Uzur Tidak Shalat Berjamah

An-Nawawi rahimahullah memberi judul hadits ‘Itban bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah dengan bab “Rukhshati fi Takhallufi ‘Anil Jama’ati li ‘Udzrin” (“Keringanan Tidak Ikut Shalat Berjamaah karena Uzur”).

‘Itban z adalah seorang sahabatAnshar yang ikut Perang Badr. Beliau datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata,

“Wahai Rasulullah, aku sudah tidak bisa melihat dan aku mengimami shalatmkaumku. Jika hujan, terjadi banjir dilembah yang menjadi penghalang antara aku dan mereka. Aku pun tidak bisa mendatangi masjid untuk shalat bersama mereka. Aku berharap, wahai Rasulullah, engkau datang dan shalat di rumahku, di tempat yang biasa aku jadikan untuk shalat.”

Beliau berkata, “Saya akan datangmdan melakukannya, insya Allah.” Berangkatlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu di siang hari ke rumahku. Sesampainya di tempat, beliau meminta izin untuk masuk. Aku pun mengizinkannya. Beliau pun masuk tanpa duduk terlebih dahulu lalu bertanya, “Manakah tempat yang engkau sukai untuk aku shalat padanya?”

Aku pun menunjuk ke satu sisi bagian rumah. Beliau berdiri di sana dan bertakbir. Kami pun berdiri di belakangnya (berjamaah). Setelah menyelesaikan dua rakaat beliau pun salam. An-Nawawi t berkata, “Pada hadits ini terdapat dalil tentang gugurnya kewajiban shalat berjamaah (di masjid) karena adanya uzur.” (Syarh an-Nawawi 3/171—174)

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah juga menyebutkan dalam Shahih-nya bab “Rukhshati fil Mathari wal ‘Illati an- Yushallia fi Rahlihi (“Rukhshah ketika Hujan dan Sebab Seseorang Shalat di Rumah”). Pada bab itu, beliau menyebutkan riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa di suatu malam yang cukup dingin dan angin bertiup kencang, beliau azan dengan menyuarakan,

صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ

“Hendaklah kalian shalat di rumah kalian.”

Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya, apabila malam itu dingin sekali dan hujan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan muazin untuk menyuarakan, ‘Hendaklah kalian shalat di rumah’.” Al-Hafizh rahimahullah berkata, “Judul yang disebutkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah menunjukkan keumuman sebab seseorang shalat di rumah (tidak ikut berjamaah di masjid), baik karena hujan maupun sebab yang lain. Demikian pula, rukhshah shalat di rumah bersifat umum, apakah berjamaah atau sendirian.” Di tempat yang lain pada penjelasan bab “Apakah Seorang Imam Shalat Bersama yang Hadir”, beliau berkata, “Meskipun didapati adanya sebab rukhshah bagi seseorang untuk tidak hadir berjamaah (karena hujan), andaikata ada orang yang memaksakan diri datang ke masjid, lalu seorang imam shalat bersama mereka, hal ini tidak dibenci (boleh).

Perintah untuk shalat di rumah dalam kondisi semacam ini hukumnya mubah (diperbolehkan), bukan sunnah. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, saat beliau khutbah di hari yang bertepatan dengan turun hujan. Ketika azan sampai pada kalimat “hayya ‘alash shalah”, beliau memerintah muazin untuk menyuarakan,

الصَّلَاةُ فِي الرِّحَالِ

Shalatlah di tempat (masing-masing).”

Sebagian mereka memandang sebagian yang lain, seolah-olah mereka mengingkari hal tersebut. Lalu beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Seolah-olah kalian mengingkari hal ini. Sungguh, perkara ini telah dilakukan oleh orang yang lebih mulia dariku, yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya shalat Jumat itu satu keharusan dan aku tidak ingin menyusahkan kalian.”

Sebab lain yang diperbolehkan bagi seorang untuk tidak hadir shalat berjamaah ialah sakit yang tidak memungkinkan dirinya untuk keluar menuju ke masjid. Dalam penjelasan terhadap Shahih al-Bukhari, bab “Hadhdhil Maridhi an Yasyhadal Jama’ati” (“Anjuran bagi Orang yang Sakit Agar Menghadiri Shalat Berjamaah”), al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menukil ucapan Ibnu Tin rahimahullah, maksud bab ini adalah dorongan dan anjuran bagi orang yang sakit agar menghadiri shalat berjamaah. Ibnu Rasyid rahimahullah mengatakan, makn bab ini ialah menjelaskan kadar yang membatasi orang yang sakit agar dapat menyaksikan shalat berjamaah. Jika telah melampaui batas, tidak disunnahkan untuk menghadirinya.

Hal ini berdasarkan kisah keluarnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju ke masjid dalam keadaan beliau sakit, dipapah oleh dua orang sahabat dan bersandar pada yang lain. Hal ini sebagai isyarat, kalau kondisi seorang yang sakit sampai pada tingkatan ini, tidak dianjurkan memaksakan diri untuk shalat berjamaah, kecuali jika didapati orang yang memapahnya. Demikian pula firman Allah Subhanahu wata’ala,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (al-Hajj: 78)

Setiap perkara yang menyusahkan dan membuat kepayahan membuat seseorang diberi keringanan. Jika seseorang terbebani dengan sangat berat atau tidak berat namun ia tidak mampu menahan derita, dia diberi uzur untuk tidak shalat berjamaah. (al-Fath 2/178, 184—185)

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin