Zakat Perhiasan

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyah)

 

Benarkah perhiasan emas dan perak wajib dikeluarkan zakatnya? Pertanyaan seperti ini bisa jadi masih acap muncul di tengah masyarakat. Bagaimana pula dengan perhiasan yang menggunakan bahan selain emas dan perak? Simak kajian berikut!

Wanita identik dengan berhias dan mengenakan perhiasan. Karenanya dalam Kalamullah yang mulia dinyatakan:
“Apakah patut (menjadi anak Allah) orang (wanita) yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan, sedangkan dia tidak dapat memberi alasan yang jelas dalam pertengkaran?” (Az-Zukhruf: 18)
Ayat yang mulia di atas menunjukkan, secara tabiat wanita memang senang berhias guna menutupi kurangnya kecantikan/ keindahannya. Sehingga ia menggunakan perhiasan dari luar sejak kanak-kanak untuk melengkapi dan menutupi kekurangannya. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/135, Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 764)
Mengenakan perhiasan jelas sesuatu yang halal. Namun harus diketahui bahwa dalam syariat yang mulia ini ada pembahasan, apakah perhiasan yang dikenakan wanita harus dikeluarkan zakatnya atau tidak. Perhiasan yang menjadi pembicaraan di sini tentunya terbatas pada perhiasan yang terbuat dari emas dan perak, tidak yang selainnya, baik itu berupa mutiara, intan, berlian, dan sebagainya.
Al-Imam Malik t berkata, “Tidak ada zakat pada lu`lu` (mutiara), misik, dan ‘anbar.” (Al Muwaththa` no. 1/232)
Al-Imam Asy-Syafi’i t, “Apa yang dijadikan perhiasan oleh para wanita atau yang disimpan mereka, ataupun yang disimpan oleh para lelaki berupa mutiara, zabarjad (batu permata seperti zamrud), yaqut, marjan, perhiasan yang berasal dari laut, dan selainnya, tidak ada zakatnya. Tidak ada zakat kecuali pada emas dan perak. Tidak ada zakat pada kuningan, besi, tembaga, batu, belerang dan apa-apa yang dikeluarkan dari bumi. Tidak ada zakat pada ‘anbar dan tidak pula pada mutiara yang diambil dari laut….” (Al-Umm, kitab Az-Zakah, bab Ma La Zakata fihi minal Hulli)
Ada perbedaan pendapat di kalangan salaf dalam masalah zakat perhiasan emas dan perak ini. Mereka terbagi dalam beberapa pandangan, secara globalnya kita sebutkan dahulu sebelum menjelaskan perinciannya.
Pertama: Di antara mereka ada yang berpendapat zakat perhiasan itu wajib bila telah mencapai nishab, dikeluarkan setiap tahunnya, sebagaimana pendapat Abu Hanifah, salah satu dari pendapat mazhab Asy-Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad.
Kedua: Ada yang berpendapat bahwa perhiasan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Ini mazhab Al-Imam Malik, Ahmad, dan Asy-Syafi’i dalam salah satu pendapatnya.
Ketiga: Ada yang menyatakan, perhiasan itu dikeluarkan zakatnya sekali saja. Demikian diriwayatkan dari Anas bin Malik z.
Keempat: Ada yang berpendapat bahwa zakat emas adalah dengan meminjamkannya. Demikian riwayat dari Asma` dan juga Anas c. (Subulus Salam, 4/42-43)
Sebelum menetapkan mana yang paling kuat dari pendapat-pendapat yang ada, maka kita akan melihat dalil masing-masingnya.
Dalil Ahlul Ilmi yang Mewajibkan Zakat Perhiasan
1. Dalil yang umum dalam Al-Qur`anul Karim.
Seperti firman Allah k:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, ‘Inilah harta benda kalian yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kalian simpan itu’.” (At-Taubah: 34-35)
Abdullah bin ‘Umar c ketika ditanya tentang apa yang dimaksud dengan al-kanzu yang disebutkan dalam ayat  ﮃ ﮂ, beliau menjawab: “Al-Kanzu adalah harta yang tidak ditunaikan zakatnya.” (Diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa` no. 606)
Jabir bin Abdillah c berkata, “Bila engkau mengeluarkan sedekah/zakat dari hartamu maka sungguh telah hilang kejelekannya, dan harta itu bukan lagi dikatakan kanzun.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 4/107, dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 3/190)
Ayat di atas berikut hadits yang nanti akan disebutkan bersifat umum mencakup seluruh emas dan perak, tidak ada sesuatu yang dikhususkan. Maka barangsiapa menyatakan emas dan perak yang berbentuk perhiasan tidak termasuk di dalam keumuman ini, hendaknya ia mendatangkan dalil. Demikian kata Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalah Mutanawwi’ah-nya (14/85) dan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa`il-nya (18/158), semoga Allah l merahmati keduanya.
