Tata Cara Bersuci dari Haid

“Ibarat lautan yang tiada bertepi.”

Kalimat ini diucapkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, dalam fatwa beliau, saat menggambarkan banyaknya permasalahan wanita yang berkaitan dengan haid.[1]

Walaupun haid adalah perkara yang umum dialami oleh wanita dan selalu berulang, ia tetap saja menyisakan pertanyaan (bagi sebagian orang. Sebab, hukum-hukum yang berkaitan dengan haid memang tidak terhitung. Demikian kata Imam an-Nawawi rahimahullah. Sebagai contoh, yaitu hukum taharah, shalat, membaca Al-Qur’an, puasa, iktikaf, haji, balig, jimak, talak, khulu’, ila’, kafarat membunuh dan selainnya, iddah, dan istibra. Semua perkara ini wajib diperhatikan. (al-Majmu’, 2/381)

Baca juga: Definisi dan Hukum Talak

Kata al-Khathib al-Allamah asy-Syarbini rahimahullah, “Wanita wajib mengetahui/mempelajari hukum-hukum mengenai haid, istihadah, dan nifas yang dibutuhkannya. Apabila suaminya berilmu, ia (suami) wajib mengajari istrinya. Namun, jika tidak, si wanita boleh keluar dari rumahnya untuk bertanya kepada para ulama. Bahkan, ia wajib melakukannya dan haram bagi si suami untuk melarangnya, kecuali apabila si suami mau menanyakan masalahnya kemudian menyampaikan kepada istrinya hingga istri merasa puas dengan jawaban yang disampaikan kepadanya.” (Mughnil Muhtaj, 1/246)

Melihat kenyataan demikian, kami terpanggil untuk berbicara tentang haid yang biasa dialami oleh setiap wanita normal. Kami akan memfokuskan pembahasan tentang taharah (bersuci) bagi wanita yang haid.

Seorang wanita dihadapkan dengan dua keadaan; terkadang ia suci dan terkadang tidak. Ketika suci, ia tidak mengalami hadats besar berupa haid, nifas, ataupun janabah sehingga ia boleh melakukan berbagai ibadah, termasuk shalat, puasa, dan thawaf di Baitullah. Ia pun halal berhubungan dengan suaminya. Sebaliknya, saat ia sedang tidak suci karena keluarnya darah haid dan nifas, ia tidak diperbolehkan mengerjakan shalat, puasa, thawaf, dan jimak sampai selesai hadatsnya dan mandi.

“Mandi suci”, sebagian wanita menyebutnya demikian ketika mengistilahkan mandi karena telah suci dari haid atau nifas. Bersuci dari haid inilah yang hendak kita bicarakan di sini.

MANDI HAID

Hukum Mandi Haid

Ulama sepakat bahwa wanita yang telah selesai dari haidnya, maka ia wajib mandi. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَيَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذًى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ

“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu, jauhilah istri (pada kemaluannya) ketika mereka sedang haid; dan jangan kalian mendekati mereka sampai mereka suci. Apabila mereka telah suci (telah mandi), silakan kalian datangi mereka dari tempat yang Allah perintahkan kepada kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (al-Baqarah: 222)

Dalam ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala memperkenankan seorang suami untuk menggauli istrinya yang telah suci dari haid apabila si istri telah mandi.

Sebuah kaidah menyebutkan: sesuatu yang membuat sebuah kewajiban menjadi tidak sempurna kecuali dengan adanya (sesuatu tersebut), maka sesuatu itu hukumnya juga menjadi wajib.[2] (al-Majmu’, 2/168)

Baca juga: Mandi Janabah Bagi Wanita Haid

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radhiallahu anha,

فَإِذَا أَقبَلَتِ الْحَيضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي

“Apabila datang masa haidmu, tinggalkanlah shalat. Jika telah berlalu masa haidmu, bersihkanlah dirimu dari darah dan shalatlah.” (HR. al-Bukhari no. 228 dan Muslim no. 751)

Hadits di atas menunjukkan wajibnya mandi bagi wanita yang telah suci dari haid. Sebab, ia wajib mengerjakan shalat, sedangkan ia tidak bisa (diharamkan) mengerjakannya kecuali jika telah mandi suci.

Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa para ulama bersepakat tentang wajibnya mandi jika seorang wanita telah suci dari haid dan nifas. Beberapa ulama menukilkan ijmak ini, di antaranya Ibnul Mundzir dan Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahumullah. (al-Majmu’, 2/168)

Tata Cara Mandi Haid

Mandi haid memiliki dua cara:

  1. Cara yang sempurna
  2. Cara yang mencukupi (asy-Syarhul Mumti’, 1/356)

Pertama: Cara yang sempurna

Mandi suci yang sempurna terdiri dari:

  • niat,
  • mengucapkan basmalah,
  • mencuci kedua telapak tangan tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam gayung/wadah air,
  • menuangkan air dengan telapak tangan kanan ke telapak tangan kiri yang digunakan untuk mencuci kemaluan,
  • menggosokkan telapak tangan kiri dengan kuat ke tanah setelah mencuci kemaluan ataupun ke dinding/tembok dan setelahnya dicuci,
  • berwudhu (untuk kedua kaki boleh ditunda pencuciannya pada akhir mandi),
  • membasahi kepala dengan menyela-nyela pangkal rambut menggunakan jemari yang basah hingga seluruhnya (pangkal rambut) terkena air,
  • memulai dari anggota yang kanan lalu yang kiri,
  • mencurahkan air ke kepala tiga kali, kemudian menuangkan air ke seluruh tubuh, dan
  • mencuci kedua kaki.

Tata cara di atas merupakan cara mandi janabah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Disebutkan dalam hadits Aisyah radhiallahu anha,

أَنَّ النَّبِيَ كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيهِ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ، ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي الْماَءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعْرِهِ، ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيهِ، ثُمَّ يُفِيضُ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِّ

“Apabila Nabi shallallahu alaihi wa sallam mandi janabah, beilau mengawalinya dengan mencuci kedua tangan beliau lalu berwudhu seperti wudhu untuk shalat. Kemudian beliau akan memasukkan jemari beliau ke dalam air lalu menyela-nyela pangkal rambutnya (dekat kulit kepala) dengan jemari tersebut. Setelah itu beliau menuangkan air ke atas kepala beliau sebanyak tiga kali, kemudian mengalirkan air ke atas kulit (tubuh) seluruhnya.” (HR. al-Bukhari no. 248)

Baca juga: Mandi Biasa Sekaligus Mandi Junub

Dalam riwayat Muslim (no. 716) disebutkan,

كَانَ رَسُولُ اللهِ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ، يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ، فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُُ لِلصَّلاَةِ، ثُمَّ يَأْخُذُ الْماَءَ، فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ الشَّعْرِ، حَتَّى إِذَا رَأَى أَن قَدِ اسْتَبْرَأَ، حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ حَفَناَتٍ، ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيهِ

“Apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mandi janabah, beliau shallallahu alaihi wa sallam akan mengawalinya dengan mencuci kedua tangan beliau shallallahu alaihi wa sallam. Setelah itu beliau menuangkan air, dengan tangan kanannya, ke tangan kirinya untuk mencuci kemaluannya. Kemudian berwudhu seperti wudhu untuk shalat, lalu mengambil air untuk membasahi jemari beliau yang kemudian beliau alirkan ke pangkal rambutnya.

Ketika beliau yakin telah membasahi seluruh kepalanya (pangkal rambut), beliau menuangkan air ke atas kepala beliau sebanyak tiga kali lalu mengguyurkan air ke seluruh tubuh beliau dan mencuci kedua kakinya.”

Mencuci kedua telapak tangan di awal mandi dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebanyak tiga kali, sebagaimana disebutkan dalam lafaz lain dari riwayat Muslim (no. 718). Bisa pula dua kali sebagaimana hadits Maimunah radhiallahu anha (no. 720).

Menggosok tangan kiri ke tanah/lantai atau ke tembok setelah mencuci kemaluan disebutkan dalam hadits Maimunah radhiallahu anha yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 260) dan Imam Muslim (no. 720) dalam Shahih keduanya.

Baca juga: Mandi Janabah (bagian 1)

Walaupun hadits di atas berkenaan dengan tata cara mandi janabah, para ulama tetap menyatakan bahwa “mandi haid itu seperti mandi janabah.”

Imam al-Mawardi rahimahullah berkata, “Mandi yang dilakukan seorang wanita setelah suci haid dan nifas, sebagaimana mandi yang dia lakukan karena janabah.” (al-Hawil Kabir, 1/226)

Demikian pula pernyataan Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam al-Mughni (“Kitab ath-Thaharah”, Pasal: Ghaslul Haidh Kaghuslil Janabah).

