Dari Asma’ bintu Yazid, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ ذَبَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ بِالْغَيْبَةِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُعْتِقَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa membela kehormatan saudaranya bukan di hadapannya, maka pasti Allah akan membebaskannya dari neraka.” (Sahih, HR. Ahmad, Ibnu Abid Dunya, ath-Thabarani, dan yang lain. Lihat Shahih at-Targhib no. 2847)
Masa Kecil
Orangnya sangat berwibawa, tetapi begitu dekat dengan orang lain. Kecakapannya dalam berbicara membuat orang tak bosan bermajelis dengannya. Posturnya tinggi, gagah, bertopikan kopiah, dadanya bidang. Warna kulitnya putih kemerahan, layaknya orang-orang Eropa. Jenggot putih menghiasi penampilannya, apalagi saat dipoles dengan semir merah kecokelatan, semakin menambah ketampanannya. Langkah kakinya lebar, selaras dengan tubuhnya yang besar. Tak mudah seseorang mengimbanginya, walau ia telah berusia senja.
Dialah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani bin Nuh Najati, berkuniah dengan Abu Abdurrahman. Al-Albani adalah nisbah pada negeri asalnya, Albania.
Beliau dilahirkan di kota Ashqadar, ibu kota Albania pada waktu itu, pada 1333 H atau 1914 M. Beliau tinggal di kota tersebut selama kurang lebih sembilan tahun. Ayah beliau adalah seorang ulama di negeri tersebut, ahli fikih Hanafi, yang dahulu belajar ilmu syar’i di Istanbul.
Hijrah ke Damaskus
Saat komunis menguasai daerah tersebut di bawah kepemimpinan Ahmet Zogu, sang ayah mengajak keluarganya untuk berhijrah, demi keselamatan agama mereka. Hal itu saat sang pemimipin mulai menerapkan pola hidup ala Barat, serta menebarkan kerusakan moral dan pemahaman yang sesat. Bahkan, dia berangsur-angsur mengebiri syariat Islam, sampai pada tingkatan mengganti lafaz azan dengan bahasa Albania.
Baca juga:
Damaskus, ibu kota Syria yang masa dahulu masuk wilayah Syam, menjadi tujuan ayahnya. Daerah ini menjadi pilihan ayahnya karena dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebut-nyebut keutamaan negeri Syam.
Al-Albani kecil mulai tumbuh besar. Dia memulai lembaran barunya bersama keluarga di negeri keduanya. Ayahnya memasukkannya di madrasah al-Is’af al-Khairiyah al-Ibtidaiyah—setingkat sekolah dasar—di Damaskus, lalu ayahnya memindahkannya ke madrasah lain. Di situlah ia menyelesaikan pendidikan tingkat dasarnya.
Ayahnya tidak memasukkannya ke sekolah tingkat lanjutan. Sebab, beliau memandang bahwa sekolah akademik tidak memberikan manfaat yang besar selain sekadar seorang anak belajar membaca dan menulis. Namun, bukan berarti ayahnya berhenti mendidiknya. Bahkan, hal itu demi program pendidikan pribadi yang lebih terarah.
Baca juga:
Ayahnya pun membuatkan untuknya kurikulum yang lebih fokus. Melalui kurikulum tersebut, beliau belajar Al-Qur’an dan tajwidnya, ilmu sharaf, dan fikih melalui mazhab Hanafi karena ayahnya termasuk ulama mazhab tersebut. Selain belajar kepada ayah sendiri, tak luput pula beliau belajar kepada beberapa syaikh dan ulama teman-teman ayahnya.
Kecerdasan & Hobi
Kecerdasan begitu tampak dalam proses belajarnya. Semasa ibtidaiyah, tak jarang gurunya menjadikannya sasaran terakhir sebuah pertanyaan saat murid-murid yang lain tidak mampu menjawab.
Membaca adalah hobi yang sangat digandrunginya sejak masa kecil. Waktu-waktu luang tidak beliau biarkan berlalu tanpa membaca. Sampai suatu saat beliau berkata mengenang masa kecilnya, “Di awal usiaku, aku baca sesuatu yang dapat dibaca, dan yang tak dapat dibaca.”
Dua modal pokok ini, kecerdasan dan hobi membaca, terus menyertainya hingga akhir hayatnya.
Proses belajar terus dijalaninya. Seiring dengan usianya yang semakin dewasa, tak lupa ayahnya membekalinya keahlian dalam hal pekerjaan untuk menjadi modal maisyah (penghidupan)nya kelak. Tukang kayu, itulah profesi awalnya.
Namun, berjalan sekian waktu, pekerjaan tersebut tidak begitu menjanjikan baginya. Akhirnya, ayahnya menawarinya untuk mengikuti profesi sang ayah: menjadi tukang reparasi jam. Ilmu sang ayah dalam profesi ini dia warisi hingga akhirnya beliau sangat mahir dalam keahlian ini. Beliau lantas membuka sendiri toko untuk reparasi jam. Julukan tukang jam atau as-sa’ati pun tersematkan pada beliau saat itu.