Untuk Suami dan Istri Nasihat dari Imam Al-Albani

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)

 

Dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang mesti ada saja empasan ombak dan terpaan badai, sepasang suami istri selalu butuh nasihat agar mereka selamat membawa bahtera mereka sampai ke dermaga kebahagiaan.

Keduanya butuh untuk selalu diingatkan dan hendaknya tak jemu-jemu mendengarkan nasihat/peringatan walaupun sudah pernah mengetahui apa yang dinasihatkan tersebut.

Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani t, seorang ‘alim rabbani, dalam kitabnya yang sangat bernilai Adabuz Zifaf fis Sunnatil Muthahharah tidak lupa memberikan nasihat kepada pasangan suami istri di pengujung kitabnya tersebut. Sebuah nasihat yang sangat patut kita simak karena bersandar dengan kitabullah dan Sunnah Rasul n…1

Pertama: Hendaknya sepasang suami istri taat kepada Allah k dan saling menasihati untuk taat, mengikuti hukum-hukum yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Keduanya jangan mengedepankan selain hukum-hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah karena taklid/membebek atau mengikuti kebiasaan yang ada di tengah manusia, atau karena mengikuti satu mazhab tertentu. Allah k berfirman:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula bagi wanita yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, mereka memiliki pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)

 

Kedua: Masing-masing menunaikan kewajiban-kewajiban dan hak-hak terhadap yang lain sesuai yang Allah k tetapkan atas mereka. Maka, janganlah misalnya si istri menuntut persamaan dengan lelaki/suaminya dalam segala haknya. Sebaliknya, janganlah si lelaki/suami merasa tinggi/bersikap melampaui batas karena apa yang Allah k utamakan kepadanya lebih dari istrinya dalam hal kepemimpinan, sehingga si suami menzalimi istrinya dan memukulnya tanpa ada sebab yang dibolehkan. Allah k berfirman:

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami memiliki satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (Al-Baqarah: 228)

“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atau sebagian yang lain (wanita). Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah adalah yang taat kepada Allah lagi menjaga diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuz2nya maka nasihatilah mereka dan tinggalkan mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian bila mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka3. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An-Nisa’: 34)

Mu’awiyah bin Haidah z pernah bertanya kepada Rasulullah n:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟

“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”

Rasulullah n menjawab:

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تُقَبِّحِ الْوَجْهَ، وَلاَ تَضْرِبْ، [وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ] كَيْفَ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ، إِلاَّ بِمَا حَلَّ عَلَيْهِنَّ

“Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Janganlah engkau menjelekkan wajahnya4, jangan memukul, [dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah5]. Bagaimana hal itu kalian lakukan, sementara sebagian kalian telah bergaul dengan sebagian yang lain6, terkecuali dengan apa yang dihalalkan atas mereka.”7

Rasulullah n bersabda:

الْمُقْسِطُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُوْرٍ عَلَى يَمِيْنِ الرَّحْمَنِ –كِلْتَا يَدَيْهِ يَمِيْنٌ- الَّذِيْنَ يَعْدِلُوْنَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيْهِمْ وََمَا وَلُوْا

“Orang-orang yang adil pada hari kiamat nanti mereka berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya di atas tangan kanan Ar-Rahman –dan kedua tangan-Nya kanan–, yaitu mereka yang berlaku adil dalam hukum mereka, kepada keluarga mereka dan pada apa yang mereka urusi.”8

Apabila keduanya mengetahui hal ini dan mengamalkannya, niscaya Allah k akan menghidupkan mereka dengan kehidupan yang baik dan selama keduanya hidup bersama. Mereka akan berada dalam ketenangan dan kebahagiaan. Allah k berfirman:

“Siapa yang melakukan amal shalih dari kalangan laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan ia beriman, maka Kami akan menghidupkannya dengan kehidupan yang baik dan Kami akan balas mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang dulunya mereka amalkan.” (An-Nahl: 97)

 

Ketiga: Bagi istri secara khusus, hendaknya ia menaati suaminya dalam apa yang diperintahkan kepadanya sebatas kemampuannya. Karena hal ini termasuk perkara yang dengannya Allah k  melebihkan kaum lelaki di atas kaum wanita sebagaimana Allah k nyatakan dalam dua ayat yang telah disebutkan di atas:

“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.”

“Dan kaum lelaki memiliki kedudukan satu derajat di atas kaum wanita.” (Al-Baqarah: 228)

Sungguh banyak hadits shahih yang datang memperkuat makna ini dan menjelaskan dengan gamblang apa yang akan diperoleh wanita dari kebaikan ataupun kejelekan bila ia menaati suaminya atau mendurhakainya.

Di sini kita akan sebutkan sebagian hadits-hadits tersebut, semoga dapat menjadi peringatan bagi para wanita di zaman kita ini, karena sungguh Allah k berfirman:

“Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)

 

Hadits pertama:

لاَ يِحِلُّ لِامْرَأَةٍ أَنْ تَصُوْمَ -وَفِي رِوَايَةٍ: لاَ تَصُمِ الْمَرْأَةُ- وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ [غَيْرَ رَمَضَانَ] وَلاَ تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidak halal seorang istri puasa (dalam satu riwayat: Janganlah seorang istri puasa) sementara suaminya ada di tempat9 kecuali dengan izin suaminya (terkecuali puasa Ramadhan) dan istri tidak boleh mengizinkan seseorang masuk ke rumah suaminya terkecuali dengan izin suaminya.”10

 

Hadits kedua:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتََهُ إِلَى فِِِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ – وَ فِي رِوَايَةٍ: أَوْ حَتَّى تَرْجِعَ- (وَفِي أُخْرَى: حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا)

“Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya11 namun si istri tidak mendatangi suaminya hingga suaminya bermalam dalam keadaan marah kepadanya, niscaya para malaikat akan melaknatnya sampai ia berada di  pagi hari.”

“Dalam satu riwayat: atau sampai si istri kembali. Dalam riwayat lain: sampai suaminya ridha terhadapnya.”12

 

Hadits ketiga:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، ولَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلىَ قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ [نَفْسَهَا]

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang istri dapat menunaikan hak Rabbnya hingga ia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya (mengajaknya jima’) sementara ia sedang berada di atas qatab13 maka ia tidak boleh mencegah suaminya dari dirinya.”14

 

Hadits keempat:

لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهَا مِنَ الْحُوْرِ الْعَيْنِ: لاَ تُؤْذِيْهِ قَاتَلَكِ اللهُ، فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا

“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan berkata istrinya dari bidadari surga, ‘Janganlah engkau sakiti dia, semoga Allah memerangimu, dia di sisimu hanyalah dakhil15. Hampir-hampir ia berpisah denganmu menuju kepada kami’.”16

 

Hadits kelima:

Dari Hushain bin Mihshan z, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku bibiku, ia berkata: Aku pernah datang ke tempat Rasulullah n karena satu keperluan. Ketika itu Rasulullah n bertanya:

أَيْ هَذِهِ، أَذَاتُ بَعْلٍ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجِزْتُ عَنْهُ. قَالَ:[فَانْظُرِيْ] أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنارُكِ

“Wahai wanita, apakah engkau punya suami?” Aku menjawab, “Iya.” “Bagaimana yang engkau perbuat terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Saya tidak pernah mengurangi haknya17 kecuali dalam perkara yang saya tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.”18

 

Hadits keenam:

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

“Apabila seorang istri mengerjakan shalat lima waktunya, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya maka ia akan masuk surga dari pintu surga mana saja yang ia inginkan.”19

