Ada beberapa adab yang dituntunkan bagi orang yang mendengarkan khutbah.
1. Bila seseorang masuk masjid, jangan duduk sampai shalat sunnah tahiyatul masjid meskipun khatib sedang berkhutbah.
Ini berlandaskan hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma bahwa datang seorang lelaki di hari Jum’at dalam keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menyampaikan khutbah lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kamu sudah shalat?” Ia menjawab, “Belum.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Shalatlah dua rakaat!” (Shahih al-Bukhari no. 931)
2. Jika seseorang masuk masjid di hari Jum’at dan azan Jum’at sedang dikumandangkan, apakah dia tetap berdiri menunggu sampai selesainya azan atau dia langsung shalat tahiyatul masjid?
Ulama menyebutkan bahwa dia langsung shalat tahiyatul masjid karena mendengarkan khutbah itu wajib sedangkan menjawab azan itu sunnah. (Majmu’ Fatawa asy-SyaikhMuhammad bin Shalih al-‘Utsaimin 12/202)
3. Duduk di mana saja dia mendapatkan tempat dimasjid dan dianjurkan mendekat kepada imam.
4. Tidak melewati pundak-pundak orang dan tidak memisahkan antara dua orang.
Al-Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dalam Sunan-nya (1118) dari Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Datang seorang lelaki pada hari Jum’at dengan melangkahi leher-leher manusia dalam keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berkhutbah maka beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
إِجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ
“Duduklah, kamu telah mengganggu!”
(Hadits ini dinyatakan sahih oleh Ibnul Munzir rahimahullah seperti dalam al-Majmu’ 4/421 karya an-Nawawi rahimahullah)
Melangkahi pundak-pundak orang menurut pendapat yang kuat hukumnya haram, lebih-lebih jika hal itu terjadi ketika berlangsungnya khutbah karena terkandung bentuk menyakiti orang lain dan menyibukkan orang dari mendengarkan khutbah. Dikecualikan dalam hal ini adalah imam, karena memang tempatnya di depan. Apabila imam bisa sampai di depan tanpa harus melewati pundak-pundak orang, maka itu yang seharusnya dilakukan. Misalnya, ada pintu masuk imam di bagian depan.
Dikecualikan pula dari larangan ini orang yang ingin mengisi tempat yang masih kosong di bagian depan. Misalnya, orang-orang yang datang lebih awal mengambil tempat duduk di bagian belakang masjid atau tengah-tengahnya dan membiarkan shaf-shaf depan tidak ditempati. Dibolehkannya melewati mereka karena biasanya mereka sendiri yang telah meremehkan shaf-shaf terdepan sehingga tidak mengapa untuk ditempati walaupun terpaksa harus melewati pundak-pundak manusia. (Lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/125-126)
5. Diam saat berlangsungnya khutbah.
Hal ini berlandaskan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Apabila kamu mengatakan kepada temanmu di hari Jum’at,‘Diamlah kamu!’ dalam keadaan imam sedang berkhutbah maka kamu telah berkata yang sia-sia.” (HR. al-Bukhari no. 394dan Muslim)
Orang yang seperti ini telah sia-sia Jum’atannya meskipun telah gugur kewajibannya.
Hadits ini menunjukkan larangan dari seluruh percakapan saat berlangsungnya khutbah, karena jika ucapan “diamlah kamu” yang terkandung bentuk amar ma’ruf saja dikatakan sia-sia karena bukan pada waktu yang tepat, tentunya perkataan yang sifatnya biasa saja lebih dilarang lagi.
Khutbah sebagai salah satu syiar Jum’atan yang terbesar, tentu yang dimaukan agar para jamaah mendengarkannya dan tidak menyibukkan dengan selainnya. Diharapkan, selesai dari Jum’atan mereka telah menyerap materi khutbah yang mendorongnya kepada kebaikan dan mencegah dari
kemungkaran.
Namun, suatu hal yang sangat menyedihkan bahwa kita masih mendapatkan sebagian jamaah asyik mengobrol pada saat khatib dengan seriusnya menyampaikan khutbah. Yang lebih memilukan, sebagian mereka tenggelam dalam percakapan yang haram dan melukai kehormatan saudaranya.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa larangan berkata-kata adalah hanya saat berlangsungnya khutbah. Adapun ketika khatib tidak sedang berkhutbah, seperti ketika duduk di antara dua khutbah, hal ini tidak mengapa.
Demikian pula, perintah untuk diam saat khutbah tidak hanya diam dari mengajak bicara orang lain namun juga diam dari berzikir dan membaca al-Qur’an.(lihat Subulus Salam 2/51)
Adapun menjawab salam, membaca hamdalah kalau bersin dan mengucapkan shalawat ketika nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam disebut, diperselisihkan kebolehannya saat berlangsung khutbah. Sebagian ulama mengatakan hal itu tidak boleh karena ucapan “diamlah kamu” sudah dianggap sia-sia, padahal ia termasuk kategori al-ma’ruf (sesuatu yang baik), Maka, semua ma’ruf yang lainnya juga dilarang karena memang bukan waktunya, dan bahwa dilarangnya hal tersebut termasuk masalah “mendahulukan yang terpenting dari yang penting”, wallahu a’lam. (lihat al-Ajwibah an-Nafi’ah karya asy-Syaikh al-Albani hlm. 60)
Apakah orang yang tidak mendengar ceramah khatib boleh berbicara? Dalam permasalahan ini juga ada perbedaan pendapat. Jumhur ulama berpendapat tidak boleh. (lihat Syarh Shahih Muslim, karya an-Nawawi 6/377)
Pendapat jumhur ini tampaknya lebih kuat, karena hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan secara tekstualnya adalah perintah untuk diam dari seluruh ucapan saat khutbah berlangsung kecuali yang telah dikhususkan oleh dalil. Wallahu a’lam. (lihat Ahaditsul Jumu’ah)
Di antara yang dikecualikan oleh dalil adalah shalat tahiyatul masjid, jamaah berbincang dengan khatib dan jamaah diajak bicara oleh khatib. Adapun ucapan yang sifatnya harus seperti memperingatkan orang buta yang akan jatuh ke sumur atau orang yang dikhawatirkan tersengat api, ular, atau kebakaran, dan yang semisalnya, maka hal ini boleh. (Lihat al-Mughni 3/198)
Apabila khatib menyampaikan materi khutbah yang tidak layak, sebagian salaf membolehkan berbicara di saat khutbah. (Fathul Bari 2/415 dan Mushannaf Abdurrazzaq 3/213)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Apabila khatib memasukkan dalam khutbahnya sesuatu yang bukan kategori zikir kepada Allah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula doa yang diperintahkan, maka berbicara di saat itu boleh.” (al-Muhalla 5/62)
6. Larangan duduk ihtiba, yaitu seseorang duduk menegakkan kedua lutut dan kedua kakinya lalu menggabungkannya ke perutnya dengan cara mengikatnya dengan kain atau kedua tangannya.
Ini berlandaskan hadits Abu Dawud dalam Sunan-nya dari Mu’adz bin Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari ihtiba di hari Jum’at dalam keadaan imam sedang berkhutbah. (no. 1110)
Dilarang duduk seperti ini karena akan bisa membuat seorang tertidur dan menjadi pengantar untuk batalnya wudhunya.1 (Lihat ‘Aunul Ma’bud 3/322)
7. Tidak bermain-main saat berlangsungnya khutbah karena akan mengganggu konsentrasi. Demikian pula tidak melakukan sesuatu yang bisa menyibukkan dari mendengar khutbah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
“Barangsiapa memegang/menyentuh kerikil maka dia telah melakukan perkara yang sia-sia.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 901 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Di sini, kami mengajak para takmir atau pengelola masjid untuk tidak mengedarkan kotak infak di saat berlangsungnya khutbah, karena sangat mengganggu konsentrasi para jamaah. Mungkin bisa dicari cara selain ini. (-red.)
8. Bergeser dari tempat duduknya apabila mengantuk.
Ini berlandaskan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda,
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَلْيَتَحَوَّلْ مِنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ
“Apabila salah seorang kalian mengantuk pada hari Jum’at, hendaklah ia berpindah dari tempat duduknya itu.” (ShahihSunanat-Tirmidzi no. 526)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc
————————————————————-
1. Tentang duduk ihtiba, ada pendapat lain. Sebagian ulama membolehkannya dengan alas an bahwa hadits yang melarang duduk ihtiba derajatnya lemah. Untuk mengompromikan kedua pendapat tersebut, al-Iraqi menyatakan,”Seandainya dianggap semua hadits tersebut shahih, larangan itu dimaksudkan agar seseorang tidak mulai memasang hibwah (melakukan duduk ihtiba) ketika imam sudah berdiri untuk berkhutbah hingga ia menyelesaikannya.” (Syarh Musykil al-Atsar, 7/344-345) (-ed.)