Waktu-Waktu Shalat

waktu waktu shalat

Allah azza wa jalla berfirman,

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوۡقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (an-Nisa: 103)

أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمۡسِ إِلَىٰ غَسَقِ ٱلَّيۡلِ وَقُرۡءَانَ ٱلۡفَجۡرِۖ إِنَّ قُرۡءَانَ ٱلۡفَجۡرِ كَانَ مَشۡهُودًا

Laksanakanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakanlah pula shalat) Subuh. Sungguh, shalat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (al-Isra: 78)

Baca juga: Hukum Qunut Subuh

Shalat hanyalah dianggap sah apabila ia dikerjakan pada waktunya. Ternyata, amalan ini (shalat pada waktunya) memiliki sebuah keutamaan. Disebutkan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu,

سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Amalan apa yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Shalat pada waktunya.”

“Kemudian apa?” tanya Ibnu Masud. “Berbuat baik kepada kedua orang tua,” jawab beliau shallallahu alaihi wa sallam.

“Kemudian apa?” tanya Ibnu Mas’ud lagi. “Berjihad di jalan Allah,” jawab beliau shallallahu alaihi wa sallam. (HR. al-Bukhari no. 527 dan Muslim no. 248)

Sebaliknya, apabila shalat telah disia-siakan (tidak dikerjakan pada waktunya), ini merupakan suatu musibah karena telah menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Baca juga: Menyelisihi As-Sunnah, Menuai Ancaman

Az-Zuhri rahimahullah berkisah, “Aku masuk menemui Anas bin Malik di Damaskus. Saat itu ia sedang menangis. Aku pun bertanya, ‘Apa yang membuat Anda menangis?’

Ia menjawab, ‘Aku tidak mengetahui ada suatu amalan yang pernah aku jumpai di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yang masih dikerjakan hingga sekarang ini, kecuali shalat saja. Itu pun (shalat) telah disia-siakan untuk ditunaikan pada waktunya.’” (HR. al-Bukhari no. 530)

Ada beberapa hadits yang merangkum penyebutan waktu-waktu shalat. Di antaranya adalah hadits Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu anhuma, ia berkata,

سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ، فَقَالَ: وَقْتُ صَلاَةِ الْفَجْرِ مَا لَمْ يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai waktu shalat (yang lima). Beliau pun menjawab,

“Waktu shalat fajar (Subuh) adalah selama matahari belum terbit—belum terlihat bagian kepalanya;

“Waktu shalat Zuhur adalah apabila matahari telah tergelincir dari bagian tengah langit, selama belum datang waktu Asar;

“Waktu shalat Asar adalah selama matahari belum menguning dan sebelum tenggelam;

“Waktu shalat Magrib adalah apabila matahari telah tenggelam, dan belum hilang syafaq[1];

“Dan waktu shalat Isya adalah sampai tengah malam.” (HR. Muslim no. 1388)

Baca juga: Hukum Tidak Menunaikan Shalat karena Malas

Demikian pula hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu. Disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِلصَّلاَةِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الظُّهْرِ حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ وَآخِرُ وَقْتِهَا حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتَهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَنْتَصِبُ اللَّيْلُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ

“Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat Zuhur adalah saat matahari tergelincir, dan akhir waktunya adalah ketika telah masuk waktu Asar.

“Awal waktu shalat Asar adalah ketika telah masuk waktunya, dan akhir waktunya adalah saat matahari telah menguning.

“Awal waktu shalat Magrib adalah ketika matahari mulai tenggelam, dan akhir waktunya adalah ketika ufuk (cahaya merah di kaki langit) telah hilang.

Awal waktu shalat Isya adalah sejak ufuk menghilang, dan akhir waktunya adalah pertengahan malam.

Awal waktu shalat fajar (Subuh) adalah ketika cahaya fajar telah muncul, dan akhir waktunya adalah saat matahari terbit.” (HR. at-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Syaikh Albani rahimahullah berkata mengenai hadits ini, “Sanad hadits ini sahih, sesuai dengan syarat Syaikhan [al-Bukhari dan Muslim])

Hadits ini dinyatakan sahih oleh Ibnu Hazm, dan dinyatakan mursal oleh al-Bukhari dan selainnya. Namun, pernyataan ini dibantah oleh Ibnu Hazm dan selainnya.