2. Dalil dari hadits-hadits yang umum, yang berisi perintah mengeluarkan zakat emas dan perak.
Seperti hadits-hadits berikut ini:
a. Abu Hurairah z berkata, “Rasulullah n bersabda:
مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا، إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِيْنُهُ وَظَهْرُهُ، كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيْدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيُرَى سَبِيْلُهُ، إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلىَ النَّارِ…
“Tidak ada seorang pun yang memiliki emas dan perak yang tidak menunaikan haknya (zakat dari emas dan perak tersebut) melainkan pada hari kiamat nanti disiapkan untuknya lempengan besi dari api, lalu lempengan itu dipanaskan di neraka jahannam, kemudian lambung, dahi, dan punggungnya dibakar dengan lempengan membara tersebut. Setiap kali lempengan itu dingin, dipanaskan lagi lalu dibakarkan padanya. Hal itu dilakukan padanya pada hari yang kadarnya 50.000 tahun, hingga diputuskan perkara di antara para hamba. Maka akan dilihat ke mana ia menuju, apakah ke surga ataukah ke neraka….” (HR. Muslim no. 2287)
b. Jabir bin Abdillah c berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda:
مَا مِنْ صَاحِبِ إِبِلٍ لاَ يَفْعَلُ فِيْهَا حَقَّهَا إِلاَّ جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُ مَا كَانَتْ قَطُّ وَقَعَدَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ، تَسْتَنُّ عَلَيْهِ بِقَوَائِمِهَا وَأَخْفَافِهَا، وَلاَ صَاحِبِ بَقَرٍ لاَ يَفْعَلُ فِيْهَا حَقَّهَا إِلاَّ جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُ مَا كَانَتْ وَقَعَدَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ، تَنْطَحُهُ بِقُرُوْنِهَا وَتَطَؤُهُ بِقَوَائِمِهَا، وَلاَ صَاحِبِ غَنَمٍ لاَ يَفْعَلُ فِيْهَا حَقَّهَا إِلاَّ جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُ مَا كَانَتْ وَقَعَدَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ، تَنْطَحُهُ بِقُرُوْنِهَا وَتَطَؤُهُ بِأَظْلاَفِهَا، لَيْسَ فِيْهَا جَمَّاءُ وَلاَ مُنْكَسِرٌ قَرْنُهَا، وَلاَ صَاحِبِ كَنْزٍ لاَ يَفْعَلُ فِيْه حَقَّه إِلاَّ جاَءَ كَنْزُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ يَتَّبِعُهُ فَاتِحًا فَاهُ، فَإِذَا أَتَاهُ فَرَّ مِنْهُ، فَيُنَادِيْهِ: خُذْ كَنْزَكَ الَّذِي خَبَأْتَهُ، فَأَنَا عَنْهُ غَنِيٌّ. فَإِذَا رَأَى أَنْ لاَ بُدَّ مِنْهُ سَلَكَ يَدَهُ فِي فِيْهِ فَيَقْضَمُهَا قَضْمَ الْفَحْلِ
“Tidak ada seorang pun dari pemilik unta yang tidak menunaikan hak yang harus ditunaikan dari unta-untanya tersebut (tidak mengeluarkan zakatnya) melainkan unta-untanya akan datang pada hari kiamat lebih banyak dari yang sebelumnya. Si pemilik unta itu duduk menghadapi unta-untanya di tanah yang datar yang luas, dalam keadaan unta-unta itu melompat dan menyergap ke arahnya, menendang dengan kaki-kaki mereka. Dan tidak ada seorang pun dari pemilik sapi yang tidak menunaikan hak yang harus ditunaikan dari sapi-sapinya tersebut melainkan sapi-sapinya akan datang pada hari kiamat lebih banyak dari yang sebelumnya. Si pemilik sapi itu duduk menghadapi sapi-sapinya di tanah yang datar yang luas, dalam keadaan sapi-sapi itu menanduknya dengan tanduk-tanduk mereka dan menginjaknya dengan kaki-kaki mereka. Dan tidak ada seorang pun dari pemilik kambing yang tidak menunaikan hak yang harus ditunaikan dari kambing-kambingnya tersebut melainkan kambing-kambingnya akan datang pada hari kiamat lebih banyak dari yang sebelumnya. Si pemilik kambing itu duduk menghadapi kambing-kambingnya di tanah yang datar yang luas, dalam keadaan kambing-kambing itu menanduknya dengan tanduk-tanduk mereka dan menginjaknya dengan kaki-kaki mereka. Tidak ada di antara kambing-kambing itu yang tidak bertanduk dan tidak ada yang patah/pecah tanduknya. Dan tidak ada seorang pun dari pemilik kanzun yang tidak menunaikan hak yang harus ditunaikan dari kanzun tersebut melainkan kanzun-nya akan datang pada hari kiamat dalam bentuk ular jantan besar yang botak yang terus mengikutinya dalam keadaan ular itu membuka mulutnya (menganga). Bila ular itu mendatanginya, ia lari. Ular itu menyerunya, “Ambillah kanzun-mu yang dulunya engkau sembunyikan, karena aku tidak membutuhkannya.” Bila si pemilik kanzun itu melihat tidak ada jalan baginya kecuali harus mengambil kanzun-nya (yang berada dalam mulut ular tersebut), ia pun memasukkan tangannya ke dalam mulut ular tersebut maka ular itu mengunyah tangannya seperti hewan jantan mengunyah makanannya.” (HR. Muslim no. 2293)
c. Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash c menyebutkan, pernah datang seorang wanita bersama putrinya menemui Rasulullah n. Putrinya mengenakan dua gelang emas yang tebal/berat pada tangannya. Melihat hal itu Rasulullah n bertanya kepada si ibu:
أَتُعْطِيْنَ زَكاَةَ هَذَا؟ قَالَتْ: لاَ. قَالَ: أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللهُ بِهِمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ؟ قَالَ: فَخَلَعَتْهُمَا فَأَلْقَتْهُمَا إِلَى النَّبِيِّ n وَقَالَتْ: هُمَا لِلهِ k وَلِرَسُوْلِهِ
“Apakah engkau telah memberikan zakat dua gelang ini?” Si wanita menjawab, “Belum.” “Apakah menyenangkanmu bila pada hari kiamat nanti Allah memakaikanmu dua gelang dari api?” tanya Rasulullah lagi.
Kata Abdullah, “Si wanita lalu melepaskan dua gelang tersebut dari tangan putrinya, kemudian menyerahkannya kepada Nabi n seraya berkata, ‘Dua gelang ini untuk Allah k dan Rasul-Nya’.” (HR. Abu Dawud no. 1563, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)
d. Ummu Salamah x berkata, “Aku memakai gelang kaki dari emas, maka aku tanyakan kepada Rasulullah n, ‘Wahai Rasulullah, apakah ini kanzun?” Beliau n menjawab:
مَا بَلَغَ أَنْ تُؤَدَّى زَكاَتُهُ فَزُكِّيَ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ
“Bila mencapai kadar harus ditunaikan zakatnya lalu dizakati, maka itu bukanlah kanzun.” (HR. Abu Dawud no. 1564, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)
3. Atsar dari para sahabat Nabi n
a. Atsar Ibnu Mas’ud z
Ketika ada seorang wanita bertanya kepada Ibnu Mas’ud z tentang perhiasan yang harus dikeluarkan zakatnya, beliau menjawab, “Bila perhiasan itu mencapai kadar 200 dirham maka keluarkanlah zakatnya.” Wanita itu berkata, “Aku mengasuh anak-anakku yang yatim. Apakah boleh aku memberikan zakat tersebut kepada mereka?” “Iya, boleh,” jawab Ibnu Mas’ud. (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 4/83)
b. Atsar Aisyah x
Aisyah x berkata, “Tidak apa-apa mengenakan perhiasan jika diberikan zakatnya.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dalam As-Sunan no. 1938)
c. Atsar Abdullah ibnu ‘Amr ibnul ‘Ash c
Ia menulis surat kepada bendaharanya yang bernama Salim agar mengeluarkan zakat perhiasan putri-putrinya setiap tahun. (Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dalam As-Sunan no. 1938)
4. Atsar dari tabi’in
a. Atsar Sa’id ibnul Musayyab t
Ia berkata, “Pada perhiasan emas dan perak ada zakatnya. Sementara mutiara (marjan) tidak ada zakatnya, kecuali bila diperdagangkan.” (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 4/85)
b. Atsar Ibrahim An-Nakha’i t
Ibrahim berkata, “Zakat ada pada perhiasan emas dan perak.” (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 4/84)
c. Atsar ‘Atha` t
“Apabila perhiasan mencapai nishab zakat maka padanya ada zakat yang harus dikeluarkan,” katanya. (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 3/153)
d). Atsar Az-Zuhri t
“Zakat ada pada perhiasan dikeluarkan setiap tahun,” kata Az-Zuhri. (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 4/83)
Dalil Ahlul Ilmi yang Berpendapat Tidak Wajibnya Zakat Perhiasan
1. Hadits dari Jabir bin Abdillah c.
Dia menyatakan bahwa Nabi n bersabda:
لَيْسَ فِي الْحُلِّيِّ زَكَاةٌ
“Tidak ada zakat pada perhiasan.” (Diriwayatkan Ad-Daraquthni dalam As-Sunan no. 1937)
Namun hadits ini telah dihukumi oleh Al-Baihaqi t dan selainnya sebagai hadits yang batil, tidak ada asalnya. Al-Baihaqi berkata, “Hadits ini hanyalah diriwayatkan dari ucapan Jabir1. Afiyah bin Ayyub (salah seorang perawinya, pent.) adalah seorang yang majhul. Siapa yang berhujjah dengannya secara marfu’ maka orang itu dihukum karena dosanya. Ia masuk dalam celaan kita terhadap orang-orang yang menyelisihi, yakni berhujjah dengan periwayatan para pendusta.”
