Kemilau Permata Hatiku

Setiap orang hampir dipastikan suka dengan kebersihan. Lebih-lebih lagi seorang muslim, kesukaannya kepada kebersihan tentu akan berlipat karena syariat menganjurkannya. Kecintaan pada sifat bersih mestinya tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga ditularkan kepada anak-anak. Di antaranya dengan menjaga tubuh mereka agar senantiasa bersih dan berbau harum. Jadi, memiliki anak yang banyak bukan alasan untuk menjadikan keadaan mereka lusuh dan berbau tidak sedap.

Melihat anak-anak merupakan suatu kebahagiaan tersendiri. Tingkah mereka adalah hiburan dari segala kepenatan. Kecakapan mereka adalah sebuah kebanggaan bagi ayah dan ibunya. Anak, bagaikan permata yang begitu berharga.

Namun, terkadang karena kesibukan, kurang perhatian, atau alasan lainnya, anak-anak dibiarkan dengan “penampilan” seadanya. Baju seadanya. Penampilan kusut dan kumal, rambut acak-acakan, lebih-lebih lagi setelah bermain atau bangun tidur. Kutu rambut menghuni kepala. Ingus dan kotoran yang menyumbat hidung atau bahkan belepotan keluar. Kadangkala tangan dan kaki yang kotor setelah bermain luput dari perhatian.

 

Sementara itu, kalau kita cermati, perhatian terhadap kebersihan anak – termasuk kebersihan badan dan pakaian– adalah sesuatu yang bisa kita temukan dalam syariat ini.

Hal ini bahkan dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat Usamah kecil, putra Zaid bin Haritsahz, tampak beringus. Beliau hendak mengusap sendiri ingus Usamah radhiallahu ‘anhu. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengisahkan,

        أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يُنْحِيَ مُخَاطَ أُسَامَةَ، قَالَتْ عَائِشَةُ: دَعْنِي حَتَّى أَنَا الَّذِي أَفْعَلُ. قَالَ: يَا عَائِشَةُ، أَحِبِّيْهِ فَإِنِّي أُحِبُّهُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mengusap ingus Usamah. ‘Aisyah pun berkata, “Biarkan aku yang melakukannya.” Beliau bersabda, “Wahai ‘Aisyah, cintailah dia, karena aku mencintainya.” (HR. at-Tirmidzi, dikatakan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam ash-Shahihul Musnad no. 1628: “Hadits hasan gharib.”)

 

Pernah pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perhiasan untuk dikenakan oleh cucu beliau, Umamah bintu Abil ‘Ash radhiallahu ‘anhuma. Kita dapati kisah ini dari riwayat istri beliau, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.

قُدِمَتْ عَلَى النَّبِيِّ حِلْيَةٌ مِنْ عِنْدِ النَّجَاشِي أَهْدَاهَا لَهُ، فِيْهَا خَاتَمٌ مِنْ ذَهَبٍ، فِيْهِ فَصٌّ حَبَشِيٌّ قَالَتْ: فَأَخَذَهُ رَسُولُ اللهِ بِعَوْدٍ مُعْرِضًا أَوْ بِبَعْضِ أَصَابِعِهِ ثُمَّ دَعَا أُمَامَةَ بِنْتَ أَبِي الْعَاص بِنْتَ ابْنَتِهِ زَيْنَبَ فَقَالَ :تَحَلِّي بِهَذَا يَا بُنَيَّةُ

Dipersembahkan di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perhiasan hadiah dari Raja Najasyi. Di antaranya ada sebuah cincin berhias permata Habasyah. ‘

Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya dengan kayu yang melintang atau dengan salah satu jarinya. Beliau lalu memanggil Umamah bintu Abil ‘Ash, putri Zainab dan berkata, “Berhiaslah dengan ini, wahai putriku.” (HR. Abu Dawud, dikatakan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam ash-Shahihul Musnad no. 1583, “Hadits hasan.”)