Sangat dianjurkan (disenangi) bagi si wanita untuk mandi dengan air yang dicampur dengan daun bidara. Mustahab (disunnahkan) pula baginya untuk mengambil kain atau kapas yang diberi misik atau wewangian lalu diusapkan pada sekitar tempat mengalirnya darah untuk menghilangkan sisa-sisa bau darah yang tidak sedap. (al-Mughni, “Kitab ath-Thaharah”, Pasal: Ghaslul Haidh Kaghuslil Janabah; al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 3/238—239)

Baca juga: Mandi Janabah (bagian 2)

Hal ini ditunjukkan oleh hadits Aisyah radhiallahu anha pula. Ia berkata,

“Asma’[3] pernah bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang mandi haid. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengajarinya,

تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ، فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا، حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُنَ رَأْسِهَا، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيهَا الْماَءَ، ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا. فَقَالَتْ أَسمَاءُ: وَكَيفَ تَطَهَّرُ بِهَا؟ فَقاَلَ: سُبحَانَ اللهِ، تَطَهَّرِينَ بِهَا. فَقَالَتْ عَائِشَةُ –كَأَنَّهَا تُخْفِي ذَلِكَ– تَتَّبِعِينَ أَثَرَ الدَّمِ

‘Hendaknya salah seorang dari kalian mengambil air dan daun bidara lalu bersuci dengan memperbagus bersucinya (berwudhu). Kemudian ia tuangkan air tersebut ke atas kepalanya dan menggosoknya dengan sungguh-sungguh hingga mencapai pangkal rambutnya. Setelah itu ia tuangkan air lagi ke tubuhnya, lalu mengambil kain/kapas yang telah diberi misik dan bersuci dengannya.’

Asma’ bertanya, ‘Bagaimana cara ia bersuci dengannya (kain/kapas)?’

‘Subhanallah, engkau bersuci dengannya,’ tegas Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”

Aisyah berkata seakan-akan ia sedang berbisik, “Dengan kain tersebut engkau usap bekas-bekas darah (mengusap daerah kemaluan dan sekitarnya yang terkena darah).” (HR. Muslim no. 748)

Pelajaran dari Hadits Aisyah

Dalam hadits Aisyah radhiallahu anha di atas ada beberapa faedah yang bisa dipetik, sebagaimana telah disebutkan oleh para ulama. Di antaranya

  1. Bertasbih ketika merasa heran.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertasbih saat ditanya oleh Asma’ tentang cara bersuci dengan kapas/kain yang diberi misik. Maknanya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam merasa heran, bagaimana perkara yang demikian jelas bisa tersamarkan bagi Asma’.

  1. Disenanginya memakai kata kiasan dan isyarat dalam perkara yang berhubungan dengan aurat.
  2. Bolehnya seorang wanita, yang mengetahui keadaan dirinya, menanyakan suatu masalah yang sebenarnya malu untuk ia tanyakan.
  3. Wanita dianjurkan menutup aib/cacatnya sampai pun dari suaminya dan sekalipun aib tersebut dijumpai dari sesuatu yang memang sudah menjadi fitrahnya.

Dalam hal ini, wanita diberi bimbingan untuk memberikan wewangian di sekitar kemaluannya saat mandi haid guna menghilangkan bau yang tidak sedap (aroma darah haid) sehingga suaminya tidak mencium sedikit pun bau darahnya.[4]

  1. Hadits ini menunjukkan adanya pengajaran yang dilakukan oleh sebagian wanita kepada wanita lainnya, tentang perkara yang memalukan apabila disebut di hadapan lelaki.

Aisyah mengajari Asma’ sebuah perkara yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam merasa malu untuk menyebutkannya.

  1. Hadits ini juga menunjukkan baiknya akhlak Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, serta besarnya kesabaran dan rasa malu beliau. (Fathul Bari, 1/539—540)

Ditekankan Memberikan Wewangian pada Area yang Terkena Darah

Ummu Athiyah radhiallahu anha berkata,

كُنَّا نُنْهَى أَنْ نُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَلاَ نَكْتَحِلَ وَلاَ نَتَطَيَّبَ وَلاَ نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلاَّ ثَوبَ عَصْبٍ. وَقَدْ رُخِّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظفَارٍ…

“Kami dilarang berihdad[5] terhadap mayit lebih dari tiga hari. Kecuali apabila yang meninggal adalah suami kami, maka seorang istri harus berihdad selama empat bulan sepuluh hari.

Selama masa ihdad tersebut kami tidak boleh memakai celak, tidak boleh memakai wewangian, dan tidak boleh memakai pakaian yang dicelup, kecuali pakaian ashb.[6] Sungguh, kami diberi keringanan, ketika salah seorang dari kami mandi suci dari haidnya, untuk mengenakan sepotong kusti azhfar[7] ….” (HR. al-Bukhari no. 313)

Imam al-Bukhari rahimahullah memberikan judul untuk hadits di atas: Bab ath-Thib lil Mar’ati ‘inda Ghusliha minal Mahidh. Artinya, ‘Wewangian bagi Seorang Wanita Saat Mandi dari Haid’.

Baca juga: Mandi Janabah (bagian 3)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata,

“Yang dimaksud dengan judul bab ini adalah bahwa memakai wewangian bagi wanita saat mandi suci dari haid, merupakan perkara yang ditekankan. Wanita yang sedang berihdad pada asalnya diharamkan menggunakan wewangian. Akan tetapi, dia diberi keringanan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk memakai sedikit wewangian jenis tersebut (saat mandi haid).” (Fathul Bari, 1/536)

Keringanan memakai wewangian bagi wanita yang berihdad saat mandi suci dari haid ini tujuannya adalah menghilangkan aroma yang tidak sedap. (Fathul Bari, 1/537)

Imam an-Nawawi rahimahullah menegaskan, makruh apabila wanita yang mandi haid itu tidak memakai wangi-wangian di tempat mengalirnya darah dalam keadaan dia bisa memakainya. Namun, jika tidak memungkinkan dia memakai wangi-wangian tersebut (beruzur), hal itu tidak menjadi makruh baginya. (al-Minhaj, 3/239)

Kedua: Cara mandi haid yang cukup bagi wanita

Caranya ialah dengan mengguyurkan air ke seluruh tubuhnya hingga membasahi semuanya, mengenai seluruh rambut dan kulitnya. (al-Hawi, 1/227; al-Mughni, “Kitab ath-Thaharah”, Bab: al-Ghusl minal Janabah)

Imam al-Hafizh Ibnu Abdil Bar al-Andalusi rahimahullah berkata, “Apabila orang yang mandi janabah tidak berwudhu, tetapi mengalirkan air ke seluruh tubuhnya, kepalanya, kedua tangannya, dan kedua kakinya—serta lebih sempurna lagi jika ia mengusapkan kedua tangannya di atas tubuhnya; berarti ia telah menunaikan kewajibannya apabila ia memang meniatkan untuk mandi (janabah).”

Beliau melanjutkan, “Ini merupakan ijmak yang tidak diperselisihkan di kalangan ulama.” (at-Tamhid lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid, 1/275)

Hukum Mengurai Rambut Saat Mandi Haid

Jika mandi yang dilakukan seorang wanita adalah mandi janabah, “Imam yang Empat” (para imam mazhab) bersepakat bahwa si wanita tidak wajib melepas ikatan rambutnya. (al-Mughni)

Terlebih lagi ada hadits yang tegas dari Ummu Salamah radhiallahu anha, ketika ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Aku adalah seorang wanita yang kuat ikatan/gelungan rambutnya. Apakah aku harus melepaskan gelungan tersebut saat mandi janabah?”[8]

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab,

لاَ، إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِي عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ، ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيكِ فَتَطْهُرِينَ

“Tidak. Engkau cukup menuangkan air ke kepalamu tiga kali, kemudian guyurkan air tersebut ke seluruh tubuhmu. Dengan begitu, engkau telah suci.” (HR. Muslim no. 742)

Adapun mandi suci dari haid, para ulama berbeda pandangan tentang hukum melepas ikatan rambut atau gelungan/kepangan rambut tersebut.