Kesimpulannya, hadits ini memiliki penyakit dari tiga sisi:
Pertama: Hadits ini mauquf dari ucapan Jabir c.
Kedua: Afiyah bin Ayyub lemah. Sebagian ulama mengatakannya majhul.
Ketiga: Dhaifnya rawi yang meriwayatkan dari ‘Afiyah, yaitu Ibrahim bin Ayyub. (lihat Al-Irwa`, 3/295)
2. Atsar dari Beberapa Sahabat
a. Atsar Ibnu ‘Umar c
Ia memakaikan perhiasan emas kepada putri-putrinya dan budak-budak perempuannya, kemudian ia tidak mengeluarkan zakat dari perhiasan tersebut (Diriwayatkan Asy-Syafi’i t dalam Musnad-nya no. 432)
b. Atsar Asma` bintu Abi Bakr x
Asma x tidak mengeluarkan zakat perhiasan. (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 3/155)
c. Atsar Jabir bin Abdillah c
Ia berkata, “Tidak ada zakat pada perhiasan.” Abuz Zubair (perawi yang meriwayatkan dari Jabir) berkata, “Nilai perhiasan itu mencapai seribu dinar.” Jabir berkata, “Dipinjamkan dan dipakai.” (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 4/82)
Adapun pendapat ketiga dan keempat tidak memiliki sandaran dalil sehingga  hanya tinggal dua pendapat. Bila kita melihat dalil-dalil dari dua pendapat tersebut, kita dapatkan dalil pendapat pertama lebih kuat daripada pendapat yang kedua. Dan memang demikian kenyataannya, pendapat pertama yang menyatakan perhiasan harus dikeluarkan zakatnya lebih rajih.
Zakat perhiasan ini sebagaimana zakat lainnya dikeluarkan bila telah mencapai nishab, selain telah mencapai haul (telah satu tahun dalam pemilikan). Demikian pendapat mayoritas ahlul ilmi. Adapun Al-Imam Ash-Shan’ani t setelah membawakan hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash c yang telah disebutkan di atas mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil wajibnya zakat pada perhiasan. Zahirnya tidak ada nishabnya, karena Nabi n hanya memerintahkan untuk mengeluarkan zakat dari dua gelang yang disebutkan.” (Subulus Salam, 4/42)
Namun dalam hadits Ummu Salamah x yang telah lewat disebutkan: “Bila mencapai kadar harus ditunaikan zakatnya lalu dizakatkan maka itu bukanlah kanzun.” Dengan demikian zakat perhiasan pun harus mencapai nishab. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah,14/86)
Bila berupa emas maka nishabnya seperti nishab emas yaitu 20 dinar2, zakatnya sebesar 1/2 dinar. Sedangkan perak sebanyak 200 dirham3, zakatnya sebanyak 5 dirham. Berarti, zakat emas dan perak besarnya 2,5%. Nishab emas dan perak ini disebutkan dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib z dari Nabi n:
فَإِذَا كَانَتْ لَكَ مِئَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْل فَفِيْهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ، وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ –يَعْنِي فِي الذَّهَبِ- حَتَّى يَكُوْنَ لَكَ عِشْرِيْنَ دِيْنَارًا. فَإِذَا كَانَتْ لَكَ عِشْرِيْنَ دِيْنَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْل فَفِيْهَا نِصْفُ دِيْنَارٍ. فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ
“Apabila engkau memiliki 200 dirham (perak) dan telah lewat haul (setahun dalam pemilikan, pent.) maka padanya ada zakat sebesar 5 dirham. Dan tidak ada kewajiban apa-apa atasmu –yaitu pada emas– hingga engkau memiliki 20 dinar. Bila engkau memiliki 20 dinar dan telah lewat haul maka padanya ada zakat sebesar 1/2 dinar. Apa yang lebih dari itu maka perhitungannya demikian.” (HR. Abu Dawud no. 1573, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila pada perhiasan emas dan perak itu ada batu-batu mulia seperti berlian, mutiara dan sebagainya, maka batu-batu ini tidaklah terhitung dalam zakat. Yang dihitung zakatnya hanyalah emas dan peraknya. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.