 

Begitu pun yang dilakukan oleh putri beliau, Fathimah radhiallahu ‘anha terhadap putranya, al-Hasan radhiallahu ‘anhu. Sebelum bertemu dengan sang kakek, dia lebih dahulu dimandikan dan dikenakan perhiasan. Kisah ini dituturkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,

خَرَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ فِي طَائِفَةٍ مِنَ النَّهَارِ لاَ يُكَلِّمُنِي وَلاَ أُكَلِّمُهُ حَتَّى جَاءَ سُوْقَ بَنِي قَيْنُقَاعَ ثُمَّ انْصَرَفَ حَتَّى أَتَى خِبَاءَ فَاطِمَةَ فَقَالَ :أَثَمَّ لُكَعُ؟ أَثَمَّ لُكَعُ؟ يَعْنِي حَسَنًا .

فَظَنَنَّا أَنَّهُ إِنَّمَا تَحْبِسُهُ أُمُّهُ لِأَنْ تُغَسِّلَهُ وَتُلْبِسَهُ سِخَابًا .فَلَمْ يَلْبَثْ أَنْ جَاءَ يَسْعَى حَتَّى اعْتَنَقَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا صَاحِبَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ :اللَّهُمَّ إِنِّي أُحِبُّهُ فَأَحِبَّهُ وَأَحْبِبْ مَنْ يُحِبُّهُ

Aku pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu siang. Beliau tidak mengajakku bicara dan aku pun tidak mengajak beliau bicara, hingga tiba di pasar Bani Qainuqa’, lalu beliau kembali.

Beliau mendatangi rumah Fathimah dan berkata, “Di mana si kecil? Di mana si kecil?”

Yang beliau maksudkan adalah Hasan. Kami menyangka dia sedang ditahan oleh ibunya untuk dimandikan dan dipakaikan sikhab[1]. Tidak lama kemudian, dia datang dengan berjalan. Keduanya pun saling berpelukan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah, aku mencintainya. Cintailah dia dan cintailah orang yang mencintainya.” (HR. al-Bukhari no. 2122 dan Muslim no. 2421)

 

Kisah ini menunjukkan bolehnya memakaikan kalung, sikhab, atau perhiasan lainnya pada anak-anak. Selain itu menunjukkan disukainya membersihkan anak-anak, terutama bila hendak bertemu orang-orang yang dimuliakan, serta disukainya kebersihan secara mutlak. (Syarh Shahih Muslim, 15/193)

Betapa banyak sisi yang harus diperhatikan untuk menjaga kebersihan dan kerapian anak. Selain memandikan, memakaikan pakaian yang pantas dan bersih, juga menghilangkan kotoran yang mengganggu si anak, seperti ingus. Tidak ketinggalan pula memotong kuku. Bahkan, ini adalah suatu hal yang disunnahkan, sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الفِطْرَةُ خَمْسٌ  أَوْ خَمْسٌ مِنَ الفِطْرَةِ الْخِتَانُ، وَالْاِسْتِحْدَادُ، وَتَقْلِيْمُ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ، وَقَصُّ الشَارِبِ

“Urusan fitrah itu ada lima – atau lima hal yang termasuk fitrah: khitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan memotong kumis.” (HR. Muslim no. 257)

 

 

Di samping itu, anak harus dibiasakan menjaga kebersihan mulutnya dengan menggosok gigi. Dengan demikian, anak terhindar dari bau mulut dan kotoran kekuningan dari sisa makanan yang menempel di gigi.

Menggosok gigi adalah sesuatu yang disenangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ditanya tentang sesuatu yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat masuk rumah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab,

بِالسِّوَاكِ

“Dengan bersiwak.” (HR. Muslim no. 253)

 

Ini menunjukkan keutamaan bersiwak di setiap waktu, serta menggambarkan perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap hal ini dan beliau berulang-ulang melakukannya. (Syarh Shahih Muslim, 3/144)

 

Namun, ada waktu-waktu yang sangat disukai untuk menggosok gigi. Di antaranya, ketika hendak menunaikan shalat, ketika berwudhu, ketika hendak membaca al-Qur’an, ketika bangun tidur, dan ketika berubah bau mulut, baik karena tidak makan dan minum, makan makanan yang menyisakan bau tidak sedap, diam dalam waktu lama, atau karena banyak berbicara. (Syarh Shahih Muslim, 3/142)

Hal-hal seperti ini selayaknya diajarkan dan dibiasakan pada anak, agar kebersihan mulut dan gigi mereka senantiasa terjaga. Lebih dari itu, mereka akan terbiasa menjalani Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain adalah memakai wewangian. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menuturkan,

كَانَ لِلنَّبِيِّ سُكَّةٌ يَتَطَيَّبُ مِنْهَا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki minyak wangi yang beliau biasa berwewangian darinya.” (HR. Abu Dawud no. 4162, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

 

Bahkan, beliau tidak pernah menolak wewangian. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menuturkan,

كَانَ لاَ يَرُدُّ الطِّيْبَ

“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menolak wewangian.” (HR. al-Bukhari no. 5929)

 

Tak ada salahnya mengenalkan anak-anak pada kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar melekat kelak pada diri mereka. Tak ketinggalan merapikan rambut. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kita untuk merawat rambut. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ شَعْرٌ فَلْيُكْرِمْهُ

“Barang siapa memiliki rambut, hendaklah dimuliakan.” (HR. Abu Dawud no. 4163, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Maksudnya, hendaknya seseorang mendandani rambutnya, membersihkan dengan cara mencuci, meminyaki, dan menyisirnya. Rambut tidak dibiarkan kusut masai. Sebab, kebersihan dan sesuatu yang enak dipandang itu disukai. (‘Aunul Ma’bud, 11/147)

 

Dikisahkan oleh Jabir radhiallahu ‘anhuma,

أَتَانَا رَسُوْلُ اللهِ فَرَأَى رَجُلاً شَعِثًا قَدْ تَفَرَّقَ شَعْرُهُ، فَقَالَ :أَمَا كَانَ هَذَا يَجِدُ مَا يُسَكِّنُ بِهِ شَعْرَهُ؟ وَرَأَى رَجُلاً آخَرَ وعَلَيْهِ ثِيَابٌ وَسِخَةٌ فَقَالَ :أَمَا كَانَ هَذَا يَجِدُ مَا يُغْسِلُ بِهِ ثَوْبَهُ؟

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami. Beliau melihat seseorang yang kusut masai, awut-awutan rambutnya. Beliau berkata, “Apakah orang ini tidak mendapatkan sesuatu untuk merapikan rambutnya?”

Beliau juga melihat seseorang yang lain mengenakan baju yang kotor. Beliau berkata, “Apakah orang ini tidak mendapatkan sesuatu untuk mencuci bajunya?” (HR. Abu Dawud no. 4062, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

 

Ini menunjukkan bahwa seseorang dituntut membersihkan kotoran yang tampak pada pakaian dan badannya. Tampak juga dari sini perintah untuk mencuci pakaian walau hanya menggunakan air. (‘Aunul Ma’bud, 11/76)

 

Apalagi bila si anak adalah seorang penuntut ilmu. Semestinya orang tua membiasakan untuk mempersiapkan kehadiran si anak di tempat menuntut ilmu.

Selayaknya seorang penuntut ilmu, hendaknya anak berangkat menuntut ilmu dalam keadaan yang sebaik mungkin. Badan dan pakaiannya bersih. Kuku dan rambutnya dibersihkan. Bau yang tak sedap juga dihilangkan. Sebab, yang akan dia datangi adalah majelis zikir dan tempat berkumpul untuk beribadah kepada Allah. (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, hlm. 95)

 

Jika demikian yang kita temui dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai hatikah kita tetap membiarkan anak-anak tidak terawat kebersihannya? Padahal, andai saja mau, kita akan melihat indahnya kemilau permata hati kita.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab

 

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran


[1]  Sikhab adalah kalung yang terbuat dari cengkih, misik atau cendana, biasa dipakai anak-anak.

membantu anakperhatian terhadap anak