Titian Tuk Menundukkan Wajahku Dihadapan-Mu; bagian ke-3

Dalam edisi yang lalu, telah disebutkan tata cara wudhu yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai dari mencuci wajah hingga mengusap kepala dan telinga. Berikut ini merupakan kelanjutannya.

Mengusap Sorban/Imamah

Saat berwudhu, seseorang yang memakai imamah atau sorban tidak perlu melepas imamahnya, namun cukup mengusapnya (al-Majmu’, 1/438). Ini sebagaimana ditunjukkan hadits ‘Amr bin Umayyah radhiallahu ‘anhu:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ يَمْسَحُ عَلَى عِمَامَتِهِ وَخُفَّيْهِ

“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap di atas imamahnya dan dua khuf-nya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 205)

kain-sorban

Ulama berbeda pendapat tentang hukum mengusap imamah ini (Nailul Authar, 1/237). Namun yang rajih (kuat), mengusap imamah ini dibolehkan sebagaimana ditunjukkan hadits di atas.

Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata ketika menerangkan hadits di atas, “(Bolehnya mengusap imamah) ini merupakan pendapat lebih dari seorang ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti Abu Bakr, ‘Umar, dan Anas radhiallahu ‘anhum. Juga pendapat al-Auza’i, Ahmad, dan Ishaq.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/69)

Demikian pula pendapat ats-Tsauri dalam satu riwayat darinya, Abu Tsaur, ath-Thabari, Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, dan selain mereka. (Fathul Bari,1/378)

Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “(Masalah mengusap sorban ini) telah diriwayatkan dari enam sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: al-Mughirah bin Syu’bah, Bilal, Salman, ‘Amr bin Umayyah, Ka’b bin Ujrah, dan Abu Dzar radhiallahu ‘anhum. Mereka semua meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad-sanad yang tidak saling bertentangan dan tidak ada celaan di dalamnya. Pendapat inilah yang dikatakan oleh jumhur sahabat dan tabi’in.” (al-Muhalla, 2/60)

Bila sebagian rambut tidak tertutup oleh sorban, maka disukai untuk mengusap rambut yang terbuka tersebut. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Apabila sebagian rambut terbuka—yang menurut kebiasaan, bagian tersebut memang biasa terbuka—maka disukai untuk mengusapnya bersamaan dengan mengusap imamah. Demikian pendapat al-Imam Ahmad, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap imamah dan jambulnya (rambut yang ada di depan kepala) sebagaimana dalam hadits al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu.” (al-Mughni, 1/182)

Al-Mughirah radhiallahu ‘anhu berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, kemudian beliau mengusap jambulnya, mengusap di atas imamahnya, dan dua khufnya.” (Sahih, HR. Muslim no. 274)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, tidaklah mencukupkan dengan hanya mengusap jambulnya. Tapi beliau teruskan dengan mengusap imamahnya. (Majmu’ Fatawa, 21/125, asy-Syarhul Mumti’, 1/152)

Keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesekali mengusap kepalanya, sekali waktu mengusap di atas imamahnya, serta di waktu lain mengusap jambul dan imamahnya. (Zadul Ma’ad, 1/49)

Sebelum mengenakan imamah, tidak disyaratkan harus bersuci terlebih dahulu sebagaimana persyaratan ini diberlakukan dalam masalah pengusapan khuf (yang akan datang penjelasannya nanti, insya Allah). Demikian pula tidak ada batasan waktu pengusapannya.

Ibnu Hazm berkata, “Mengusap imamah itu boleh dilakukan selamanya tanpa ada batas waktunya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap imamah dan khimar-nya (penutup kepala) tanpa menentukan batas waktunya. Adapun beliau biasa mengusap khufnya dengan disertai penentuan batas waktunya.” (al-Muhalla, 2/58—60)

cadar

Adapun dalam permasalahan kerudung yang dikenakan oleh wanita, terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama. Di antara mereka ada yang membolehkan dan ada yang tidak.

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Apabila si wanita khawatir kedinginan dan semisalnya, maka ia boleh mengusap kerudungnya karena Ummu Salamah radhiallahu ‘anha pernah melakukannya. Sepantasnya bersamaan dengan mengusap kerudung ini, ia mengusap pula sebagian rambutnya. Namun bila tidak ada keperluan, maka ada perselisihan di kalangan ulama tentang kebolehannya.” (Majmu’ Fatawa, 21/218)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang permasalahan ini, “Bolehkah wanita mengusap di atas kerudungnya?” Beliau menjawab, “Pendapat yang masyhur dari mazhab Al-Imam Ahmad rahimahullah adalah wanita dibolehkan mengusap di atas kerudungnya apabila kerudung tersebut menutupi seluruh kepala, dada, dan lengan atasnya. Karena hal yang demikian disebutkan riwayatnya dari sebagian wanita dari kalangan sahabat radhiallahu ‘anhunna. Kesimpulannya, bila memang hal ini menyulitkan, baik karena udara dingin maupun sulit untuk melepaskan dan melilitkannya, maka tidak mengapa diringankan bagi wanita tersebut untuk mengusap kerudungnya. Namun bila tidak ada keperluan (udzur), maka yang lebih utama ia tidak mengusap kerudungnya (akan tetapi ia mengusap kepalanya).” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 4/171)

