Adakah Shalat Hajat dan Shalat Tobat?

Pertanyaan:

Adakah shalat hajat dan shalat tobat dalam syariat?

Muhammad—085242xxxxxx

Dijawab oleh Ustadz Qomar Suaidi, Lc.

Tentang shalat tobat, para ulama menyebutkan adanya shalat tersebut walaupun penamaannya dengan istilah “tobat” tidak disebutkan langsung dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Dalilnya adalah hadits dari Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا، فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ، إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ

‘Tidaklah seorang muslim berbuat dosa lalu bangkit dan bersuci kemudian melakukan shalat lantas meminta ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kecuali Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuninya.’”

Lalu beliau membaca ayat,

وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُواْ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ لِذُنُوبِهِمۡ وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمۡ يُصِرُّواْ عَلَىٰ مَا فَعَلُواْ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ

‘Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosa mereka, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa, selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui.’(Ali Imran: 135)

(Sahih. HR. Abu Dawud, “Kitab al-Witr”, “Bab fil Istighfar” no. 1523; at-Tirmidzi, “Kitab ash-Shalat”, “Bab fish Shalah ‘inda Taubah” no. 408; an-Nasai dalam kitab ‘Amalul Yaum wal Lailah; Ibnu Majah, dalam “Kitab Iqamatu ash-Shalah was Sunnah”, “Bab Ma Ja’a anna ash-Shalah Kaffarah” no. 1459; dan Ahmad; dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Baca juga: Doa Memohon Ampunan dan Rahmat Sebelum Salam

Al-Mubarakfuri, dalam Syarah Sunan at-Tirmidzi, menerangkan bahwa makna sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam “… lalu melakukan shalat …” adalah shalat dua rakaat. Hal ini sebagaimana yang ada dalam riwayat Ibnu as-Sunni, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi.

Adapun sabda beliau “… kemudian meminta ampun kepada Allah …” maksudnya dari dosa tersebut, sebagaimana dalam riwayat Ibnu as-Sunni. Yang dimaksud dengan ‘meminta ampun’ adalah bertobat, yang dilakukan dengan menyesali dan melepaskan diri (dari dosa tersebut), bertekad untuk tidak kembali mengulanginya selama-lamanya, dan mengembalikan hak-hak (orang lain) apabila memang ada. (Tuhfatul Ahwadzi)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Sangat dianjurkan untuk berwudhu dan shalat dua rakaat saat bertobat. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah.”

Beliau kemudian menyebutkan hadits di atas. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surah Ali Imran: 135)

Ibnu Khuzaimah rahimahullah, dalam kitab Shahih-nya, juga menyebutkan sebuah bab, “Disunnahkannya Shalat Setelah Berbuat Dosa Agar Shalat Tersebut Menjadi Penghapus Dosa yang Dilakukannya.”

Dari keterangan di atas, shalat tobat itu ada (disyariatkan) dan bahkan disunnahkan.

Baca juga: Pengaruh Dosa dan Maksiat

Namun, perlu diingat bahwa seseorang tidak boleh meremehkan dosa lantaran berkeyakinan bahwa shalat tobat akan menghapus setiap dosa yang dilakukannya. Sebab, terampuninya dosa bukan karena semata-mata shalat tersebut. Kondisi shalat itu sendiri terkadang khusyuk dan terkadang tidak. Niatnya pun terkadang benar dan terkadang keliru. Jadi, seseorang tidak tahu apakah shalatnya diterima atau tidak.

Jika demikian keadaannya, bagaimana mungkin ia memastikan bahwa dosanya terampuni dengan sekadar shalatnya?

Perlu dicermati juga dari hadits di atas bahwa shalat tobat tersebut adalah benar-benar merupakan ungkapan tobatnya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan,

ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّه

“… lalu dia meminta ampun kepada Allah…”

Baca juga: Cara Bertobat dari Maksiat

Maknanya, bertobat dengan memenuhi syarat-syarat tobat yang telah diterangkan oleh para ulama, yaitu

1) menyesali perbuatan dosanya,

2) meninggalkannya,

3) bertekad untuk tidak melakukannya lagi selama-lamanya, dan

4) apabila dosa yang ia lakukan terkait dengan hak orang lain, dia mengembalikannya kepada orang tersebut.

Shalat Tobat dengan Tata Cara Tertentu

Ada shalat tobat yang tidak sesuai dengan tata cara di atas sehingga ia merupakan sebuah bid’ah. Tata caranya adalah seseorang mandi pada malam Senin setelah witir kemudian mengerjakan shalat dua belas rakaat. Pada setiap rakaat dia membaca al-Fatihah, al-Kafirun 1 kali, al-Ikhlas 10 kali, dan seterusnya dengan cara-cara yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. (Lihat Mu’jamul Bida’, hlm. 343)

Shalat Hajat

Dalam hal ini perlu didudukkan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “hajat”. Dengan demikian, kita akan mengetahui apakah shalat tersebut disyariatkan ataukah tidak.

Sebab, saya mendapati sebagian ulama menetapkan adanya shalat hajat, sedangkan yang lain meniadakannya, bahkan menganggapnya bid’ah. Selain itu, di kalangan sebagian ulama yang menetapkan atau yang membid’ahkan, yang dimaksud shalat hajat oleh mereka masing-masing pun berbeda.

Penamaan “shalat hajat” itu sendiri tidak disebutkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tetapi dari para ulama. Sebagian mereka melihat sebuah hadits sahih yang berisi anjuran untuk melakukan shalat terkait dengan adanya suatu kebutuhan atau hajat. Kemudian mereka menetapkan adanya shalat itu dan menyebutnya “shalat hajat”.

Adapun ulama lain, mereka melihat hadits lemah yang menganjurkan untuk shalat terkait dengan adanya sebuah hajat. Mereka pun menyimpulkan shalat hajat tidak ada karena haditsnya lemah. Oleh karena itu, di sini kami akan menyebutkan kedua hadits tersebut.

Baca juga: Mengikuti Sunnah Rasulullah dan Menjauhi Bid’ah

Ulama yang menetapkan adanya shalat hajat antara lain adalah al-Mundziri dalam kitab beliau, at-Targhib wat Tarhib. Beliau menyebutkan hadits Utsman bin Hanif radhiallahu anhu berikut.

أَنَّ رَجُلاً ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَ فَقَالَ: ادْعُ اللهَ لِي أَنْ يُعَافِيَنِي. فَقَالَ: إِنْ شِئْتَ أَخَّرْتُ لَكَ وَهُوَ خَيْرٌ وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ. فَقَالَ: ادْعُهْ ّ. فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيُصَلِّىَ رَكْعَتَيْنِ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِمُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ. يَا مُحَمَّدُ، إِنِّي قَدْ تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى. اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ

“Seorang lelaki buta datang menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku.’

Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, ‘Apabila engkau mau, aku akan menundanya untukmu (di akhirat) dan itu lebih baik. Namun, apabila engkau mau, aku akan mendoakanmu.’

Orang itu pun mengatakan, ‘Doakanlah!’

Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyuruhnya berwudhu dan memperbagus wudhunya serta mengerjakan shalat dua rakaat dan berdoa dengan doa ini,

‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Muhammad, seorang Nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap kepada Rabbku denganmu agar kebutuhanku ditunaikan. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku.’” (Sahih. HR. at-Tirmidzi, dalam “Kitab ad-Da’awat”, dan beliau menyatakan hadits ini “hasan sahih gharib”; Ibnu Majah, dalam “Kitab ash-Shalah”, dan beliau memberikan judul “Shalat Hajat” untuk hadits ini; serta an-Nasai, dalam kitab ‘Amalul Yaum wal Lailah; dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani)

Baca juga: Syafaat Rasulullah yang Agung

Sebagian ulama lain menetapkan adanya (disyariatkannya) shalat hajat, tetapi yang mereka maksud adalah shalat istikharah. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan,

“Hadits tentang shalat istikharah, ia disebut juga dengan ‘shalat hajat’. Sebab, pelaksanaan shalat istikharah itu menyangkut kebutuhan yang sedang dimiliki seseorang. Oleh karena itu, seseorang disyariatkan untuk melakukan shalat dua rakaat dan memanjatkan doa istikharah ketika itu (meminta kebutuhan).”

Beliau rahimahullah juga menyebut istilah shalat tobat dengan “shalat hajat”. (Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 25/165)

Ulama lain yang meniadakan shalat hajat adalah karena mereka memaksudkannya (shalat hajat) sebagaimana yang terdapat dalam hadits dhaif berikut.