Pendapat pertama: Wajib melepasnya/mengurainya

Demikian pendapat al-Hasan al-Bashri, Thawus, an-Nakha’i, Waki’, Ahmad, dan selainnya rahimahumullah. (Fathul Bari, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/479)

Pendapat ini yang dianggap kuat oleh Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya, al-Muhalla (1/285). Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu yang diriwayatkan secara marfu’,

إِذَا اغْتَسَلَتِ الْمَرْأَةُ مِنْ حَيْضِهَا نَقَضَتْ شَعْرَهَا نَقْضًا وَغَسَلَتْهُ بِخَطِمِي وَأَشنَانٍ، فَإِذَا اغْتَسَلَتْ مِنَ الْجَنَابَةِ صَبَّتْ عَلَى رَأْسِهَا الْمَاءَ وَعَصَرَتْ

“Apabila seorang wanita mandi dari haidnya, ia melepas ikatan rambutnya dan membasuhnya dengan khathmi dan asynan (jenis wewangian). Namun, jika ia hanya mandi janabah, cukup ia tuangkan air ke atas kepalanya dan ia peras (rambutnya).” (HR. ad-Daraquthni dalam al-Afrad, al-Khathib dalam at-Talkhish, ath-Thabarani dalam al-Kabir, dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra)

Namun, hadits ini lemah karena dalam sanadnya terdapat Muslim bin Shubh al-Yahmadi yang bersendiri dalam periwayatannya, padahal ia adalah seorang perawi yang majhul (tidak dikenal). Demikian kata Imam asy-Syaukani rahimahullah.[9]

Di samping itu, digandengkannya perbuatan melepas ikatan rambut dengan mencuci rambut serta memakai khathmi dan asynan, menunjukkan tidak wajibnya melepas rambut. Sebab, tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa memakai khathmi dan asynan hukumnya wajib. (as-Sailul Jarrar, 1/291)

Baca juga: Melepas Ikatan Rambut Saat Mandi

Dalil kedua adalah hadits Aisyah radhiallahu anha, ketika tengah berhaji bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Saat itu Aisyah radhiallahu anha ditimpa haid. Hal itu diadukan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda kepada sang istri,

وَانْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي

“Lepaskanlah ikatan rambutmu dan bersisirlah ….” (HR. al-Bukhari no. 316 dan 317, dan Muslim no. 2902)

Dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam tersebut tidak ada perintah untuk mandi. Akan tetapi, dalam riwayat Ibnu Majah (no. 641) disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada Aisyah radhiallahu anha yang sedang haid,

انْقُضِي شَعْرَكِ وَاغْتَسِلِي

“Lepaskanlah ikatan rambutmu dan mandilah ….”

Sanad hadits ini dinyatakan sahih, sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim, oleh Imam al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah, no. 188[10].

Hadits Aisyah radhiallahu anha yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim di atas diberi judul oleh Imam al-Bukhari rahimahullah, dalam Shahih-nya: Bab Naqdhi al-Mar’ati Sya’raha inda Ghuslil Mahidh. Artinya, ‘Bab: Wanita Melepas Ikatan/Gelungan Rambutnya Saat Mandi Haid’.

Baca juga: Minyak Rambut Menghalangi Sahnya Mandi Junub?

Namun, menjadikan hadits tersebut sebagai argumen untuk mewajibkan seorang wanita haid agar mengurai rambutnya saat mandi suci, masih menyisakan permasalahan.[11] Sebab, sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam ini tidak berkaitan dengan mandi suci dari haid, tetapi berupa perintah untuk mandi untuk berihram haji[12]; dalam keadaan Aisyah radhiallahu anha sendiri sedang haid dan sama sekali belum melihat dirinya suci.

Hal lain yang juga menunjukkan tidak wajibnya adalah perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada Aisyah untuk menyisir rambutnya. Sementara itu, perbuatan menyisir rambut sudah pasti tidak ada seorang pun yang mengatakannya wajib. (al-Mughni, “Mas’alah Qala: wa Tanqudhu al-Mar’atu Sya’raha li Ghusliha minal Haidh ….”; Subulus Salam 1/344; as-Sailul Jarrar, 1/292)

Pendapat kedua: mustahab, tidak wajib

Demikianlah pendapat jumhur ulama, di antaranya “Imam yang Tiga” dan sebagian besar fukaha. Pendapat ini juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan yang dipilih oleh al-Muwaffaq al-Majd Ibnu Taimiyah dan selain mereka, rahimahumullah. (al-Mughni “Mas’alah Qala: wa Tanqudhu al-Mar’atu Sya’raha li Ghusliha minal Haidh ….”; Taudhihul Ahkam, 1/400)

Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah, dalam Fathul Bari (1/481) karya beliau, menyatakan bahwa kebanyakan ulama menyamakan antara mandi janabah dan mandi haid, dalam hal tidak wajibnya melepas ikatan/gelungan rambut pada kedua mandi tersebut.[13]

Dalil pendapat ini adalah riwayat Asma’ radhiallahu anha, yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang mandi haid, sebagaimana telah berlalu. Dalam hadits tersebut tidak disebutkan perbuatan melepas ikatan rambut. Kalau hal itu wajib, niscaya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan menyebutkannya. Sebab, tidak diperbolehkan menunda penjelasan saat penjelasan itu dibutuhkan. (al-Mughni, “Mas’alah Qala: wa Tanqudhu al-Mar’atu Sya’raha li Ghusliha minal Haidh …”)

Jika melihat dalil yang disebutkan oleh setiap pendapat, kata penulis Taudhihul Ahkam (1/401), pendapat mazhab Imam Ahmad adalah yang paling kuat dalam masalah ini. Akan tetapi, yang lebih bagus adalah menganggap hukum perbuatan melepas ikatan/gelungan rambut sebagai mustahab.

Baca juga: Hukum Wanita Haid Membaca Al-Qur’an

Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah menyatakan,

“Dalil yang rajih (kuat) adalah yang menyebutkan tidak wajibnya melepas ikatan rambut saat mandi haid, sebagaimana hal itu tidak wajib pula dalam mandi janabah.

Hanya saja, melepas ikatan rambut saat mandi haid hukumnya disyariatkan, berdasarkan dalil-dalil yang ada. Namun, perintah yang ada tidak menunjukkan kewajiban, berdasarkan dalil hadits Ummu Salamah. Inilah pendapat yang dipilih oleh penulis al-Inshaf.

Adapun untuk mandi janabah, tidaklah mustahab melepas ikatan rambut. Melepas ikatan rambut ini hanyalah ditekankan saat mandi haid.” (Taudhihul Ahkam, 1/401)

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

“Jika si wanita memiliki rambut yang diikat/digelung, ia tidak wajib melepas ikatan/gelungan tersebut saat mandi janabah. Mandi suci dari haid sama saja dengan mandi janabah, tidak ada perbedaan.” (al-Umm, 1/227)

TAYAMUM MENGGANTIKAN MANDI HAID

Apabila seorang wanita haid telah suci, sementara ia tidak mendapatkan air untuk mandi atau tidak mampu menggunakan air, ia boleh bertayamum. (al-Majmu’ 2/340; al-Muhalla 1/367)

Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءً فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ

“Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan (jimak) lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajah dan tangan kalian dengan (debu) itu.” (al-Maidah: 6)

Ayat di atas menyebutkan bahwa seseorang yang junub (karena menyentuh perempuan/jimak) boleh bertayamum apabila tidak mendapatkan air. Demikian pula halnya dengan wanita haid—juga boleh bertayamum.

Dalil dari as-Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا

“Bumi ini dijadikan untukku sebagai masjid dan tanahnya sebagai penyuci.” (HR. al-Bukhari no. 335 dan 438, Muslim no. 1163)

Dengan demikian, semua perkara (ibadah) yang kita diperintahkan untuk bersuci walaupun tidak ada air, maka bersucinya ialah menggunakan tanah/debu, berdasarkan keumuman hadits di atas. (al-Muhalla, 1/368)

Baca juga: Tayamum untuk Mengangkat Hadats Besar

Demikian pula hadits-hadits yang menyebutkan tata cara tayamum bagi orang yang junub, seperti hadits Imran bin Hushain radhiallahu anhu yang panjang. Hadits tersebut mengisahkan perihal seorang lelaki yang menyendiri dan tidak mengikuti shalat berjamaah karena janabah yang menimpanya, sementara saat itu sedang tidak ada air. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda kepadanya, “Engkau bisa bersuci dengan tanah/debu, itu sudah mencukupimu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Pembolehan bertayamum ini pun berlaku bagi wanita yang haid karena tidak ada pembedaan dalam hal ini.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


Catatan Kaki

[1] Majmu Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 11/281.

[2] Jimak tidak dapat dilakukan kecuali apabila si istri telah suci dari haid dan telah mandi. Ketika itu, mandi haid pun menjadi wajib hukumnya.