Walaupun dalam permasalahan mengusap kerudung ini memang tidak ada nash yang sahih. (asy-Syarhul Mumti’, 1/196)

Mencuci Kedua Kaki

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat wudhu:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai siku. Usaplah kepala-kepala kalian dan cucilah kaki-kaki kalian sampai mata kaki….” (al-Maidah: 6)

Adapun dalil dari As-Sunnah antara lain dalam hadits Humran, maula (bekas budak) ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu yang melihat bagaimana cara ‘Utsman mencontohkan wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلىَ الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ

“Kemudian ia (‘Utsman) mencuci kakinya yang kanan beserta mata kaki sebanyak tiga kali, lalu mencuci yang kiri dengan cara yang semisalnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 164 dan Muslim no. 226. Lafadz hadits ini menurut lafadz Muslim rahimahullah)

cuci-kaki

Hukum mencuci kaki ini wajib bahkan termasuk rukun dalam berwudhu. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Ulama bersepakat tentang wajibnya mencuci wajah, kedua lengan, dan kedua kaki (di dalam berwudhu).” (Syarah Shahih Muslim, 3/107)

Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah berkata, “Tumit termasuk bagian yang dicuci, sehingga batillah pendapat orang yang mengatakan cukup mencuci bagian bawah tumit.” (Ihkamul Ahkam bi Syarhil ‘Umdatil Ahkam, 1/67)

Ketika mencuci kaki ini, kedua mata kaki ikut disertakan dalam pencucian karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ

“Dan cucilah kaki-kaki kalian sampai mata kaki.”

Yakni beserta mata kaki. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 6/61, al-Majmu’, 1/472)

Penjelasan tentang mencuci mata kaki ini sama dengan penjelasan mencuci lengan sampai ke siku (Fathul Bari, 1/367). Demikian pula disebutkan dalam Subulus Salam (1/66), Sailul Jarrar (1/136), dan kitab-kitab lainnya.

Kedua Kaki Dicuci, Bukan Diusap

Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertinggal dari kami dalam sebuah safar (perjalanan). Kemudian beliau dapat menyusul kami dan ketika itu kami berada di akhir waktu shalat Ashar. Maka kami pun bersegera untuk berwudhu dan mengusap kaki-kaki kami. Melihat hal tersebut beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dengan suara yang keras:

وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ

“Celakalah tumit-tumit itu dari api neraka.” Beliau mengulangi ucapan ini dua atau tiga kali. (Sahih, HR. al-Bukhari no. 60, 96, 163, dan Muslim no. 241)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam bab “Wajibnya Mencuci Kedua Kaki Secara Keseluruhan”[1]: “Keinginan Al-Imam Muslim rahimahullah membawakan hadits ini di sini sebagai pendalilan wajibnya mencuci kedua kaki dan tidak cukup hanya dengan mengusapnya.” (Syarah Shahih Muslim, 3/129)

Ibnu Khuzaimah mengatakan tentang hadits ini, “Seandainya orang yang mengusap kakinya itu telah menunaikan apa yang diwajibkan, niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengancamnya dengan api neraka.” (Fathul Bari, 1/334). Demikian pula yang ditunjukkan dalam hadits Humran yang telah lewat penyebutannya ketika ia melihat ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu berwudhu.

Pentingnya permasalahan mengusap dan mencuci ini disebabkan adanya kelompok yang berpendapat bahwa kaki tidak dibasuh, namun cukup diusap. Hal ini seperti dinukilkan dari pendapat orang-orang Syi’ah (Syarah Shahih Muslim, 3/107). Namun pendapat ini tidak memiliki sandaran dalil, bahkan dalil yang mereka bawakan dapat dipatahkan (Ihkamul Ahkam, 1/84). Jumhur ulama telah sepakat wajibnya mencuci kaki ini (Nailul Authar, 1/141), bahkan ini merupakan pendapat semua ahli fiqih dari kalangan ahli fatwa di seluruh dunia dan setiap zaman. (Syarah Shahih Muslim, 3/129)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Tidaklah didapatkan periwayatan yang kokoh dari seorang sahabat pun yang menyelisihi hal ini terkecuali dari ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, dan Anas radhiallahu ‘anhum, namun semuanya telah ruju’ (kembali) dari pendapat mereka (kepada pendapat bahwasanya kaki dicuci bukan diusap).” (Fathul Bari, 1/334)

