Waliyyul Amr, Rujukan Umat

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang kemenangan atau ketakutan, mereka menyiarkannya. Kalau saja mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentu kalian mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian).” (an-Nisa: 83)

Sebab Turunnya Ayat

Ibnul Jauzi rahimahumallah dalam Zadul Masir menyebutkan bahwa ada dua pendapat tentang sebab turunnya ayat ini.

1. Berdasarkan riwayat yang hanya dikeluarkan oleh al-Imam Muslim rahimahumallah dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dari Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengasingkan diri dari istri-istri beliau, Umar masuk ke dalam masjid dan mendengar manusia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menceraikan istriistrinya. Lalu beliau menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam seraya bertanya, “Apakah Anda telah menceraikan istri-istri Anda?” Nabi menjawab, “Tidak.” Umar pun keluar sambil menyeru, “Ketahuilah, Rasulullah tidak menceraikan istri-istrinya.” Lalu turunlah ayat ini.

2. Berdasarkan riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Shalih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus sariyyah (pasukan khusus yang jumlahnya 4 sampai 400 orang). Kemudian terdengar berita bahwa mereka menang atau kalah. Akhirnya orang-orang  membicarakan dan menyebarluaskan berita tersebut. Mereka tidak bersabar hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyampaikan berita itu, kemudian turunlah ayat ini.

Mufradat Ayat

وَإِذَا جَاءَهُمْ

Dan apabila telah datang kepada mereka.”

Mereka yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang-orang munafik, menurut penafsiran Ibnu Abbas c dan jumhur ulama.

الْأَمْنِ

Kemenangan.

Terdapat beberapa penafsiran di kalangan ulama ahli tafsir tentang maknanya . Mayoritas mereka memaknainya dengan kemenangan dan harta rampasan perang yang diperoleh pasukan (sariyyah).

 الْخَوْفِ

Ketakutan.

Mayoritas ulama ahli tafsir memaknainya sebagai musibah atau bencana (kekalahan) yang menimpa pasukan muslimin.

أَذَاعُوا بِهِ

Mereka lalu menyiarkannya,

yaitu menyebarluaskan. Asy-Syaukani rahimahumallah berkata dalam kitab tafsirnya,

أَذَاعَ الشَّيْءَ وَأَذَاعَ بِهِ: إِذَا أَفْشَاهُ وَأَظْهَرَهُ

Adza’a artinya menyiarkan, menyebarkan, dan mengumumkan. Menurut Ibnu Jarir rahimahumallah, dhamir ha’ pada kalimat ini kembali ke amrun (berita).

وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ

Dan kalau mereka mau menyerahkannya kepada Rasul….

Maksudnya, menunggu hingga Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri yang menyampaikan (berita).

 وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ

Dan ulil amri di antara mereka.

Menurut Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, mereka seperti Abu Bakr, Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali . Al-Hasan al-Bashri, Qatadah, dan Ibnu Juraij rahimahumullah berpendapat bahwa mereka adalah para ulama.

Adapun menurut Ibnu Zaid dan Muqatil, mereka adalah para pemimpin pasukan. Asy-Syaukani rahimahumallah mengatakan bahwa mereka adalah para ulama dan orang-orang yang memiliki akal yang kokoh—yang kepada merekalah urusan kaum muslimin dikembalikan (ditanyakan)—atau para penguasa.

يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ

Mereka akan dapat mengetahuinya.

Kata istinbath berasal dari kata istikhraj (mengeluarkan). Az-Zajjaj mengatakan, istinbath berasal dari kata النَّبْطُ , yaitu air yang pertama kali keluar dari sumbernya ketika sumur digali.

 فَضْلُ اللَّهِ

Karunia Allah.

Ada yang memaknainya sebagai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Islam, al-Qur’an, atau ulil amri.

 وَرَحْمَتُهُ

Dan rahmat-Nya.

Sebagian ulama memaknainya sebagai wahyu, kelembutan, kenikmatan, atau taufik.

Makna Ayat

Asy-Syaukani rahimahumallah menyatakan, kaum muslimin yang memiliki sikap lemah, ketika mendengar salah satu urusan kaum muslimin—seperti berita kemenangan mereka, terbunuhnya musuh, atau ketakutan seperti kekalahan dan terbunuhnya mereka—mereka menyiarkannya. Mereka mengira bahwa hal itu tidak bermasalah. (Alangkah baiknya) kalau mereka tidak melakukannya (yakni tidak menyiarkannya dengan segera) dan sabar menunggu hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri atau ulil amri di antara mereka yang menyampaikannya. Sebab, merekalah yang lebih mengetahui, berita mana yang seharusnya disiarkan dan berita mana yang harus disembunyikan.

Sebagian ulama tafsir memaknainya, “Kalau bukan karena karunia Allah l kepada kalian, yaitu diutusnya Rasul dan diturunkannya kitab (al-Qur’an), tentulah kalian mengikuti setan dan tetap berada di atas kekufuran, kecuali sebagian kecil saja.”

Ada pula yang memaknainya, “Mereka lalu menyiarkannya kecuali sebagian kecil saja.” Ada pula yang memaknainya, “Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya, kecuali sebagian kecil saja.”

Tafsir Ayat

Ibnu Katsir rahimahumallah mengatakan, (ayat ini mengandung) pengingkaran terhadap orang yang begitu mendapat berita (perkara) lalu tergesa-gesa memberitakan, menyiarkan, dan menyebarkan, sebelum memastikan keberadaannya. Sebab, bisa jadi berita tersebut tidak benar.

Al-Imam Muslim rahimahumallah—dalam mukadimah kitab Shahih-nya— menyebutkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

Seorang dianggap telah berdusta apabila memberitakan seluruh perkara yang ia dengar.

Riwayat ini juga dikeluarkan oleh Abu Dawud rahimahumallah dalam “Kitabul Adab”, dari jalan Muhammad bin Husain bin Asykab, dari Ali bin Hafsh, dari Syu’bah secara musnad (sanadnya sampai kepada Nabi n). Selain itu, dikeluarkan pula oleh al-Imam Muslim rahimahumallah dan Abu Dawud rahimahumallah dari jalan yang lain secara mursal (sanadnya tidak sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam).

Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, disebutkan riwayat dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang qila wa qala (katanya dan katanya), yaitu suka menyiarkan apa yang dikatakan orang lain tanpa memastikan, mencermati, dan mencari kejelasan terlebih dahulu tentang ucapan orang lain tersebut.

Asy – Syaikh as – Sa ’di rahimahumallah mengatakan, ini adalah pengajaran dari Allah Subhanahu wata’ala kepada para hamba-Nya terhadap tindakan mereka yang tidak patut dilakukan. Seharusnya, ketika suatu perkara (berita)—yang penting; atau menyangkut kemaslahatan bersama terkait dengan kemenangan dan kegembiraan orang-orang mukmin; atau ketakutan, seperti musibah yang menimpa—sampai kepada mereka, hendaknya mereka pastikan terlebih dahulu dan tidak tergesagesa menyiarkannya. (Yang sepantasnya mereka lakukan ialah) mengembalikannya kepada Rasul n atau ulil amri di antara mereka, yaitu para pemikir, ahli ilmu, penasihat, orang yang memahami permasalahan, bagus pendapatnya, yang mengetahui urusan(dengan baik), mana yang membawa maslahat dan mana yang tidak. Jika mereka pandang menyiarkan berita mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin, menambah semangat dan menyenangkan mereka, serta terjaga dari musuh, mereka akan menyebarkannya.

Jika mereka pandang tidak ada maslahat, atau ada maslahat namun kemadaratan yang terjadi lebih besar, mereka tidak menyiarkannya. Ayat di atas menjadi pedoman yang mendidik, yaitu apabila terjadi penelitian tentang suatu masalah, hendaknya diserahkan kepada ahlinya dan kita tidak mendahului mereka. Hal ini lebih mendekatkan kita kepada kebenaran dan lebih patut bagi kita agar selamat dari kesalahan.

Ayat di atas juga mengandung larangan seseorang terburu-buru menyiarkan sebuah berita saat pertama kali mendengarnya. Dia diperintahkan untuk memikirkan dan memandang terlebih dahulu sebelum menyampaikannya, apakah hal itu membawa maslahat sehingga disampaikan atau tidak ada manfaat sehingga tidak boleh disebarkan.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin