Yang Tua Dihormati, Yang Kecil Disayangi

Tiada tatanan kehidupan yang lebih indah dari yang dibawa oleh syariat Islam. Konsep menuju kehidupan yang tenteram dan damai, baik sebagai individu maupun kelompok, telah dipaparkan dengan gamblangnya dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Di antara konsep tersebut adalah keharusan menjalin kasih sayang kepada sesama muslim tanpa memandang usia, asal-usul, dan status sosial. Eratnya tali cinta kasih ini juga tidak terbatas ketika mereka sama-sama masih hidup, bahkan telah mati sekalipun. Allah subhanahu wa ta’ala telah mengabadikan doa orang-orang yang beriman yang datang setelah kaum Muhajirin dan Anshar dalam Al-Qur’an,

وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِي قُلُوبِنَا غِلّٗا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (al-Hasyr: 10)

Baca juga:

Jalan Salaf, Jaminan Kebenaran

Ucapan selamat dan doa kebaikan selalu muncul dari mulut mereka yang manis terhadap saudara-saudaranya. Coba kita lihat bagaimana bimbingan Nabi kita saat kita berziarah kubur. Nabi shallallahu alaihi wa sallam membimbing mengucapkan doa,

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلَاحِقُونَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

“Semoga kesejahteraan dilimpahkan atas kalian wahai penghuni kubur dari kaum mukminin dan muslimin. Sesungguhnya kami (juga) akan menyusul (kalian) insya Allah. Aku memohon keselamatan untuk kami dan kalian kepada Allah.” (HR. Muslim no. 975, “Kitab al-Janaiz”)

Bahkan, setiap tasyahud dalam shalat, kita membaca,

السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ

“Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada kita dan hamba-hamba Allah yang saleh.”

Inilah bentuk kecintaan yang bersumber dari hati yang mendalam. Kaum muslimin akan selalu kuat dan berwibawa manakala tali agama ini dipegang erat-erat. Dengannya, musuh-musuh agama ditimpa perasaan takut dan tidak bisa melihat umat ini dengan pandangan remeh.

Berikut ini akan kami uraikan dua permasalahan penting demi tercapainya suasana keakraban yang membuahkan kasih sayang di antara kaum muslimin.

Pertama: Memuliakan Orang yang Lebih Tua

Menghormati orang yang tua bukan hanya budaya, melainkan bagian dari akhlak mulia dan terpuji yang diseru oleh Islam. Hal ini dilakukan dengan cara memuliakannya dan memperhatikan hak-haknya. Terlebih, apabila di samping tua umurnya, juga lemah fisik, mental, dan status sosialnya.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا

“Barang siapa tidak menyayangi anak kecil kami dan tidak mengenal hak orang tua kami, dia bukan termasuk golongan kami.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adab Mufrad, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad no. 271)

Hadits ini merupakan ancaman bagi orang yang menyia-nyiakan dan meremehkan hak orang yang sudah tua. Orang yang seperti ini tidak berjalan di atas petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan tidak menepati jalannya.

Menghormati mereka termasuk mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ إِجْلَالِ اللهِ إِكْرَامَ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ وَحَامِلِ الْقُرْآنِ غَيْرَ الْغَالِي فِيْهِ وَالْجَافِي عَنْهُ وَإِكْرَامَ ذِي السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ

“Sesungguhnya termasuk mengagungkan Allah adalah menghormati seorang muslim yang beruban (sudah tua), pembawa Al-Qur’an yang tidak berlebih-lebihan padanya (dengan melampaui batas) dan tidak menjauh (dari mengamalkan) Al-Qur’an tersebut, serta memuliakan penguasa yang adil.” (HR. Abu Dawud dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih at-Tarhib no. 92)

Baca juga:

Kedudukan Penguasa dalam Syariat

Orang tua tentunya telah melewati berbagai tahapan hidup di dunia ini sehingga setumpuk pengalaman dimilikinya. Orang yang telah mencapai kondisi ini, biasanya ketika hendak melakukan sesuatu telah dipikirkan matang-matang. Terlebih lagi, apabila di samping banyak pengalamannya, orang tersebut juga mendalam ilmu dan ibadahnya. Ini berbeda dengan kebanyakan anak muda yang umumnya masih minim ilmunya, dangkal pengalamannya, dan sering memperturutkan hawa nafsunya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