Ada baiknya kita singgung di sini lafadz dalam ayat wudhu. Lafadz ini ada tiga bacaan yang datang penyebutannya:

  1. dengan dhammah (rafa’) pada huruf lam, ini adalah bacaan al-Hasan al-Bashri dan al-A’masy rahimahumallah, namun bacaan ini syadz (ganjil).
  2. dengan fathah (nashab) pada huruf lam, ini adalah bacaan Nafi’, Ibnu ‘Amir, dan al-Kisa’i rahimahumullah. Berdasarkan bacaan ini maka ‘amil (yang menjadikan lafaz ini nashab) darinya adalah kata (cucilah) yakni kembalinya pada mencuci wajah dan kedua lengan sehingga kedua kaki juga dicuci tidak boleh sekadar diusap. Demikian mazhab jumhur dan juga ditunjukkan dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  3. dengan kasrah (khafdh atau jarr) pada huruf lam, demikian bacaannya Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, dan Hamzah rahimahumullah. Bacaan inilah yang dijadikan dalil oleh Syi’ah untuk menyatakan kaki itu diusap sebagaimana kepala karena ‘amil dari kedua kaki adalah huruf ba (yang terletak sebelum lafadz رُؤُوسِكُمْ) sementara kepala disebutkan dengan (usaplah).

Namun yang kuat dalam hal ini, sebagaimana yang telah disinggung di atas, kedua kaki dicuci dan bukan diusap. Adapun bacaan dengan khafdh atau jarr bila memang mau diamalkan maka tetap menunjukkan kedua kaki itu dicuci dengan beberapa keterangan. Di antaranya:

  • Bila memang kembalinya lafadz (kaki-kaki kalian) kepada fi’il (kata kerja) ﭘ (usaplah), maka dalam bahasa Arab lafadz ﭘ memiliki dua makna, terkadang bermakna mengusap dan terkadang bermakna mencuci. Sementara As-Sunnah menunjukkan kaki itu dicuci. Dengan demikian yang terambil dari makna dalam hal ini adalah mencuci kaki, bukan mengusapnya.
  • Bila diambil makna mengusap untuk lafadz maka yang diusap bukanlah kaki tapi khuf (semacam sepatu dari kulit) yang dikenakan pada kaki, sehingga yang diusap adalah khufnya bukan kakinya. Wallahu ta’ala a’lam. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 6/61—64, Tafsir Ibnu Katsir, 2/26, Subulus Salam, 1/89, Sailul Jarrar, 1/232—235)

khuf-kanan

Mengusap Khuf

Khuf adalah alas kaki yang terbuat dari kulit untuk membungkus kedua kaki (termasuk di dalamnya sepatu dan kaos kaki). Bila seseorang yang berwudhu dalam keadaan mengenakan khuf, maka ia tidak perlu membuka khufnya untuk mencuci kakinya. Sebagai gantinya, ia cukup mengusap bagian atas khufnya.

Demikian sunnah yang datang dalam permasalahan ini. Adapun hadits yang menerangkan masalah ini mencapai derajat mutawatir. Lebih rincinya masalah mengusap khuf ini akan kita bawakan dalam pembahasan yang khusus, insya Allah Ta’ala.

Zikir/Doa Setelah Wudhu

Selesai berwudhu disunnahkan bagi kita untuk membaca zikir setelah wudhu (Syarah Shahih Muslim, 3/121) seperti zikir yang disebutkan ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pernah bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ أَوْ فَيُسْبِغُ الْوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْلُ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ، يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ

“Tidak ada seorang pun dari kalian yang berwudhu lalu ia baguskan wudhunya kemudian ia berkata, ‘Aku bersaksi tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya’, melainkan akan dibukakan untuknya pintu-pintu langit yang delapan, ia dapat masuk dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (Sahih, HR. Muslim no. 234)

Dalam lafadz lain ada tambahan:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

“Aku bersaksi tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah satu-satu-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.” (Sahih, HR. Muslim no. 234)[2]

Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

(bersambung)

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari


[1] Faedah: al-Imam an-Nawawi rahimahullah lah yang menyusun bab-bab dalam Shahih Muslim karena al-Imam Muslim rahimahullah hanya menyebutkan kitab per kitab tanpa membaginya dalam bab-bab.

[2] Dalam riwayat at-Tirmidzi rahimahullah ada tambahan:

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ، وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang membersihkan/ menyucikan dirinya.” (Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 48 dan Shahih Sunan Ibnu Majah no. 267)