Tentang Cinta

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah)

Hampir dipastikan semua orang mengetahui kata cinta dan pernah mengucapkannya dengan lisan maqal1 ataupun lisan hal2. Suami menyatakannya kepada istrinya, istri kepada suami, ayah dan ibu kepada anak-anaknya, anak kepada orang tuanya, cinta saudara dan kerabat, cinta kepada sahabat dan teman-teman, cinta tanah air dan negeri. Ada pula pernyataan cinta kepada Allah l, cinta Rasul, dan cinta agama.
Di antara cinta, ada yang merupakan ibadah dan ada yang bukan. Ada cinta yang dibolehkan dan ada pula cinta yang terlarang.
Cinta yang merupakan ibadah adalah cinta yang disertai dengan ketundukan, menghinakan diri, mendekat, dan mengagungkan yang dicintai. Inilah cinta atau mahabbah yang tidak boleh diberikan selain kepada Allah k semata.
Seluruh pengabdian yang dilakukan oleh hamba untuk Rabbnya harus dilandasi dengan cinta, selain rasa khauf/takut dan raja’/berharap. Dia memang Dzat yang sangat dicintai oleh para hamba-Nya yang beriman. Selain ditakuti murka, azab, dan siksa-Nya, bersamaan dengan itu diharapkan pula pengampunan, pahala, dan rahmat-Nya. Karena itulah, hamba yang benar-benar takut kepada-Nya akan terus mendekat kepada-Nya dengan melakukan ketaatan yang ikhlas, sesuai dengan bimbingan Rasul n, dengan penuh cinta dan berharap.
Perlu diketahui, semata-mata pengakuan cinta kepada Allah l tanpa dibarengi oleh ibadah ketaatan dan menjauhi maksiat tidak bisa menyelamatkan seorang hamba di akhirat.
Di antara manusia ada yang kosong hatinya dari cinta kepada Allah l karena telah dipenuhi oleh cinta yang batil, seperti cinta kepada sesembahan selain Allah l, cinta kepada dunia, nafsu, dan syahwat. Kalaupun ada tersisa cinta kepada Allah l, namun cintanya telah ternoda.
Dalam buku al-Jawabul Kafi atau ad-Da’u wad Dawa’ (hlm. 292—293), al-Imam Ibnul Qayyim t membagi cinta menjadi empat macam, ditambah macam yang kelima. Antara satu dan yang lainnya harus dibedakan agar seorang hamba tidak keliru bertindak.
Pertama: Mahabbatullah; cinta kepada Allah l.
Menurut asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh t, penulis Fathul Majid Syarhu Kitabit Tauhid, mahabbatullah ini adalah pokok agama Islam, yang berporos di atasnya kutub raja’ (berharap) kepada-Nya. Apabila cinta ini sempurna, sempurna pula tauhid seorang hamba dan sebaliknya. (Fathul Majid, hlm. 290)
Namun, seperti yang telah disinggung sebelum ini bahwa cinta ini semata tanpa dibarengi yang lain, tidak cukup untuk menyelamatkan si hamba dari azab Allah l dan tidak cukup untuk beroleh keberuntungan meraih pahala-Nya. Buktinya, orang-orang musyrikin, para penyembah salib, Yahudi, dan selain mereka juga mengaku cinta kepada Allah l, namun adakah mereka selamat karenanya?
Allah l berfirman,
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah yang mereka cintai seperti cinta kepada Allah, sementara orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah: 165)
Dalam penafsiran firman Allah l, “yang mereka cintai seperti cinta kepada Allah” ada dua pendapat:
1. Orang-orang musyrikin mencintai tandingan/sesembahan mereka sebagaimana mereka mencintai Allah l. Dengan demikian, mereka memiliki rasa cinta kepada Allah l, tetapi cinta itu mereka sekutukan dengan cinta kepada sesembahan mereka.
2. Orang-orang musyrikin mencintai tandingan/sesembahan mereka sebagaimana orang-orang beriman mencintai Allah l.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menguatkan pendapat yang pertama. Beliau menyatakan, “Mereka itu dicela tidak lain karena menyekutukan Allah l dengan tandingan mereka dalam hal cinta. Mereka tidak memurnikan cinta tersebut untuk Allah l sebagaimana cinta orang-orang beriman kepada Allah l.”
Kelak di dalam neraka orang-orang musyrikin akan menyesali penyekutuan yang mereka lakukan ketika di dunia dengan berkata kepada sekutu dan sesembahan mereka yang hadir bersama mereka dalam azab,
“Demi Allah, sungguh kami dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata karena kami mempersamakan kalian dengan Rabb semesta alam.” (asy-Syu’ara: 97—98) (Lihat Fathul Majid, hlm. 290—291)

Kedua: Mencintai apa yang dicintai oleh Allah l.
Cinta inilah yang memasukkan seorang hamba ke dalam Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Orang yang paling dicintai oleh Allah l adalah yang paling menegakkan cinta ini dan paling bersemangat melakukan amalan yang mendatangkan cinta Allah l. Dengan cinta yang kedua ini, ditegakkanlah ibadah kepada Allah l.

Ketiga: Cinta untuk Allah l dan karena Allah l.
Ini adalah kelaziman dari mencintai apa yang dicintai oleh Allah l. Tidak akan tegak cinta kepada apa yang dicintai oleh Allah l selain cinta untuk-Nya dan karena-Nya, lillah dan fillah. Jadi, tidak ada cinta kepada siapa dan apa pun selain karena Allah, bukan karena dorongan duniawi.

Keempat: Mencintai sesuatu dengan kadar yang sama dengan cinta kepada Allah l.
Ini adalah mahabbah syirkiyyah, cinta yang syirik. Setiap orang yang mencintai sesuatu sama dengan cintanya kepada Allah l, bukan untuk Allah l, bukan pula karena Allah l, berarti ia telah menjadikan tandingan bagi Allah l.
Inilah cinta orang-orang musyrikin, seperti yang disinggung pada jenis cinta yang pertama.

Kelima: Mahabbah thabi’iyah, yaitu kecondongan seseorang kepada sesuatu yang mencocoki tabiat dan seleranya.
Contohnya, orang yang haus suka kepada air, orang lapar senang kepada makanan, cinta istri dan anak, dan semisalnya. Cinta seperti ini tidaklah tercela melainkan apabila sampai melalaikan dari zikir kepada Allah l dan menyibukkan diri dari cinta kepada-Nya, sebagaimana Allah l berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah. Barang siapa berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang rugi.” (al-Munafiqun: 9)
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan, tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah, serta dari mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang di hari itu hati dan penglihatan menjadi goncang.” (an-Nur: 37)

Cinta yang Paling Agung
Ada macam cinta yang paling tinggi, paling puncak, dan paling sempurna yaitu khullah. Tiada tersisa di hati tempat bagi selain yang dicintai dan sama sekali tidak ada yang menyamai posisi yang dicintai.
Allah l mencintai semua hamba-Nya yang beriman. Tetapi, untuk dua hamba-Nya yang pilihan secara khusus dijadikan-Nya sebagai khalil, yaitu Nabi Ibrahim q dan Nabi Muhammad n.
Rasulullah n mengabarkan dalam sabdanya,
إِنَّ اللهَ اتَّخَذَنِي خَلِيْلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً
“Sesungguhnya, Allah telah menjadikan aku sebagai khalil sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lain, Rasulullah n memberitakan,
لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيْلاً مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ، لَاتَّخَذْتُ أَباَ بَكْرٍ خَلِيْلاً، وَلَكِنَّ صَاحِبَكُمْ خَلِيْلُ اللهِ
“Seandainya aku boleh mengambil khalil dari penduduk bumi niscaya aku akan menjadikan Abu Bakr sebagai khalil. Akan tetapi, teman kalian ini (maksudnya diri beliau sendiri) adalah khalil bagi Allah.”3 (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Tatkala hati Nabi Ibrahim q terisi dengan rasa cinta yang mendalam terhadap Ismail, putranya, Allah l menguji kekasih-Nya ini dengan perintah yang diperoleh dalam mimpi agar menyembelih sang putra karena Allah l tidak menghendaki hati kekasih-Nya dipenuhi dengan kecintaan kepada selain-Nya. Dengan demikian, maksud sebenarnya bukanlah penyembelihan jasad sang putra, melainkan menyembelihnya dari hati Ibrahim agar hati itu murni hanya untuk Allah l.
Tatkala Ibrahim bersegera menjalankan titah yang diperoleh dan menunjukkan bahwa beliau lebih mencintai Allah l daripada cintanya kepada sang putra maka tercapailah maksud, ditebuslah sang putra dengan seekor domba. Ibrahim berhasil membuktikan cintanya yang sangat tinggi hanya kepada Rabbnya. (al-Jawabul Kafi, hlm. 294)