“Berkah itu bersama orang-orang tua dari kalian.” (HR. Ibnu Hibban, al-Hakim, dll. Lihat Shahihul Jami’ no. 2884)

Mungkin kita bisa mengambil pelajaran dari peristiwa kaum Khawarij (kelompok sesat) pada masa sahabat Ali radhiallahu anhu. Semangat mereka mengamalkan agama tidak diimbangi dengan mengikuti pemahaman para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Para Khawarij yang umumnya dari kalangan muda terkadang berdalilkan dengan dalil-dalil syariat, yang sebenarnya bukan dalil bagi mereka. Para sahabat yang mengetahui sebab turunnya ayat dan sebab periwayatan hadits tentunya lebih tahu maksudnya dari mereka.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan di antara ciri-ciri Khawarij yang akan muncul adalah,

سَيَخْرُجُ قَوْمٌ فِي آَخِرِ الزَّمَانِ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ

“Akan muncul pada akhir zaman suatu kaum yang muda umurnya (para pemuda) dan bodoh akalnya.” (HR. al-Bukhari no. 6930)

An-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Diambil faedah dari hadits ini bahwa kekokohan dan kuatnya pandangan hati adalah ketika seorang telah sempurna umurnya, banyak pengalamannya, dan kuat pemahamannya.” (Fathul Bari 12/287)

Mendahulukan Orang yang Lebih Tua

Ada beberapa keadaan yang disyariatkan untuk mengutamakan orang yang lebih tua, di antaranya:

  1. Dalam hal mengimami shalat.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Malik bin al-Huwairits radhiallahu anhu,

إِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ لِيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمُّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

“Apabila waktu shalat telah tiba, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan azan dan orang yang paling tua mengimami shalat kalian.” (HR. al-Bukhari no. 628)

Disebutkan dalam hadits lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya,

“Yang mengimami manusia adalah orang yang pandai membaca (memahami) Al-Qur’an. Apabila dari sisi bacaan Al-Qur’an mereka sama, yang (menjadi imam adalah yang) paling tahu tentang As-Sunnah. Apabila pengetahuan mereka tentang As-Sunnah sama, yang (menjadi imam adalah yang) paling dahulu berhijrah. Apabila dalam hijrah mereka sama, (menjadi imam adalah yang) yang paling tua umurnya.” (HR. Muslim)

  1. Dalam hal berbicara dan memberikan keterangan, kecuali yang kecil lebih tahu dan lebih mampu berbicara.

Disebutkan oleh Sahl bin Abi Hatsmah bahwa Abdullah bin Sahl dan Muhayyishah bertolak pergi menuju Khaibar yang saat itu terikat perjanjian perdamaian. Sesampainya di sana keduanya berada di tempat yang berbeda. Setelah itu Muhayyishah datang (menemui temannya), Abdullah bin Sahl. Ternyata Abdullah didapati dalam keadaan bersimbah darah, terbunuh. Muhayyishah lalu mengubur temannya kemudian pulang ke Madinah.

Setelah itu Abdurrahman bin Sahl (saudara Abdullah yang terbunuh tersebut), Muhayyishah, dan Huwayyishah putra Mas’ud, datang menghadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Abdurrahman yang waktu itu adalah orang paling kecil yang menghadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam ingin berbicara, maka beliau shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, “Hendaklah yang paling tua yang berbicara.” Akhirnya kedua temannya yang berbicara dan Abdurrahman diam. (HR. al-Bukhari no. 3173)

Perhatikanlah. Meski seseorang dalam keadaan tertimpa musibah, hendaklah dia tetap menjaga adab-adab agamanya.