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


1 Catatan kaki yang ada dalam tulisan ini juga dari kitab Adabuz Zifaf, cet. ke-3 dari Al-Maktab Al-Islami.
2 Nusyuz para istri adalah keluarnya mereka dari ketaatan. Ibnu Katsir t berkata, “Nusyuz bermakna irtifa’ (tinggi). Istri yang berbuat nusyuz adalah istri yang mengangkat/meninggikan dirinya di atas suaminya, meninggalkan ketaatan kepada perintah suaminya, berpaling darinya.”
3 Maksudnya, apabila seorang istri menaati suaminya dalam seluruh perkara yang diinginkan suaminya dari dirinya sebatas yang dibolehkan Allah l, setelah itu tidak ada jalan bagi si suami untuk mencela dan menyakitinya. Si suami tidak boleh memukul dan menghajrnya. Firman Allah k:
“Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”, merupakan ancaman kepada para suami bila melakukan kezaliman terhadap para istri tanpa ada sebab. Karena sungguh Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar merupakan penolong mereka (para istri), Dia akan memberi balasan kepada orang yang menzalimi dan berbuat melampaui batas terhadap mereka. Demikian disebutkan dalam Tafsir Ibni Katsir.
4 Maksudnya, jangan engkau mengatakan, “Semoga Allah l menjelekkan wajahmu.”
Ucapan Nabi n:
وَلاَ تَضْرِبْ
“Jangan engkau memukul”, maksudnya memukul wajah. Pukulan hanyalah dilakukan bila memang harus diberikan dan ditujukan pada selain wajah.
5 Maksudnya, janganlah engkau memboikotnya kecuali di tempat tidur. Bukan dengan engkau meninggalkannya dengan pindah ke tempat lain, atau memindahkannya dari rumahmu ke rumah yang lain. Demikian diterangkan dalam Syarhus Sunnah, (3/26/1).
6 Yakni kalian telah melakukan hubungan badan.
Ucapan Nabi n :
إِلاَّ بِمَا حَلَّ عَلَيْهِنَّ
“Terkecuali dengan apa yang dihalalkan atas mereka”, yaitu berupa pukulan dan hajr disebabkan nusyuznya mereka, sebagaimana hal ini jelas disebutkan dalam ayat yang telah lewat.
7 HR. Abu Dawud (1/334), Al-Hakim (2/187-188), Ahmad (5/3 dan 5). Tambahan yang ada dalam kurung [ ] adalah dari riwayat Ahmad dengan sanad yang hasan. Al-Hakim berkata, “Shahih.” Adz-Dzahabi menyepakati Al-Hakim dalam penshahihannya. Al-Baghawi juga meriwayatkannya dalam Syarhus Sunnah.
8 HR. Muslim (6/7), Al-Husain Al-Marwazi dalam Zawaid Az-Zuhud karya Ibnul Mubarak (120/2) dari Al-Kawakib karya Ibnu Urwah Al-Hambali, berjilid, (no. 575), Ibnu Mandah dalam At-Tauhid (94/1) dan beliau berkata,”Hadits shahih.”
9 Maksudnya, suaminya ada berdiam di negerinya, tidak safar. An-Nawawi t berkata dalam Syarhu Muslim (7/115) di bawah riwayat yang kedua, “Larangan ini menunjukkan keharaman (tidak sekadar makruh). Demikian orang-orang dalam mazhab kami menyebutkannya secara jelas.”
Aku (Al-Albani) katakan, “Ini merupakan pendapat jumhur sebagaimana dalam Fathul Bari dan riwayat yang pertama lebih memperkuatnya.”
Kemudian An-Nawawi berkata, “Adapun sebab/alasan pelarangan tersebut, karena suami memiliki hak untuk istimta’ dengan si istri sepanjang hari. Haknya ini wajib untuk segera ditunaikan dan tidak boleh luput penunaiannya karena si istri sedang melakukan ibadah sunnah ataupun ibadah yang wajib namun dapat ditunda.”
Aku (Al-Albani) katakan, “Apabila wajib bagi istri menaati suaminya dalam memenuhi kebutuhan syahwatnya, tentunya lebih utama lagi pewajiban bagi istri untuk taat kepada suami dalam perkara yang lebih penting lagi yang diperintahkan suaminya kepadanya berupa tarbiyah (mendidik) anak-anak keduanya, memperbaiki keluarga keduanya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban semisalnya. Al-Hafizh berkata dalam Fathul Bari, “Hadits ini menunjukkan lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami itu wajib, sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah.”