Mengaku Cinta
Banyak orang mengaku cinta kepada Allah l, namun benarkah pengakuan tersebut dan diterimakah cintanya?
Semua yang mengaku-aku tersebut hendaknya dihadapkan dengan ayat ujian atau ayat mihnah yaitu firman Allah l,
Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31)
Sebagian salaf mengatakan, ketika ada orang-orang yang mengaku cinta kepada Allah l maka Allah l menurunkan ayat mihnah ini.
Dengan demikian, bukti kebenaran pengakuan tersebut adalah mengikuti Rasulullah n. Siapa yang bersemangat mengikuti ajaran Rasul n, menghidupkan sunnahnya, dan menolong agamanya berarti ia telah membuktikan kebenaran cintanya.
Sebaliknya, siapa yang benci kepada sunnah Rasul n, antipati dengan orang-orang yang menghidupkan sunnah dan senang dengan bid’ah bahkan menyebarkannya, lantas ia mengaku cinta kepada Allah l, berarti ia telah membuktikan sendiri bahwa cintanya hanya omong besar alias dusta!
Siapa yang benar-benar mengikuti Rasulullah n karena cinta kepada Dzat yang mengutusnya, akan berbuah kecintaan Sang Pengutus. Jadilah cinta berbalas, tak bertepuk sebelah tangan. Tidak hanya itu, pengampunan Allah l pun diraih.

Kaum yang Cintanya Berbalas
Allah l berfirman menyebutkan orang-orang yang mencintai dan dicintai-Nya,
“Wahai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (al-Maidah: 54)
Allah l menyebutkan empat tanda atau ciri-ciri kaum tersebut.
1. Mereka memiliki kasih sayang dan kelembutan terhadap orang-orang yang beriman.
2. Bersikap keras kepada orang-orang kafir.
3. Berjihad di jalan Allah l dengan jiwa, tangan, lisan, dan harta mereka.
4. Dalam memegangi ketaatan kepada Allah l, mereka tidak peduli celaan orang yang mencela.

Sebab Mendapatkan Cinta
Ada sepuluh sebab di antara sekian banyak sebab menumbuhkan cinta kepada Allah l.
1. Membaca al-Qur’an dengan mentadabburi dan berusaha memahaminya.
2. Mendekat/taqarrub kepada Allah l dengan mengerjakan amalan nafilah/sunnah setelah menunaikan yang wajib.
3. Terus-menerus mengingat-Nya dalam seluruh keadaan, baik dengan lisan, hati, maupun amalan.
4. Mengutamakan apa yang dicintai oleh Allah l daripada apa yang dicintai oleh jiwanya.
5. Hati berusaha menelaah nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
6. Mempersaksikan kebaikan-Nya serta nikmat-Nya yang lahir dan batin.
7. Benar-benar hati itu luluh lantak di hadapan-Nya.
8. Memanfaatkan waktu turunnya Allah l untuk bermunajat kepada-Nya, membaca al-Qur’an, serta ditutup dengan istighfar dan taubat.
9. Duduk bermajelis dengan orang-orang saleh yang mencintai Allah l, mengambil buah dari ucapan mereka yang baik. Selain itu, ia tidak berbicara melainkan dipastikan ada kemaslahatannya.
10. Menjauhi segala sebab yang dapat memisahkan hati dengan Allah l. (Fathul Majid, hlm. 292—293)
Ya Allah, jadikanlah kami hamba yang benar cintanya kepada-Mu….

Catatan Kaki:

1 Dalam bentuk perkataan.
2 Mengungkapkannya bukan dengan ucapan melainkan dengan perilaku, sikap, dan tindakan.

3 Dari sini, kita tahu kesalahan orang yang mengatakan Rasulullah n sebagai habibullah, karena mahabbah sifatnya umum. Semua orang beriman adalah habibullah, sementara itu khullah adalah cinta yang khusus dan yang tertinggi. Oleh karena itu, sebutan yang benar terhadap Rasulullah n adalah khalilullah.