  1. Dalam hal pemberian.

Sebagaimana hadits yang diceritakan oleh Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwa ia melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersiwak (membersihkan gigi dan lisan dengan batang siwak). Lalu beliau memberikan siwak tersebut kepada orang yang paling tua. Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan,

إِنَّ جِبْرِيلَ أَمَرَنِي أَنْ أُكَبِّرَ

“Sesungguhnya Jibril memerintah aku untuk memberikan kepada yang paling tua.” (HR. Ahmad, lihat ash-Shahihah no. 1555)

Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini ada faedah mengutamakan orang yang sudah berusia lanjut dalam pemberian siwak. Masuk pula dalam hal ini mendahulukan dalam hal diberi makanan dan minuman, berjalan dan berbicara. Al-Muhallab berkata, ‘Hal ini dilakukan apabila manusia tidak duduk dengan berurutan. Apabila mereka duduk berurutan, yang sesuai dengan As-Sunnah ialah mendahulukan yang kanan’.” (ash-Shahihah vol. IV/76)

Sahabat Anas bin Malik radhiallahu anhu menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam diberi susu yang dicampur dengan air. Di sebelah kanan Nabi shallallahu alaihi wa sallam ada seorang badui, sedangkan di sebelah kirinya ada Abu Bakr radhiallahu anhu. Nabi meminum susu tersebut, lalu memberikannya kepada badui itu. Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan,

الْأَيْمَنَ فَالْأَيْمَنَ

“(Dahulukan) yang kanan lalu yang kanan.” (HR. al-Bukhari no. 5619)

Besarnya hak-hak orang yang sudah tua dan penghormatan kepada mereka sangat ditekankan apabila dia itu adalah orang tuanya, kakeknya, pamannya, kerabat, atau tetangganya. Sebab, mereka memiliki hak yang besar sebagai karib kerabat dan tetangga. Orang yang menghormati/memuliakan mereka, dia akan dihormati saat tuanya. Balasan akan setimpal dengan perbuatan. Seperti apa kamu berbuat, maka seperti itu pula kamu dibalas.

Disebutkan dari Yahya bin Sa’id al-Madani, ia berkata, “Telah sampai berita kepada kami bahwa siapa saja yang menghinakan orang yang sudah tua, ia tidak akan mati sampai Allah subhanahu wa ta’ala mengutus seorang yang menghinakannya saat dia telah tua.” (lihat al-Fawaid al-Mantsurah hlm. 84)

Orang yang Sudah Beruban

Termasuk tanda-tanda orang yang telah menginjak usia lanjut adalah uban yang menghiasi kepalanya, kekuatan fisik yang mengendur, pandangan dan penglihatan yang mulai berkurang ketajamannya. Seorang muslim yang telah mencapai kondisi seperti ini tentunya telah melewati masa-masa yang panjang dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Berbagai manis dan getirnya kehidupan telah dilakoninya. Dia pun merasa ajal telah dekat sehingga pendekatan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala semakin bertambah.

Orang yang panjang umurnya dan baik amalannya adalah sebaik-baik orang, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ

“Sebaik-baik orang ialah yang panjang umurnya dan baik amalannya.” (HR. at-Tirmidzi dan beliau menilainya hasan)

Orang yang beruban rambutnya karena menjalankan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dia memiliki keutamaan. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ كَانَتْ لَهُ نُوْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa beruban dengan suatu uban di dalam Islam, uban itu akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat.” (HR. at-Tirmidzi dan an-Nasai, dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Shahihul Jami’ no. 6307)

Maksudnya, uban tersebut akan menjadi cahaya sehingga pemiliknya menjadikannya sebagai penunjuk jalan. Cahaya itu akan berjalan di hadapannya pada kegelapan padang mahsyar, sampai Allah subhanahu wa ta’ala memasukkannya ke dalam surga. Meski bukan rekayasa hamba, apabila uban muncul karena suatu sebab, seperti jihad atau takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala, ia ditempatkan sebagai usaha (amalan) hamba. Oleh karena itu, dimakruhkan—bahkan tidak keliru apabila dikatakan diharamkan—mencabut uban yang ada di jenggot atau semisalnya. (lihat Faidhul Qadir karya al-Munawi, 6/202)

Tentang larangan mencabut uban, telah diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَنْتَفُوا الشَّيْبَ فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Janganlah kalian mencabut uban karena ia merupakan cahaya seorang muslim pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, dll. An-Nawawi rahimahullah dalam Riyadush Shalihin menilainya hasan)

Kedua: Menyayangi Anak Kecil

Apabila orang yang telah lanjut usia mendapatkan hak penghormatan dan pemuliaan, anak yang masih kecil berhak mendapat kasih sayang yang penuh. Anak kecil yang belum balig secara umum masih lemah fisik dan mentalnya, serta belum mengetahui persis tentang kemaslahatan untuk dirinya. Kondisi yang seperti ini tentunya menggugah kita untuk memberikan kasih sayang kepadanya. Sebab, beban syariat juga belum ditujukan kepadanya dan pena pencatat dosa pun belum berlaku atasnya.

Oleh karena itu, menyayangi anak kecil merupakan keharusan. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا

“Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak menyayangi anak kecil kami.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi. An-Nawawi rahimahullah menilainya sahih dalam Riyadhush Shalihin)

Apabila sifat belas kasihan dicabut dari seseorang, itu menjadi pertanda kecelakaan baginya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُنْزَعُ الرَّحْمَةُ إِلاَّ مِنْ شَقِيٍّ

“Tidaklah sifat kasih sayang dicabut kecuali dari orang yang celaka.” (HR. Ahmad, dll. Dalam Shahihul Jami’ no. 7467, Syaikh al-Albani rahimahullah menilainya sahih)

Suatu saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mencium Hasan bin Ali radhiallahu anhuma, cucunya. Waktu itu, di sisi Nabi ada seorang bernama al-Aqra’ bin Habis at-Tamimi sedang duduk. Al-Aqra’ lantas mengatakan, “Sesungguhnya saya memiliki sepuluh anak, tidak pernah satu pun yang saya cium.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melihat kepadanya dan mengatakan,

لمَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ

“Orang yang tidak menyayangi, dia tidak disayangi (oleh Allah).” (HR. al-Bukhari no. 5997)

Lihatlah, betapa meruginya yang tidak mendapat rahmat Allah subhanahu wa ta’ala padahal rahmat-Nya sangat luas. Sungguh, balasan kebaikan adalah kebaikan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

هَلۡ جَزَآءُ ٱلۡإِحۡسَٰنِ إِلَّا ٱلۡإِحۡسَٰنُ

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (ar-Rahman: 60)

Baca juga:

Membalas Kebaikan Orang Lain

Tentunya, menyayangi anak kecil tidak hanya terbatas pada anaknya sendiri, tetapi umum sifatnya. Bentuk menyayangi anak kecil juga banyak. Misalnya, dengan mencandainya tanpa ada kedustaan untuk memasukkan kegembiraan pada dirinya, menciumnya, menggendongnya, mengusap kepalanya, menyapa dan menyalaminya, serta mengucapkan salam kepadanya.

Suatu saat Anas bin Malik radhiallahu anhu melewati anak-anak kecil lalu ia mengucapkan salam kepada mereka. Anas radhiallahu anhu berkata, “Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan demikian.” (Muttafaqun alaihi)

Termasuk menyayangi anak kecil adalah tidak mengarahkan mereka kepada hal-hal yang membahayakannya.

Demikianlah bimbingan Islam yang sangat mulia. Umat hendaklah membuka mata agar bisa melihat dengan nyata keindahan agama yang mereka anut ini. Perlu dipertegas kembali bahwa bimbingan Islam selalu relevan, tidak akan pernah usang dengan perubahan waktu dan zaman.

Baca juga:

Berkah Allah dalam Hukum Had

Kita tidak akan terlalu bahagia dengan pesatnya teknologi dan menjamurnya penemuan (inovasi) baru, apabila mental umat tidak dibangun sehingga akidahnya rapuh dan akhlaknya karut-marut. Lihat saja, ketika kecanggihan teknologi telah merambah berbagai lapisan masyarakat yang semestinya dimanfaatkan sebagai sarana kebaikan, ternyata tidak jarang dijadikan alat dan media untuk saling mencaci, memfitnah, membenci, dan menzalimi.

Mari kita semua kembali kepada bimbingan agama kita dan bangkit dari kelalaian kita. Semoga kewibawaan umat yang diharapkan tidak hanya angan-angan belaka.

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.

anakkasih sayangmenghormati orang lainmenyayangi anak kecilorang tuayang lebih tua