10 HR. Al-Bukhari (4/242-243) dengan riwayat yang pertama, dan Muslim (3/91) dengan riwayat yang kedua, Abu Dawud (1/385), An-Nasa’i dalam Al-Kubra (63/2), tambahan yang ada dalam kurung [ ] adalah dari riwayat keduanya. Sanad hadits ini shahih di atas syarat Syaikhan. Diriwayatkan pula oleh Ahmad (2/316, 444, 464, 476, 500), Ath-Thahawi dalam Al-Musykil (2/425), Abusy Syaikh dalam Ahadits Abiz Zubair (no. 126) dari banyak jalan dari Abu Hurairah z. Dan Ahmad memiliki satu riwayat yang semakna dengan tambahan yang ada.
11 Tempat tidur (firasy) di sini adalah kinayah (kiasan) dari jima’. Yang menguatkan hal ini adalah sabda Rasulullah n:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ
“Anak itu untuk firasy.”
Maksudnya, anak yang dilahirkan adalah milik orang yang melakukan jima’ di tempat tidur tersebut (si pemilik tempat tidur tersebut).
Penyebutan sesuatu yang memalukan dengan kiasan, banyak didapatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Demikian dikatakan Abu Hamzah sebagaimana dalam Fathul Bari.
12 HR. Al-Bukhari (4/241), Muslim (4/157), riwayat lain yang disebutkan di atas merupakan riwayat Muslim, Abu Dawud (1/334), Ad-Darimi (2/149 dan 150), Ahmad (2/255, 348, 346, 349, 368, 380, 519, 538). Riwayat yang kedua merupakan riwayat Ahmad, demikian pula Ad-Darimi.
13 Qatab adalah rahl (pelana). Dalam Al-Lisan disebutkan:(الْقِتْبُ) dan(الْقَتَبُ) adalah ikaf unta. Dalam Ash-Shihhah disebutkan maknanya adalah pelana kecil seukuran punuk unta. Dalam An-Nihayah: Qatab bagi unta sama dengan ikaf pada selain unta.
Makna hadits ini adalah hasungan bagi para istri untuk menaati suami mereka, dan sungguh tidak ada kelapangan bagi mereka untuk menolak ajakan suami mereka walau dalam keadaan yang demikian (di atas pelana). Bagaimana bila pada keadaan selainnya?
14 Hadits shahih, riwayat Ibnu Majah (1/570), Ahmad (4/381), dari Abdullah ibnu Abi Aufa z, Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan Al-Hakim sebagaimana dalam At-Targhib (3/76), ia menyebutkan syahid hadits ini dari Zaid ibn Arqam z, dan Al-Hakim berkata (3/77), “Diriwayatkan Ath-Thabarani dengan sanad yang jayyid.”
Aku (Al-Albani) telah mentakhrij hadits ini dalam Ash-Shahihah (no. 173).
15 Dalam An-Nihayah: dakhil adalah tamu dan orang yang sekadar singgah/mampir.
16 HR. At-Tirmidzi (2/208), Ibnu Majah (1/621), Al-Haitsam bin Kulaib dalam Musnad-nya (5/167/1), Abul Hasan Ath-Thusi dalam Mukhtashar-nya (1/119/2), Abul Abbas Al-Asham dalam Majlisin minal Amali (3/1), Abu Abdillah Al-Qaththan dalam haditsnya dari Al-Hasan ibn Arafah (145/1), semuanya dari Ismail bin Iyasy dari Buhair ibn Sa’d Al-Kalla’i, dari Khalid ibn Ma’dan, dari Katsir ibn Murrah Al-Hadhrami, dari Mu’adz ibn Jabal z secara marfu’. Ath-Thusi berkata, “Hadits ini gharib hasan. Kami tidak mengetahuinya kecuali dari sisi ini, dan riwayat Ismail bin Iyasy dari orang-orang Syam (Syamiyin) baik.”
Aku (Al-Albani) katakan, “Maksudnya hadits ini termasuk riwayat Ismail dari orang-orang Syam.”
17 Yakni aku tidak mengurangi-ngurangi dalam menaatinya dan berkhidmat kepadanya.
18 HR Ibnu Abi Syaibah (7/47/1), Ibnu Sa’d (8/459), An-Nasa’i dalam Isyratun Nisa, Ahmad (4/341), Ath-Thabrani dalam Al-Ausath (170/1) dari Zawaidnya, Al-Hakim (2/189), Al-Baihaqi (7/291), Al-Wahidi dalam Al-Wasith (1/161/2), Ibnu Asakir (16/31/1), sanadnya shahih sebagaimana kata Al-Hakim dan disepakati Adz-Dzahabi. Berkata Al-Mundziri (3/74), “Diriwayatkan hadits ini oleh Ahmad dan An-Nasa’i dengan dua sanadnya yang jayyid.”
19 Hadits hasan atau shahih, hadits ini punya banyak jalan. Diriwayatkan Ath-Thabrani dalam Al-Ausath (169/2 –dari tartibnya), demikian pula Ibnu Hibban dalam Shahihnya dari hadits Abu Hurairah z sebagaimana dalam At-Targhib (3/73), Ahmad (no. 1661) dari Abdurrahman bin Auf z, Abu Nu’aim (6/308), dan Al-Jurjani (291) dari Anas bin Malik z.