Untuk yang Diundang Walimah

Saudari muslimah….

Ketika Anda diundang sanak famili, tetangga, atau teman untuk suatu acara pernikahan atau walimah al-urs, selama tidak ada penghalang syar’i, Anda harus menghadiri undangan tersebut. Hal ini berpijak dengan hadits berikut,

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيْمَةِ فَلْيَأْتِهَا

“Apabila salah seorang dari kalian diundang acara walimah, hendaknya dia menghadirinya.” (HR . al-Bukhari no. 5173 dan Muslim no. 3495, dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma)

Dalam riwayat Muslim (no. 3499) ada lafadz,

عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ

“(Sama saja) apakah undangan walimah urs atau semisalnya.”

Dalam riwayat al-Bukhari (no. 5177) dan Muslim (no. 3511) dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

وَمَنْ تَرَكَ (وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ: وَمَنْ لم يُجِبِ) الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ

“Siapa yang meninggalkan (dalam lafadz al-Imam Muslim: tidak memenuhi) undangan, dia telah bermaksiat kepada Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya.”

Hadits ini adalah dalil wajibnya memenuhi undangan. Sebab, maksiat tidaklah disematkan pada diri seseorang melainkan karena dia telah meninggalkan kewajiban. Sebagaimana hal ini dinyatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah. (Fathul Bari, 9/305)

Janur Kuning

Bagaimana Apabila Bertepatan Anda Sedang Berpuasa?

Ada hadits yang menjawab masalah ini. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ. فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ، وَ نْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ

“Apabila salah seorang dari kalian diundang, hendaknya dia memenuhinya. Apabila dia sedang berpuasa, hendaknya dia mendoakan. Namun, jika dia tidak berpuasa, hendaknya dia makan.” (HR . Muslim no. 3506)

Tentang makna ‘mendoakan’ dalam hadits di atas, kata jumhur ulama adalah mendoakan yang menyajikan makanan dengan ampunan, berkah, dan semisalnya. (al-Minhaj, 9/237)

Apabila puasa yang sedang dilakukan adalah puasa sunnah, boleh bagi yang diundang membatalkan puasanya. Lebih-lebih lagi apabila tuan rumah memintanya terus-menerus untuk makan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ. فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ

“Apabila salah seorang dari kalian diundang makan, hendaknya dia memenuhinya. Kalau mau, dia makan. Kalau dia mau pula, dia tidak makan.” (HR . Muslim no. 3504 dari Jabir radhiallahu ‘anhu)

Kata al-Imam an-Nawawi rahimahullah, “Jika puasanya adalah puasa sunnah dan yang menyajikan makanan (si pengundang) merasa berat dengan puasanya (kecewa karena dia tidak makan), yang afdal dia berbuka.” (al-Minhaj, 9/237)

Ummu Hani radhiallahu ‘anha menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِيْرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ

“Orang yang berpuasa sunnah adalah pimpinan bagi dirinya. Jika mau, dia tetap puasa; dan jika mau, dia berbuka.” (HR . an-Nasa’i, menurut al-Hakim sanadnya sahih dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Hadits ini memang sebagaimana yang dikatakan keduanya, kata al-Imam Albani rahimahullah dalam kitabnya Adab az-Zafaf, catatan kaki hlm. 156)

Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha mengabarkan, “Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku lalu bertanya, ‘Apakah kalian punya makanan?’

‘Tidak,’ jawabku.

‘Kalau begitu aku berpuasa,’ ujar beliau.

Di hari yang lain, ada yang mengirimiku makanan hais sebagai hadiah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai hais. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah kita dihadiahi hais.’

‘Sajikan untukku,’ jawab beliau, ‘Sebenarnya sejak tadi pagi saya berpuasa.’

Beliau menyantap hais tersebut, kemudian berkata,

إِنَّمَا مَثَلُ صَوْمِ الْمُتَطَوِّعِ مِثْلُ الرَّجُلِ يُخْرِجُ مِنْ مَالِهِ الصَّدَقَةَ، فَإِنْ شَاءَ أَمْضَاهَا وَإِنْ شَاءَ حَبَسَهَا

‘Permisalan seseorang yang berpuasa sunnah hanyalah seperti seorang lelaki yang mengeluarkan sedekah dari hartanya. Kalau dia mau dia berikan sedekah tersebut dan kalau mau dia tahan (tidak memberikannya).’ (HR . an-Nasa’i dengan sanad yang sahih. Lihat al-Irwa 4/136)

 

Bagaimana Apabila Ada Maksiat?

Apabila di tempat undangan tersebut ada perbuatan maksiat, Anda jangan menghadirinya, kecuali apabila Anda ingin melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Kalau berhasil, itulah yang diinginkan. Jika tidak, Anda harus meninggalkan tempat acara tersebut.

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku pernah membuat makanan lalu kuundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyantapnya. Beliau pun datang lalu melihat di dalam rumah ada gambar-gambar (makhluk bernyawa). Beliau pun kembali. Ketika ditanya alasan beliau kembali, beliau bersabda,

إِنَّ فِي الْبَيْتِ سِتْرًا فِيْهِ تَصَاوِيْرُ، وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيْهِ تَصَاوِيْرُ

“Di dalam rumah itu ada satir yang bergambar. Sungguh malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang ada gambar-gambar di dalamnya.” (HR . Ibnu Majah dengan sanad yang sahih. Lihat kitab Adab az-Zafaf, catatan kaki hlm. 161)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلاَ يَقْعَدَنَّ عَلىَ مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا بِالْخَمْرِ

“Siapa yang beriman kepada Allah ‘azza wa jalla dan hari akhir, janganlah sekali-kali dia duduk di meja hidangan yang di atasnya diedarkan khamr.” (HR . Ahmad, lihat al-Irwa no. 1949)

Al-Imam al-Auza’i rahimahullah pernah berkata, “Kami tidak masuk ke tempat walimah yang di dalamnya ada gendang dan alat musik.” (Adab az-Zafaf, hlm. 166)

 

Yang Sunnah Dilakukan oleh Tamu Undangan

Ada dua hal yang disenangi untuk Anda lakukan saat menghadiri undangan, yaitu:

  1. Mendoakan si pengundang setelah selesai menyantap hidangannya.

Dalam hal ini ada beberapa doa yang dicontohkan.

  1. Abdullah bin Busr menyatakan bahwa ayahnya membuatkan makanan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengundang beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhi undangan tersebut. Selesai menyantap hidangan beliau berdoa,

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَباَرِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ

“Ya Allah, ampuni mereka, rahmatilah mereka, dan berkahilah mereka dalam apa yang Engkau rezekikan kepada mereka.” (HR . Muslim)

  1. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai menikmati hidangan yang disajikan Sa’d bin Ubadah radhiallahu ‘anhu di rumahnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,

أَكَلَ طَعَامَكُمُ الْأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَأَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ

“Telah makan makanan kalian orang-orang baik dan para malaikat bershalawat atas kalian. Orang-orang yang berpuasa berbuka puasa di sisi kalian.” (HR . Ahmad 3/138, dll. Sanadnya sahih, lihat catatan kaki adab az-Zafaf, hlm. 170)

 

  1. Mendoakan pengantin dengan doa kebaikan dan keberkahan

Berikut ini doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

  1. Saat mendoakan Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu,

بَارَكَ اللهُ لَكَ

“Semoga Allah memberkahimu.” (HR . al-Bukhari dan Muslim)

  1. Ketika mendoakan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu saat menikahi putri beliau, Fathimah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,

اللَّهُمَّ بَارِكْ فِيْهِمَا وَبَارِكْ لَهُمَا فِي بِنَائِهِمَا

“Ya Allah, berkahilah dalam pernikahan keduanya dan berkahilah keduanya dalam malam pengantin keduanya.” (HR . Ahmad 3/359, dll. Kata al-Imam al-Albani rahimahullah dalam catatan kaki Adabuz Zafaf hlm. 145, Niswah “Rijalnya tsiqat, rijal al-Imam Muslim, selain Abdul Karim. Sejumlah orang tsiqat meriwayatkan darinya. Kata al-Hafizh dalam at-Taqrib, “Dia maqbul/ diterima.”)

  1. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan pengantin dengan ucapan,

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ

(HR . Abu Dawud, Tirmidzi, dll. Dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Daud)

 

Tidak diperkenankan kita mengucapkan ucapan selamat seperti yang biasa diucapkan orang-orang jahiliah, misalnya,

بِالرّفَاءِ وَالْبَنِيْنَ

“Semoga dianugerahi kerukunan dan banyak anak.”

Ketika Uqail bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menikah dengan seorang wanita dari Jusyam, orang-orang mengucapkan selamat dengan ucapan بِالرّفَاءِ وَالْبَنِيْن . Uqail berkata, “Jangan kalian mengucapkan demikian, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.”

Mereka bertanya, “Lantas apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid?”

“Ucapkanlah,

بَارَكَ اللهُ لَكُمْ وَبَارَكَ عَلَيْكُمْ

Sungguh, dengan itu kami diperintah.” (HR . Ibnu Abi Syaibah, Abdur Razzaq, dll. Lihat Adab az-Zafaf, catatan kaki hlm. 176)

Demikian bimbingan dalam as-Sunnah.

 

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah