbuatan ini bertentangan dengan perintah untuk berbuat ihsan dan kasih sayang, yang dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

.إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan ihsan atas segala sesuatu.”

  1. Perbuatan ini terkadang mengakibatkan pendarahan dan kematian orang yang dikhitan. Karena itu, tidak boleh dilakukan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ

“Janganlah kalian lemparkan diri-diri kalian ke dalam kebinasaan.”

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩

“Dan janganlah kalian bunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadap kalian.” (An-Nisa’: 29)

Oleh karena itu, para ulama menyatakan bahwa tidak wajib khitan syar’i atas orang yang telah dewasa apabila dikhawatirkan akan terjadi hal-hal semacam ini.

Adapun mengadakan resepsi dengan mengundang tamu laki-laki dan perempuan pada hari yang telah ditentukan untuk menghadiri acara khitan, lantas si anak diminta berdiri dihadapan mereka semua dalam keadaan terbuka auratnya, hal ini haram. Sebab, dalam acara seperti ini ada penyingkapan aurat, sementara agama Islam memerintahkan umatnya untuk menutup aurat dan melarang menyingkapkannya.

kelereng-warna-warni

Begitu pula ikhtilath (campur-baur) antara tamu laki-laki dan perempuan dalam acara seperti ini tidaklah diperbolehkan, karena akan menimbulkan fitnah dan menyelisihi syariat yang suci ini. (Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 4/424)

Khitan Anak Perempuan

Fadhilatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya sebagai berikut.

“Sebagian negara Islam melakukan khitan pada anak perempuan, karena meyakini bahwa hal ini wajib atau sunnah. Sebuah majalah bahkan mempersiapkan artikel yang membahas hal ini, karena memandang pentingnya mengetahui pandangan syari’at tentang hal ini. Oleh karena itu, kami memohon kepada Anda agar memberikan penerangan tentang pandangan syari’at akan hal ini.”

Beliau rahimahullah menjawab, “Wa‘alaikumus salam warahmatullahi wabarakatuh.

Khitan pada anak perempuan merupakan sunnah sebagaimana khitan pada anak laki-laki, dengan syarat jika didapati orang yang dapat melakukannya; baik dokter laki-laki maupun perempuan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الفِطْرَةُ خَمْسٌ: الْخِتَانُ، وَالْإِسْتِحْدَادُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيْمُ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الْآبَاطِ

“Fitrah itu ada lima: khitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut rambut ketiak.”

Hadits ini disepakati kesahihannya.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan taufik kepada kita semua untuk melaksanakan segala sesuatu yang membuat-Nya ridha.

Wassalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. (Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 10/46)

Mencukur Rambut Bayi Perempuan setelah Lahir

Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya tentang khitan dan mencukur rambut bayi perempuan setelah lahir.

Beliau menjawab, “Yang disunnahkan hanyalah mencukur rambut bayi laki-laki ketika dia diberi nama pada hari ketujuh. Adapun bayi perempuan tidak dicukur rambutnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

.كُلُّ غُلاَ مٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عِنْدَ يَوْمِ سَابِعِهِ، وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

“Setiap bayi laki-laki tergadai dengan akikahnya hingga disembelih (hewan sembelihan –pent.) pada hari ketujuh kelahirannya, dicukur (rambutnya), dan diberi nama.” (HR. Ahmad dan ashabus sunan yang empat dengan sanad yang hasan)

Adapun khitan bagi anak perempuan, hal ini disenangi, tetapi tidak wajib. Hal ini berdasarkan keumuman hadits yang ada, seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

.خَمْسٌ مِنَ الفِطْرَةِ: الْخِتَانُ، وَالْإِسْتِحْدَادُ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ، وَتَقْلِيْمُ الْأَظْفَارِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ

“Lima hal yang termasuk fitrah: khitan, mencukur rambut kemaluan, mencabut rambut ketiak, memotong kuku, dan memotong kumis.”

Hadits ini disepakati kesahihannya.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan taufik kepada kita semua pada segala yang diridhai-Nya. Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. (Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 10/47)

Menindik Telinga dan Hidung Anak Perempuan

Pernah ditanyakan kepada Lajnah ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, “Apakah boleh menindik telinga anak perempuan untuk memasang anting?”

Al-Lajnah menjawab,

“Hal ini boleh dilakukan karena tujuannya ialah berhias, bukan untuk menyakiti atau mengubah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, hal ini telah dikenal pula semenjak masa jahiliah dan semasa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan beliau tidak melarangnya. Bahkan, disetujui oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiallahu ‘anhum .

Hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala kita memohon taufik. Semoga shalawat dan salam Allah subhanahu wa ta’ala limpahkan kepada Nabi kita, Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.” (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta’, no. 4084)

Ditanyakan pula kepada Fadhilatusy Syaikh al-‘Utsaimin tentang hukum menindik telinga atau hidung anak perempuan untuk berhias.

Beliau menjawab, “Yang benar, tidak mengapa menindik telinga, karena tujuan yang hendak didapat adalah untuk berhias yang mubah. Telah pasti pula bahwa wanita para sahabat memiliki anting yang dikenakan di telinga mereka. Kalaupun ini tindakan menyakiti, sifatnya ringan. Jika ditindik pada saat masih kecil, cepat sembuhnya.

Adapun menindik hidung, aku tidak ingat ada pembahasan ulama dalam permasalahan ini. Namun, hal ini mengandung perbuatan mencacati dan menjelekkan penciptaan, menurut pandangan kami. Akan tetapi, mungkin ada (ulama –pen.) selainku yang berpandangan lain.

Apabila memang wanita itu tinggal di suatu negeri yang menganggap memakai perhiasan di hidung adalah bentuk berhias dan berdandan, tidak mengapa menindik hidungnya untuk menggantungkan antingnya. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il, 11/137)

(Dinukil dan diterjemahkan oleh Ummu Abdirrahman dengan sedikit penyesuaian dari Fatawa Tarbiyatil Aulad, al-Qismu al-‘Ilmi Darul Ikhlash wash-Shawab, cet. 2, 1435H/2014M, hlm. 7—12)


[1] Sunanul fithrah disebut juga khishalul fithrah (perangai-perangai fitrah). Disebut demikian karena orang yang melaksanakannya memiliki sifat sebagaimana fitrah yang Allah subhanahu wa ta’ala ciptakan manusia di atas fitrah tersebut dan Allah subhanahu wa ta’ala jadikan mereka senang dengan fitrah tersebut, agar manusia berada dalam keadaan yang paling baik dan bentuk yang paling sempurna. (al-Fiqhul Muyassar, hlm.14)