Manusia seringkali lupa daratan. Statusnya sebagai makhluk dan hamba Allah subhanahu wa ta’ala seringkali bias dalam kepribadian. Makna kehidupan yang hakikatnya adalah berserah diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan mentauhidkan-Nya subhanahu wa ta’ala, tunduk kepada-Nya subhanahu wa ta’ala dengan penuh ketaatan, serta berlepas diri dari kesyirikan dan para pelakunya seringkali terlupakan dalam kehidupan. Halal dan haram tak lagi dipedulikan. Yang penting senang, yang penting puas, walaupun harus melanggar berbagai aturan. Padahal hidup di dunia ini hanya sekali, sudah semestinya hidup yang berarti.
Demikianlah di antara “kenakalan” manusia dalam menjalani roda kehidupan. Semua ini mengingatkan kita akan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Akan datang kepada manusia suatu masa, yang ketika seseorang tidak lagi memedulikan sesuatu yang diraihnya, apakah dari hasil yang halal ataukah dari hasil yang haram.” (HR. al-Bukhari no. 2059, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Para pembaca yang mulia, suatu hari terjadi sebuah dialog yang mengesankan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan para sahabatnya, sebagaimana penuturan sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berikut,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Para sahabat menjawab, ‘Setahu kami orang yang bangkrut itu adalah orang yang tak punya harta benda.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, ‘Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, namun dia juga membawa catatan dosa; mencela si ini, menuduh si ini, memakan harta si ini, membunuh si ini, dan memukul si ini. Akhirnya, pahala kebaikan yang dimilikinya diberikan kepada masing-masing orang yang dijahatinya itu (sebagai balasannya). Manakala pahala kebaikannya itu tidak mencukupi untuk menebus dosa kejahatan yang dilakukannya, diambillah dosa-dosa orang yang dijahatinya itu dan ditimpakan kepadanya, lalu dia dilempar ke dalam neraka’.” (HR. Muslim no. 2581)
Itulah salah satu potret buruk orang yang tak memedulikan halal dan haram dalam kehidupannya. Menghalalkan segala cara demi meloloskan kehendak hawa nafsunya. Terkadang dengan mencela orang lain, menuduhnya, memakan hartanya, memukulnya, bahkan membunuhnya. Akhirnya menjadi bangkrut dan merugi di akhirat walaupun dia datang dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Wallahul Musta’an
Becermin dari hadits di atas, maka setiap muslim dan muslimah wajib memerhatikan yang halal dan yang haram dalam kehidupannya. Yang halal diraih dan yang haram ditinggalkan. Dengannya, dia akan hidup bahagia di dunia, dan di akhirat kelak tidak termasuk orang yang bangkrut dan merugi.
Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya bahwa makanan, minuman, dan pakaian yang diperoleh dari hasil yang haram sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan dan agama seseorang. Sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala itu Mahabaik (Suci), tidaklah menerima kecuali sesuatu yang baik. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan kepada para rasul.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
‘Hai para rasul, makanlah dari segala sesuatu yang baik dan beramal salehlah, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.’ (al-Mukminun: 51)
Dia juga berfirman,
‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari segala sesuatu yang baik yang telah Kami rezekikan kepada kalian’.” (al-Baqarah: 172)
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang seorang laki-laki yang sedang melakukan perjalanan jauh (safar), dalam kondisi rambutnya acak-acakan dan tubuhnya dipenuhi debu, lalu menengadahkan tangannya ke langit (seraya) berdoa, ‘Ya Rabbi! Ya Rabbi!’ Sementara itu, makanannya dari hasil yang haram, minumannya dari hasil yang haram, pakaiannya dari hasil yang haram, dan (badannya) tumbuh berkembang dari hasil yang haram. Maka mana mungkin doanya akan dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala?” (HR. Muslim no. 1015, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Seorang laki-laki (yang disebutkan dalam hadits di atas,-pen.) mempunyai empat kriteria (dikabulkannya sebuah doa),
- Dia sedang melakukan perjalanan (safar) yang jauh, dan safar merupakan salah satu momen dikabulkannya sebuah doa.
- Rambutnya acak-acakan dan tubuhnya dipenuhi oleh debu, ini juga salah satu sebab dikabulkannya sebuah doa.
- Menengadahkan tangannya ke langit, dan ini pun merupakan salah satu sebab dikabulkannya sebuah doa.
- Dia berdoa dengan menyeru, ‘Ya Rabbi! Ya Rabbi!’, yang merupakan tawassul dengan kekuasaan (rububiyyah) Allah subhanahu wa ta’ala. Ini pun salah satu sebab dikabulkannya sebuah doa.
Namun, doanya tidak dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, karena makanannya dari hasil yang haram, pakaiannya dari hasil yang haram, dan (badannya) pun tumbuh berkembang dari hasil yang haram.” (Diringkas dari Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)
Subhanallah… Betapa besarnya pengaruh makanan, minuman, dan pakaian yang diperoleh dari hasil yang haram bagi kehidupan seseorang. Doa dan permohonannya tak lagi didengar oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Lalu, ke manakah dia akan mengadukan berbagai permasalahannya?! Kepada siapakah dia akan meminta perlindungan dan pertolongan?! Betapa meruginya dia. Betapa sengsaranya dia, manakala Allah subhanahu wa ta’ala Rabb semesta alam ini telah berlepas diri darinya.
Penentuan Halal dan Haram adalah Hak Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
Kalau kebahagiaan di dunia dan di akhirat dapat diraih dengan sikap penuh perhatian terhadap yang halal dan yang haram dalam kehidupan ini, maka apa standar yang halal dan yang haram itu, dan siapakah yang berhak menentukannya?
Standar halal adalah apa yang dihalalkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan standar haram adalah apa yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, yang berhak menentukan halal dan haram itu adalah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa?
Ya, karena Allah subhanahu wa ta’ala adalah Pencipta, Pengatur, dan Penguasa alam semesta ini. Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui segala yang baik dan yang buruk bagi para hamba-Nya. Sehingga Dia-lah yang Maha Berhak untuk menentukan apa yang halal dan yang haram bagi para hamba-Nya, serta memilihkan apa yang terbaik bagi kehidupan mereka sesuai dengan hikmah dan kasih sayang-Nya yang sempurna. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan Rabb-mu menciptakan segala apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” (al-Qashash: 68)
Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau adalah manusia terbaik yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada seluruh umat manusia untuk menyampaikan agama yang benar dan pedoman hidup terbaik bagi mereka. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tiada bertutur kata selain berdasarkan wahyu yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (an-Najm: 3—4)
Dengan demikian, segala yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam harus diambil dan apa yang dilarang oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam harus ditinggalkan, termasuk yang bertalian dengan permasalahan halal dan haram. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Apa yang dibawa oleh Rasul kepada kalian maka ambillah, dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah!” (al-Hasyr: 7)
Kewajiban Menyambut Ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di antara konsekuensi keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menerima dengan lapang dada segala ketetapan dari keduanya, termasuk dalam permasalahan yang bertalian dengan halal dan haram. Tidak sepatutnya seorang mukmin dan mukminah memilih selainnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)
Dengan demikian, menerima segala ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kewajiban setiap insan yang beriman. Bukankah dengan itu akan tercipta kehidupan yang berbahagia?! Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, sambutlah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan.” (al-Anfal: 24)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam ceramah agama yang bertajuk asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa Mahasinuha wa Dharuratu al-Basyar Ilaiha mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan sikap menyambut seruan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya sebagai kehidupan, dan sikap enggan menyambut seruan tersebut sebagai kematian. Dengan demikian, jelaslah bahwa syariat Islam adalah kehidupan bagi umat dan pangkal kebahagiaan mereka. Sungguh, tidak ada kehidupan dan kebahagiaan bagi mereka tanpa itu semua.”
Namun, ada kelompok sesat yang mencukupkan diri dengan ketetapan halal dan haram yang terdapat dalam al-Qur’an serta tak mau mengambil ketetapan halal dan haram dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal telah diketahui bersama bahwa ketetapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Kelompok sesat itu menamakan diri dengan “Qur’aniyyun” (orang-orang yang berpegang teguh dengan al-Qur’an), padahal realitasnya mereka tidak sepenuhnya berpegang teguh dengan al-Qur’an.
Buktinya, ayat-ayat al-Qur’an seputar ketaatan mutlak kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dalam hal ketetapan halal dan haram mereka ingkari. Sungguh, mereka lebih tepat disebut “Munkirussunnah” (kelompok ingkar sunnah). Jauh-jauh hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut-nyebut mereka,
“Ingatlah, sungguh aku telah diberi (oleh Allah subhanahu wa ta’ala, pen.) al-Kitab sekaligus yang semisal dengannya (al-Hadits, pen.). Ingatlah, sungguh akan ada seorang laki-laki yang kenyang perutnya sambil bertelekan di atas sofanya mengatakan, ‘Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan al-Qur’an ini. Apa yang kalian dapati padanya berupa sesuatu yang halal maka halalkanlah, dan apa yang kalian dapati padanya berupa sesuatu yang haram maka haramkanlah.’ Dan (ingatlah) sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu seperti apa yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala….” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari sahabat al-Miqdam bin Ma’diy Karib radhiallahu ‘anhu. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Misykatul Mashabih no. 163)
Menurut al-Imam ath-Thibi rahimahullah, pada pengulangan kalimat peringatan (kata: ingatlah, pen.) mengandung celaan dan hardikan yang didasari oleh kemarahan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat besar terhadap orang yang meninggalkan as-Sunnah/al-Hadits dan tidak mau beramal dengannya, karena merasa cukup dengan al-Qur’an. Lantas bagaimana halnya dengan orang yang mengedepankan logikanya daripada as-Sunnah/al-Hadits?!
Al-Imam al-Abhari rahimahullah menjelaskan bahwa apa yang diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di luar al-Qur’an maka secara kedudukan sama dengan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan dalam al-Qur’an.