[3] Asma’ bintu Syakal, sebagaimana disebutkan namanya dalam riwayat Muslim (no. 750). Namun, al-Khathib al-Hafizh Abu Bakr al-Baghdadi rahimahullah dalam kitabnya, al-Asma’ al-Mubhamah, menyatakan bahwa nama wanita yang bertanya dalam hadits Aisyah tersebut adalah Asma’ bintu Yazid bin Sakan yang digelari “Khathibatun Nisa” (juru bicara para wanita). Al-Khathib juga meriwayatkan sebuah hadits yang menyebutkan bahwa nama wanita yang bertanya adalah Asma’ bintu Yazid. Wallahu a’lam. (al-Minhaj, 3/241)

Para wanita sahabiyah radhiallahu anhum tidak malu menanyakan perkara agama mereka. Tujuannya ialah menghilangkan kebodohan yang ada pada diri mereka. Aisyah radhiallahu anha pernah memberikan pujian kepada para wanita Anshar,

نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ، لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ

“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidaklah menghalangi mereka untuk mendalami ilmu agama.” (HR. Muslim no. 748)

[4] Memberi wewangian pada bagian tubuh tempat mengalirnya darah ini tidak hanya berlaku bagi wanita yang telah bersuami, tetapi disunnahkan bagi setiap wanita yang mandi haid ataupun nifas; sama saja apakah ia memiliki suami ataukah tidak.

Wewangian tersebut ia pakai setelah mandi. Jika ia tidak mendapatkan misik, ia boleh menggunakan minyak wangi lain yang bisa didapatkannya. (al-Minhaj, 3/239)

[5] Tidak berhias karena berduka cita atas kematian seseorang.

[6] Semacam kain bergaris dari Yaman yang diikat benang tenunnya, kemudian dicelup dan ditenun.

[7] Sejenis wangi-wangian/dupa.

[8] Adapun tambahan lafaz “mandi haid”, kata Imam al-Albani rahimahullah, merupakan tambahan yang syadz (ganjil). Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, dalam at-Tahdzib (1/167), telah lebih dulu menetapkan syadz-nya tambahan tersebut. (Lihat ash-Shahihah, hadits no. 189)

[9] Hadits ini dinyatakan dhaif (lemah) oleh Imam al-Albani rahimahullah, dalam adh-Dha’ifah no. 937.

[10] Beliau termasuk yang berpendapat wajibnya melepas ikatan rambut bagi wanita yang mandi haid.

[11] Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan bahwa maksud al-Bukhari rahimahullah dengan penamaan judul bab di atas bisa saja dipahami dengan makna yang benar, yaitu Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintah Aisyah radhiallahu anha untuk melepas ikatan rambutnya dan menyisirnya saat mandi untuk ihram. Sebab, mandi untuk ihram jarang dilakukan (tidak berulang) sehingga tidak menyulitkan beliau radhiallahu anha untuk mengurai rambutnya.

Pada mandi haid dan nifas didapatkan makna ini. Artinya, haid dan nifas yang dialami seorang wanita jarak waktunya berjauhan. Haid hanya dialami pada hari-hari tertentu dalam sebulan, setelah itu si wanita mandi. Nifas paling tidak dialami setahun sekali sehingga mandi suci hanya sekali dalam setahun.

Oleh sebab itu, seorang wanita tentu tidak akan kesulitan apabila diperintah untuk melepas ikatan rambutnya saat mandi haid atau nifas. Berbeda halnya dengan mandi janabah, ia bisa terjadi berulang-ulang (khususnya bagi yang telah berkeluarga). Bisa timbul kesulitan jika rambut harus diurai tiap kali mandi. Maka dari itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintah para wanita untuk melepas ikatan rambutnya. Wallahu a’lam. (Lihat Fathul Bari, karya Ibnu Rajab, 1/477)

[12] Mandi ini disunnahkan ketika berihram, termasuk bagi wanita yang sedang haid dan nifas. Mandi seorang wanita dalam keadaan haid dan nifas tersebut adalah untuk kebersihan, bukan untuk mengerjakan shalat karena ia sendiri belum suci. Sementara itu, yang menjadi perdebatan adalah apabila si wanita haid/nifas tersebut mandi suci; apakah harus melepas ikatan rambutnya ataukah tidak? (Nailul Authar, 1/352)

[13] Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin, dan lainnya rahimahumullah.

(Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah)