Ummu Haram Bintu Milhan

        Bak kemuliaan raja-raja di atas singgasana, mereka hendak muliakan kalimat Rabbnya. Di antara mereka, seorang wanita menyimpan sebuah asa. Bukanlah dunia yang dia inginkan, melainkan menggapai ketinggian di sisi Rabbnya.

        Tak ubahnya seperti saudari kandungnya, Ummu Sulaim bintu Milhan, dia pun seorang wanita yang begitu mendambakan kemuliaan. Dia begitu dimuliakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengunjunginya, tidur siang di rumahnya[1], dan mendoakannya agar meraih kesyahidan.

        Dia bernama Ummu Haram bintu Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundab bin ‘Amir bin Ghanam bin ‘Ady binan-Najjar al-Anshariyah radhiallahu ‘anha. Ibunya bernama Mulaikah bintu Malik bin ‘Ady bin Zaid Manat bin ‘Ady bin ‘Amr bin Malik bin an-Najjar.

        Ummu Haram radhiallahu ‘anha disunting oleh ‘Amr bin Qais bin Zaid bin Yakhlu bin Malik bin Ghanam bin Malik bin an-Najjar radhiallahu ‘anhu. Dari pernikahan ini, lahirlah dua orang putra, Qais dan Abdullah namanya.

        Ketika seruan Islam merebak, Ummu Haram radhiallahu ‘anha bersama suaminya turut menyambutnya. Ummu Haram pun berIslam dan berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, perjalanan kehidupan mereka berdua tak berlangsung lama. Ketika meletus pertempuran Uhud, ‘Amr bin Qais radhiallahu ‘anhu meninggal di medan peperangan.

        Sepeninggal suaminya, Ummu Haram dipersunting oleh ‘Ubadah bin ash-Shamit bin Ashram bin Fihr bin Tsa’labah bin Ghanam bin ‘Auf bin ‘Amr bin ‘Auf bin al-Khazraj. Allah subhanahu wa ta’ala anugerahkan seorang anak bernama Muhammad kepada mereka berdua.

        Suatu saat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur siang di rumah Ummu Haram. Tiba-tiba beliau terbangun sembari tertawa. Ummu Haram pun bertanya keheranan, “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu tertawa?”

        Beliau menjawab, “Nanti akan ada orang-orang di kalangan umatku yang mengarungi lautan bagaikan raja-raja di atas singgasana.”

        Ummu Haram pun meminta, “Wahai Rasulullah, mohonlah kepada Allah agar Dia jadikan aku di antara mereka.”

        “Engkau termasuk mereka,” jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau kembali tidur. Untuk kedua kalinya beliau terbangun sambil tertawa.

        Untuk kedua kalinya pula Ummu Haram bertanya heran, “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu tertawa?”

        Beliau menjawab, “Nanti akan ada orang-orang di kalangan umatku yang mengarungi lautan bagaikan raja-raja di atas singgasana.”

        Ummu Haram meminta lagi, ”Wahai Rasulullah, mohonlah kepada Allah agar Dia jadikan aku di antara mereka.”

        “Engkau termasuk kalangan yang pertama,” tegas Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

        Inilah doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi Ummu Haram untuk mendapatkan kemuliaan sebagai syahid.

        Setelah lama berselang, tahun ke-27 H, Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu mengutus pasukan yang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma ke negeri Qubrus[2]. Ummu Haram radhiallahu ‘anha turut bersama suaminya, ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu dalam pasukan itu.

        Bahtera membawa pasukan kaum muslimin mengarungi lautan hingga ke negeri seberang. Ketika turun dari bahtera itu, didekatkan seekor baghal[3] untuk dikendarai oleh Ummu Haram. Namun, Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak memuliakan Ummu Haram. Saat itu, Ummu Haram tersungkur dari baghal hingga patah tulang lehernya, yang akhirnya mengantar Ummu Haram pada ajalnya.

        Di negeri seberang, Ummu Haram radhiallahu ‘anha menggapai cita-citanya, sebagai seorang syahid. Dia dikuburkan di negeri Qubrus. Orang-orang yang melihat kuburnya senantiasa berkata, “Ini adalah kubur seorang wanita shalihah.”

        Ummu Haram bintu Milhan, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya….

        Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

 

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran

 

Sumber bacaan

  • al-Ishabah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani (8/189)
  • al-Isti’ab, al-Imam Ibnu Abdil Barr (4/1931)
  • ath-Thabaqatul Kubra, al-Imam Ibnu Sa’ad (8/434—435)
  • Siyar A’lamin Nubala’, al-Imam adz-Dzahabi (2/316—317, 28/170)
  • Tahdzibul Kamal, al-Imam al-Mizzi (3/338—342)


                [1] Ummu Haram dan Ummu Sulaim radhiallahu ‘anhuma adalah khalah (bibi dari pihak ibu) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bisa jadi dari sisi nasab ataupun dari sisi penyusuan, sehingga dibolehkan berkhalwat dengan keduanya. Dan khusus pada mereka berdua beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa masuk menemui mereka, sementara beliau tidak pernah menemui seorang wanita pun kecuali bersama suami si wanita. (Syarh Shahih Muslim, 16/10)

                [2] Sekarang dikenal dengan nama Cyprus.

                [3] Hewan hasil persilangan kuda dan keledai.