Baca juga: Shalat di Pesawat dan Jarak Safar

Dalam hal ini, pendapat Ibnu Hazm adalah yang benar, terlebih lagi hadits ini memiliki syahid (penguat) dari hadits Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu anhuma.” (Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/56; dan ash-Shahihah, no. 1696)

Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِأَمَّنِي جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، فَصَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَتْ قَدْرَ الشِّرَاكِ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ –يَعْنِي الْمَغْرِبَ– حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ حِيْنَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ،

Jibril alaihis salam mengimamiku di sisi Baitullah sebanyak dua kali[2]. Ia shalat Zuhur bersamaku ketika matahari telah tergelincir dan panjang bayangan sama dengan panjang tali sandal. Ia shalat Asar bersamaku ketika bayangan benda seukuran dengan bendanya. Ia shalat Magrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka[3]. Ia shalat Isya bersamaku ketika syafaq (cahaya merah) telah tenggelam. Ia shalat fajar (Subuh) bersamaku ketika makan dan minum telah diharamkan bagi orang yang berpuasa[4].

Baca juga: Tanya Jawab Ringkas – Seputar Puasa dan Hari Raya

فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَيْهِ، وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ

Keesokan harinya, Jibril kembali mengimamiku dalam shalat Zuhur, saat bayangan benda sama dengan bendanya. Ia shalat Asar bersamaku saat bayangan benda dua kali panjang bendanya. Ia shalat Magrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka. Ia shalat Isya bersamaku ketika telah berlalu sepertiga malam. Ia shalat fajar bersamaku dan meng-isfar-kannya[5].

Kemudian ia menoleh kepadaku seraya berkata, ‘Wahai Muhammad! Inilah waktu shalat (yang dikerjakan) para nabi sebelummu. Waktunya juga berada di antara dua waktu yang ada[6].’” (HR. Abu Dawud no. 393. Syaikh Albani rahimahullah berkata tentang hadits ini, dalam Shahih Abi Dawud, “Hasan sahih.”)

Pada pembahasan mengenai waktu-waktu shalat ini, kami akan memulainya dari shalat Subuh terlebih dahulu walaupun kebanyakan ulama memulainya dari shalat Zuhur. Wallahul muwaffiq ilas shawab.

Baca juga: Waktu Shalat Jumat

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Sekelompok pengikut mazhab kami (mazhab Hanbali), seperti al-Khiraqi dan al-Qadhi, pada sebagian kitabnya, serta selain keduanya; memulai dari waktu shalat Zuhur.

“Di antara mereka ada yang memulai dengan shalat fajar/Subuh, seperti Abu Musa, Abul Khaththab, dan al-Qadhi pada satu pembahasan. Inilah yang lebih bagus karena shalat wustha (shalat pertengahan) adalah shalat Asar. Shalat Asar bisa menjadi shalat wustha apabila shalat fajar dihitung sebagai shalat yang pertama[7].” (Al-Ikhtiyarat, dalam al-Fatawa al-Kubra, 1/45)


Catatan Kaki:

[1] Cahaya kemerah-merahan yang terlihat di arah barat setelah matahari tenggelam.

[2] Yakni selama dua hari, untuk mengajariku tata cara shalat dan waktu-waktunya. (Aunul Ma’bud, Kitab “ash-Shalah”, Bab “Fil Mawaqit”)

[3] Yaitu saat matahari tenggelam dan telah masuk waktu malam, dengan dalil firman Allah subhanahu wa ta’ala,

ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ

“Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam hari.” (al-Baqarah: 187)

[4] Awal terbitnya fajar yang kedua, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ

“Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.” (al-Baqarah: 187)

[5] Lihat keterangan tentang “isfar” dalam pembahasan waktu shalat fajar yang akan datang setelahnya.

[6] Oleh sebab itu, seseorang boleh mengerjakan shalat di awal waktunya, di pertengahan, dan di akhir waktu. (Aunul Ma’bud, “Kitab ash-Shalah, “Bab Fil Mawaqit)

[7] Dengan demikian, jika diurutkan, akan menjadi sebagai berikut: 1) shalat Subuh, 2) shalat Zuhur, 3) shalat Asar, 4) shalat Magrib, dan 5) shalat Isya.

Maka dari itu, shalat Asar akan jatuh pada pertengahannya sehingga diistilahkan dengan “shalat wustha”.

Ditulis oleh Ustadz Abu Ishaq Muslim