Dari Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ إِلَى اللهِ حَاجَةٌ أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ بَنِي آدَمَ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُحْسِنِ الْوُضُوءَ ثُمَّ لْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ لْيُثْنِ عَلَى اللهِ وَلْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ ثُمَّ لْيَقُلْ:

“Barang siapa mempunyai kebutuhan kepada Allah atau kepada seseorang dari bani Adam, maka berwudhulah dan perbaikilah wudhunya kemudian shalatlah dua rakaat. Lalu hendaklah ia memuji Allah, bershalawat kepada Nabi, dan mengucapkan,

Baca juga: Faedah Shalawat Nabi & Hukum Menyingkat Tulisan Shalawat

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ وَالْغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ وَالسَّلاَمَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لاَ تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلاَّ غَفَرْتَهُ وَلاَ هَمًّا إِلاَّ فَرَّجْتَهُ وَلاَ حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلاَّ قَضَيْتَهَا، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ

‘Tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah yang Maha Penyantun lagi Mahamulia. Mahasuci Allah, Rabb Arsy yang agung. Segala puji millik Allah Rabb alam semesta. Aku memohon kepada-Mu segala sesuatu yang bisa mendatangkan rahmat dan ampunan-Mu, keberuntungan dari setiap kebaikan (pahala), dan keselamatan dari segala dosa. Janganlah Engkau tinggalkan satu dosa pun untukku, kecuali telah Engkau ampuni; tidak pula rasa gundah, kecuali telah Engkau berikan jalan keluarnya; tidak pula suatu kebutuhan yang Engkau ridhai, kecuali telah Engkau penuhi, wahai Dzat Yang Maha Penyayang.’” (HR. at-Tirmidzi no. 479, Ibnu Majah no. 1384, dan yang lainnya)

Hadits ini tidak bisa dijadikan hujah. At-Tirmidzi sendiri mengatakan, setelah meriwayatkan hadits ini, “Hadits ini gharib[1]. Pada sanadnya terjadi pembicaraan. Faid bin Abdurrahman (seorang perawi) dalam hadits ini juga dinilai lemah (kredibilitasnya).”

Para ulama pun mencela perawi tersebut (Faid bin Abdurrahman). Imam al-Bukhari mengatakan, “Munkarul hadits (haditsnya mungkar).”

Imam Ahmad mengatakan, “Matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan).”

Adz-Dzahabi mengatakan, “Tarakuhu (para ulama meninggalkannya).”

Adapun Ibnu Hajar, beliau mengatakan, “Matrukun, ittahamuhu (haditsnya ditinggalkan, para ulama menuduhnya sebagai pendusta).”

Atas dasar itu, Syaikh al-Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini dhaifun jiddan (lemah sekali).

Berdasarkan kelemahan derajat hadits itulah sebagian ulama meniadakan adanya shalat hajat, yakni yang dilakukan dengan cara semacam itu. Wallahu a’lam.

Baca juga: Syaikh al-Albani, Pakar Ilmu Hadits Abad Ini

Dewan Fatwa Saudi Arabia atau al-Lajnah ad-Daimah menyebutkan,

“Adapun yang disebut sebagai ‘shalat hajat’, telah disebutkan sebuah hadits yang dhaif dan mungkar—sebatas pengetahuan kami. Ia tidak bisa dijadikan hujah dan tidak bisa dijadikan landasan dalam beramal.” (ditandatangani oleh Ketua: Abdul Aziz bin Baz, Wakil: Abdurrazzaq Afifi, Anggota: Abdullah bin Qu’ud dan al-Ghudayyan, 1/161)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan, “Shalat hajat tidak ada dalilnya yang sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Akan tetapi, diriwayatkan bahwa apabila Nabi shallallahu alaihi wa sallam menghadapi suatu masalah yang menyulitkannya, beliau akan bersegera melaksanakan shalat. Sebab, Allah berfirman,

وَٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلۡخَٰشِعِينَ

‘Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.’” (al-Baqarah: 45) (Fatawa Nurun ala ad-Darb)

Demikian juga hadits,

كَانَ النَّبِيُ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى

“Apabila Nabi shallallahu alaihi wa sallam menghadapi suatu masalah yang menyulitkan beliau, beliau akan mengerjakan shalat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikh al-Albani mengatakan, “Hasan.”)

Perhatian

Dalam buku-buku mazhab terdahulu juga dibahas mengenai shalat hajat dengan tata cara pelaksanaan yang bermacam-macam, terutama jumlah rakaatnya. Akan tetapi, semuanya tidak didasari oleh hadits-hadits yang sahih.

Wallahu a’lam.


Catatan Kaki

[1] Dalam beberapa cetakan Sunan at-Tirmidzi disebutkan, “Hasan gharib.” Namun, Ahmad Syakir menyalahkan penyebutan “hasan” tersebut karena pada semua manuskrip lama tidak terdapat kata tersebut, kecuali hanya satu manuskrip.

hajatshalatshalat hajatshalat tobatTaubat