Yang Tercecer dari IAIN (8) – Hermeneutika

Penelitian di Yogyakarta menyatakan, “Arus perkembangan pemikiran Islam Liberal di Kota Yogyakarta bermula dari kampus IAIN Sunan Kalijaga pada dekade tahun 1980-an oleh para dosen dan akademisi kampus melalui kajian-kajian keislaman yang diikuti oleh mahasiswa. Materi hermeneutika dan pemikiran orientalis barat sudah menjadi kajian resmi di UIN Sunan Kalijaga.”

Bahkan M. Amin Abdullah yang menjabat Rektor UIN Sunan Kalijaga Yoyakarta dari 2002-sekarang, termasuk yang getol mempropagandakan hermeneutika serta mengecam tafsir-tafsir para ulama terdahulu. Dia mengatakan, “Tafsir-tafsir klasik Al-Qur’an tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam.” (pengantar untuk buku Hermeneutika Pembebasan).

“Dengan sangat intensif, hermeneutika mencoba membongkar kenyataan bahwa siapa pun orangnya, kelompok apa pun namanya, kalau masih pada level manusia, pastilah ‘terbatas’, ‘parsial kontekstual pemahamannya’, serta ‘bisa saja keliru’.” (Pengantar buku Hermeneutika Al-Qur’an)

Bagaimana dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam urusan pemahaman agama, wahai bapak rektor? Bagaimana pula dengan Anda sendiri?

Memprihatinkan, hermeneutika telah menjadi kajian resmi di UIN Sunan Kalijaga, bahkan telah menjadi kurikulum resmi di semua PTAIN (IAIN/UIN/STAIN) di seluruh Indonesia. Seolah-olah Islam tidak memiliki khazanah ilmiah yang luas, atau tidak percaya lagi kepada para ulama yang saleh, sehingga perlu mengimpor metode tafsir dari Yunani paganis (penyembah dewa/berhala).

Tahukan Anda, apa dan dari mana hermeneutika itu?

hermeneutics2

Walau sebagian orang menganggapnya metode baru dan modern, namun metode ini justru sangat kuno. Metode ini berasal dari sebuah mitos Yunani paganis para penyembah dewa. Dalam mitos mereka, bahwa pesan raja dewa, Dewa Zeus tidak dapat dipahami manusia sehingga butuh penafsir. Anaknya, yaitu dewa Hermes, menjadi penafsir atau penerjemahnya.

Dalam perkembangannya, metode ini dipakai oleh para teolog Kristen untuk menafsirkan Injil mereka, karena mereka menghadapi problem besar dalam teks keagamaan mereka (Injil), yakni dicurigai bahwa Injil ditulis oleh orang-orang yang tidak pernah bertemu Nabi Isa ‘alaihissalam. Oleh karena itu terjadi berdebatan di kalangan Kristiani, apakah teks Bibel secara harfiah merupakan kalam Tuhan atau hanya perkataan para penulis Injil? Ternyata, teks Bibel tertua berbahasa Yunani Kuno, bukan bahasa Ibrani. Oleh karena itu, para teolog Kristen menggunakan metode hermeneutika sebagai jembatan untuk memecahkan problem ini, karena umat Kristiani bingung dengan orisinalitas kitab sucinya.

Tampak dari sini perbedaan yang sangat mendasar antara Al-Qur ’an dengan Injil mereka. Keberadaan Al-Qur ’an sebagai kalam Allah subhanahu wa ta’ala adalah sesuatu yang sangat jelas, ditulis di hadapan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dengan perintahnya. Lantas diriwayatkan dengan mutawatir (oleh banyak orang), sejak disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sampai kapan pun, serta dengan bahasa Arab yang nyata, sehingga dapat dipahami dengan jelas. Al-Qur’an senantiasa terjaga baik secara lafadz maupun secara makna. Ini sebagai wujud janji Allah subhanahu wa ta’ala:

إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al-Hijr: 9)

Oleh karena itu, Al-Qur’an tidak membutuhkan metode tafsir hermeneutika. Ketika hermeneutika diterapkan kepada Al-Qur’an, penafsirnya akan semaunya sendiri. Lihatlah hasilnya. Mereka berkesimpulan, “Al-Qur’an adalah produk budaya”, “jilbab tidak wajib”, “Islam menentang poligami”, dan sebagainya. Semua ini adalah hasil dari berefleksi dengan tafsir hermeneutika.

Alhamdulillah, Islam telah memiliki metode tafsir yang terjamin, yaitu tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, dengan hadits yang sahih, dengan penjelasan para sahabat, para tabi’in, serta dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.

 

Ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc