Yang Dilakukan Pada Hari Pertama Kelahiran

Mentahnik Bayi

Tahnik adalah mengunyah sesuatu kemudian meletakkannya pada bagian atas mulut bayi. Mentahnik bayi adalah sunnah menurut kesepakatan para ulama, seperti yang disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim (14/ 99). Di antara landasannya ialah hadits Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Telah lahir anak laki-lakiku kemudian aku bawa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun memberinya nama Ibrahim, lalu mentahniknya dengan kurma dan mendoakan berkah untuknya.” (Shahih al-Bukhari no. 5467 dan Muslim no. 2145)

Sunnah mentahnik bayi tidak khusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan pada dasarnya umatnya juga diperintah untuk mengikutinya, kecuali ada dalil kuat yang menyatakan bahwa hal itu khusus berlaku bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam kitabnya, Tuhfatul Maudud (hlm. 25), Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan riwayat al-Khallal bahwa ketika budak perempuan al-Imam Ahmad rahimahullah melahirkan anaknya, al-Imam Ahmad rahimahullah memberinya kurma dan mengatakan kepadanya, “Kunyahlah kurma ini dan tahniklah dia.”

Tentang hikmah mentahnik bayi, sebagian ulama mengatakan bahwa hal itu sebagai bentuk harapan agar si anak nantinya beriman. Sebab, kurma adalah buah dari pohon yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serupakan dengan seorang mukmin. Beliau juga menyerupakan seorang mukmin dengan buah kurma dari segi manisnya. Selain itu, ilmu kedokteran telah membuktikan manfaat yang besar dari tahnik, yaitu memindahkan sebagian mikroba ke dalam usus untuk membantu pencernaan makanan. Terlepas dari benar atau tidaknya, yang jelas tahnik adalah sunnah yang mustahab (disenangi) secara pasti dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pegangan kita, bukan yang lainnya. Sebab, tidak ada nash (dalil) yang menerangkan hikmahnya, maka hanya Allah ‘azza wa jalla yang mengetahuinya. (lihat Ahkamul Maulud fis Sunnah al-Muthahharah karya Salim Ali asy-Syibli dan Muhammad Khalifah ar-Rabah hlm. 33—34)

Yang digunakan untuk mentahnik adalah buah kurma sebagaimana disebutkan oleh riwayat.

 

Apakah Dikumandangkan Azan dan Iqamat pada Telinga Bayi Ketika Lahir?

Dalam hal ini ada tiga riwayat:

  1. Riwayat Abu Rafi’ maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,

“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan azan shalat di telinga al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma ketika Fathimah radhiallahu ‘anha melahirkannya.” (HR. Abu Dawud [no. 5105], at-Tirmidzi [no. 514], dan Ahmad [6/9])

Semuanya dari jalur periwayatan Sufyan ats-Tsauri, dari ‘ Ashim bin Ubaidillah, dari Ubaidillah bin Abi Rafi’, dari bapaknya (Abu Rafi’).

Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentang ‘Ashim bin Ubaidillah, “Dia dhaif (lemah).”

  1. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma yang disebutkan dalam Syu’abul Iman karya al-Baihaqi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan azan pada telinga al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma ketika dilahirkan. Beliau azan pada telinga kanannya dan iqamat pada telinga kirinya.

Dalam hadits ini ada perawi bernama Hasan bin ‘ Amr. Adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentangnya dalam al-Mizan, “Ia dinyatakan dusta oleh Ibnul Madini.” Al-Bukhari rahimahullah berkata, “Ia kadzdzab (pendusta).” Ar-Razi rahimahullah berkata, “Matruk (riwayatnya ditinggalkan).” Kesimpulannya, hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma ini maudhu’ (palsu).

  1. Hadits al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barang siapa diberi anak lalu mengumandangkan azan pada telinga kanannya dan iqamat pada telinga kirinya, anaknya tidak akan tertimpa oleh Ummu Shibyan (pengikut dari kalangan jin).”

Hadits ini diriwayatkan oleh al- Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Ibnu as-Sunni.
Akan tetapi, dalam sanadnya ada rawi bernama Yahya bin al-‘Ala dan Marwan bin Salim. Keduanya dikenal suka memalsukan hadits.

Kesimpulannya, hadits-hadits tentang mengazankan bayi tidak kuat. Asy- Syaikh al-Albani pada beberapa kitabnya sempat menguatkan hadits Abu Rafi’ yang lemah di atas (riwayat pertama), karena menganggap ada jalan lain yang memperkuatnya, yaitu hadits Ibnu ‘Abbas (riwayat kedua). Namun, setelah beliau melakukan penelitian lagi (setelah kitab Syu’abul Iman karya al-Baihaqi tercetak) ternyata hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma tidak bisa memperkuat hadits Abu Rafi’ karena pada sanadnya ada rawi yang matruk. Dengan demikian, akhir pembahasan beliau adalah bahwa hadits Abu Rafi’ tetap dhaif (lemah) seperti disebutkan dalam as-Silsilah adh-Dhaifah (cet. Maktabatul Ma’arif 1/494 no. 321)

(Disarikan dari kitab Ahkamul Maulud fis Sunnah al-Muthahharah hlm. 34—39)

Apabila riwayatnya lemah, hadits ini tidak bisa dijadikan landasan beramal. Wallahu alam.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.