Demikian pula al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah menegaskan bahwa apa yang diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hakikatnya sama dengan apa yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi 7/356)
Menyikapi Isu Halal dan Haram
Seringkali umat Islam dibuat bingung dengan pro-kontra hukum (baca: isu halal dan haram) tentang beberapa produk makanan, minuman, obat-obatan, ataupun yang lebih luas dari itu. Bagaimanakah sikap yang benar dalam permasalahan ini?
Sikap yang benar dalam masalah ini adalah sebagai berikut.
- Meyakini bahwa Islam adalah agama yang sempurna.
Semua ajaran dan aturannya telah tertata dengan sebaik-baiknya. Tak luput pula permasalahan halal dan haram yang ada di tengah kehidupan umat manusia. Semuanya telah ada penjelasannya. Ada yang halal dan jelas kehalalannya, ada yang haram dan jelas keharamannya, dan ada pula yang syubhat (samar) hukumnya bagi sebagian manusia namun tidak syubhat (samar) bagi sebagian lainnya.
Tentang hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barang siapa menjauhi perkara-perkara yang syubhat (samar) sungguh telah melakukan penjagaan terhadap agama dan kehormatannya. Barang siapa terjatuh dalam perkara-perkara yang syubhat (samar) niscaya akan terjatuh dalam sesuatu yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembala di sekitar hima (kebun hijau milik pemerintah yang tak sembarang orang boleh memasukinya), suatu saat dia akan tergoda untuk menggembalakan (hewan gembalaannya) di lokasi tersebut. Ingatlah setiap raja itu mempunyai hima, dan hima milik Allah subhanahu wa ta’ala adalah hal-hal yang diharamkan-Nya….” (HR. al-Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599, dari sahabat an-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu)
- Terhadap sesuatu yang telah jelas kehalalan dan keharamannya, setiap muslim dan muslimah harus mengikuti ketetapan yang ada dalam syariat ini.
Dengan itu, seseorang akan dimudahkan masuk ke dalam al-Jannah (surga). Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
“(Suatu hari) an-Nu’man bin Qauqal radhiallahu ‘anhu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku menegakkan shalat lima waktu, aku haramkan sesuatu yang haram dan aku halalkan sesuatu yang halal, apakah aku bisa masuk al-Jannah (surga)?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ya’.” (HR. Muslim no. 16)
- Adapun masalah yang syubhat (samar) dan menjadi pro-kontra di tengah umat, maka setiap muslim dan muslimah tidak boleh bermudah-mudahan mengatakan (secara dusta) bahwa ini halal dan ini haram, kemudian menyandarkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (an-Nahl: 116)
- Kita tidak boleh larut dengan isu halal dan haram tersebut, apalagi tergesa-gesa menyiarkannya tanpa tatsabbut (klarifikasi) dan bimbingan ulama.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri).” (an-Nisa’: 83)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini adalah teguran dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk para hamba-Nya tentang perbuatan mereka yang tidak patut. Seyogianya, ketika datang kepada mereka suatu berita penting dan terkait dengan kemaslahatan bersama, baik yang berkaitan dengan keamanan dan hal yang menggembirakan kaum mukminin, maupun berkaitan dengan ketakutan yang merupakan musibah bagi mereka, hendaknya mereka melakukan tatsabbut (klarifikasi) dan tidak tergesa-gesa menyiarkan berita tersebut.
Bahkan, hendaknya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, yaitu orang-orang yang mempunyai ide cemerlang, berilmu, kaya nasihat, cerdas, objektif, dapat memahami masalah dengan baik, serta mengetahui kadar maslahat dan mafsadah. Jika mereka (Rasul dan ulil amri) memandang bahwa disiarkannya berita tersebut berbuah maslahat, mengangkat mental kaum mukminin, menggembirakan hati mereka, dan lebih menjaga dari musuh-musuh mereka, hendaknya berita tersebut disiarkan. Namun, jika mereka (Rasul dan ulil amri) memandang bahwa disiarkannya berita tersebut tidak berbuah maslahat atau ada maslahatnya tetapi mudaratnya lebih besar daripada maslahatnya, berita tersebut tidak boleh disiarkan.” (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 90)
- Mengembalikan masalah yang syubhat (samar) dan menjadi pro-kontra di tengah umat itu kepada para ulama mumpuni (ulil amri) dengan menanyakannya kepada mereka dan mengikuti bimbingan mereka dengan sebaik-baiknya.
Hal ini sebagaimana dituntunkan oleh al-Qur’an dalan surat an-Nisa’ ayat 83 di atas dan firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut ini.
“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Selagi para ulama masih ada, umat pun masih dalam kebaikan. Para setan dari kalangan jin dan manusia tidak akan leluasa untuk menyesatkan mereka. Sebab, para ulama itu tidak akan berdiam diri untuk menerangkan jalan kebaikan dan kebenaran, sebagaimana halnya mereka akan selalu memperingatkan umat dari jalan kebinasaan.” (Ma Yajibu Fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hlm. 7)
Mudah-mudahan kajian “Manhaji” ini bermanfaat bagi kita semua, terutama dalam menyikapi isu halal dan haram yang merebak di tengah umat.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc.