Apakah yang disebut khalwat hanyalah ketika seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita dalam sebuah rumah, jauh dari pandangan manusia? Ataukah khalwat adalah di mana saja seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita, walaupun di hadapan pandangan manusia (yakni orang-orang bisa melihat mereka dan apa yang mereka lakukan)?
Jawab:
Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’[1] memfatwakan, “Khalwat yang diharamkan secara syar’i tidak hanya sebatas seorang lelaki bersendiri dengan seorang wanita ajnabiyah (bukan mahram) di dalam rumah, jauh dari pandangan mata manusia. Khalwat mencakup bersendirinya lelaki dengan wanita di suatu tempat, dalam keadaan si wanita berbicara perlahan dengan si lelaki dan si lelaki pun berbicara dengan berbisik-bisik, dan di antara keduanya berlangsung percakapan. Walaupun orang-orang bisa melihat keduanya, namun mereka tidak mendengar percakapan yang tengah berlangsung, sama saja apakah hal itu terjadi di tempat yang terbuka, di dalam mobil, di teras rumah, atau di tempat lainnya. Khalwat dilarang karena menjadi sarana dan perantara yang mengantarkan kepada zina.
Wa billahi at-taufiq. Wa shallallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.” (Fatwa no. 7584, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lilBuhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’, 17/57)
PEREMPUAN MENOLONG LELAKI
Ketika berjalan di sebuah jalanan, seorang muslimah melihat seorang lelaki yang terlempar di tengah jalan karena kecelakaan dan membutuhkan pertolongan pertama sebelum datang mobil ambulance. Di antara yang hadir di tempat kejadian, tidak ada yang mengetahui cara memberikan pertolongan pertama kepada si korban selain si muslimah. Apakah dibolehkan baginya memberikan pertolongan pertama kepada si korban, ataukah dia berdosa apabila ia melakukannya karena harus menyentuh tubuh si korban?
Jawab:
Apabila keadaannya benar-benar seperti yang dinyatakan, si muslimah tidaklah berdosa memberikan pertolongan kepada lelaki korban kecelakaan tersebut. Sebab, apa yang dilakukannya termasuk ihsan/berbuat baik kepada sesama. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orangorang yang berbuat baik.” (at-Taubah: 91)
Wa billahi at-taufiq. (Fatwa no. 10424, Fatawa al-Lajnah, 17/73)
PAKAIAN WANITA HARUS HITAM?
Apakah wanita harus mengenakan pakaian berwarna hitam saat keluar rumah atau bisa memakai warna-warna lain selama bukan warna-warna yang menyolok?
Jawab:
Memakai hijab/pakaian berwarna hitam bagi wanita tidaklah diharuskan. Mereka boleh memakai warna-warna lain yang memang warna khusus bagi wanita, dengan ketentuan tidak menarik perhatian karena keindahannya dan tidak pula menimbulkan godaan. (Fatwa no. 5363)
Al-Lajnah juga memberikan jawaban terhadap pertanyaan senada, “Pakaian keluar wanita muslimah tidaklah khusus warna hitam. Dia boleh memakai pakaian warna apa saja, dengan syarat menutup aurat, tidak tasyabbuh (menyerupai) dengan lelaki, tidak ketat hingga menggambarkan bentuk tubuhnya, dan tidak pula tipis menerawang hingga tampak bagian tubuhnya dari balik pakaian, ditambah lagi tidak menimbulkan fitnah (godaan syahwat).” (Fatwa no. 5089, 17/108)
WEWANGIAN UNTUK HILANGKAN BAU BADAN
Dalam hadits yang mulia disebutkan larangan bagi wanita memakai wangi-wangian dan harum-haruman yang semerbak (saat keluar rumah), khususnya (disebutkan dalam hadits) saat keluar menuju ke masjid. Apakah dibolehkan wanita memakai wangi-wangian untuk mengurangi aroma tidak sedap dari tubuhnya yang tidak bisa hilang dengan sekedar memakai sabun?
Jawab:
Hukum asalnya, wanita tidak boleh memakai minyak wangi yang menebarkan aroma semerbak ketika hendak keluar dari rumahnya. Sama saja, apakah keluarnya menuju ke masjid atau selain ke masjid. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ ثُمَّ خَرَجَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوْا رِيْحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ وَكُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ
“Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian, kemudian keluar (dari rumahnya) dan melewati suatu kaum (lelaki) agar mereka mencium wanginya, maka wanita tersebut adalah pezina, dan seluruh mata (yang memandang) itu adalah mata yang berzina.” (HR. Ahmad [4/394], an-Nasa’i, dan al-Hakim dari Abu Musa radhiallahu ‘anhu)
Selain itu, sepanjang yang kami ketahui, tidak ada bau pada tubuh yang tidak bisa dihilangkan dengan sabun sehingga harus memakai wangi-wangian setelah membasuh tubuh. Di sisi lain, wanita tidaklah dituntut untuk pergi ke masjid, justru shalatnya di rumahnya lebih baik baginya daripada shalatnya di masjid.” (Fatwa no. 2036, 17/124—125)
PARFUM, CAT KUKU, & KUKU PANJANG
Apakah hal-hal berikut ini diharamkan oleh Islam: aroma wewangian, parfum, kuteks, dan memanjangkan kuku?
Jawab:
Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka memakai wewangian. Bahkan, minyak wangi termasuk sesuatu yang beliau cintai. Beliau sendiri mendorong umatnya memakai wangi-wangian saat keluar shalat Jum’at. Jadi, memakai minyak wangi adalah perkara yang disenangi bagi semuanya (lelaki dan wanita). Hanya saja, tidak sepantasnya wanita memakai minyak wangi yang aromanya semerbak, nyata tercium ketika dia keluar ke masjid atau ke pasar, karena adanya larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua, wanita boleh memakai cat kuku, namun meninggalkannya lebih utama. Ia wajib menghilangkannya ketika hendak berwudhu dan mandi janabah/mandi haid karena cat kuku tersebut menghalangi tersampaikannya air ke kulit.
Ketiga, memanjangkan kuku tidak dibolehkan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan memotong kuku dan menetapkan bagi kaum muslimin waktunya tidak boleh lebih dari 40 malam untuk memotong kuku, menggunting kumis, mencabut rambut ketiak, dan mencukur rambut kemaluan.” (Fatwa no. 3377, 17/126)
PISAH RUMAH DENGAN SUAMI
Saya seorang perempuan berusia 60 tahun dengan sembilan anak. Lima tahun lalu, terjadi masalah antara saya dan suami saya hingga saya keluar dari tempat tinggal saya. Salah seorang anak saya menyewa rumah lain untuk tempat tinggal saya. Saya pun tinggal di rumah tersebut bersama anak-anak saya. Suami saya lalu menikah lagi dengan perempuan lain dan memiliki beberapa anak darinya. Saya tidak meminta dia menjatuhkan talak kepada saya. Dia pun tidak berusaha membuat saya kembali ke rumahnya. Apakah saya berdosa apabila hidup seperti itu, jauh dari rumah suami tanpa ada talak darinya? Apakah aku berdosa apabila keluar untuk umrah tanpa izinnya? Atau dosa apakah yang saya tanggung?
Jawab:
Apabila Anda yang salah, Anda berdosa dan teranggap melakukan nusyuz terhadap suami Anda. Hendaknya Anda bertobat dan meminta keridhaan suami Anda. Apabila suami Anda yang salah, Anda tidak berdosa.
Wabillahi at-taufiq wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam. (Fatawa al-Lajnah 19/391, pertanyaan ke-5 dari fatwa no. 18767)
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil Ketua: Abdul Aziz alu asy-Syaikh
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Shalih al-Fauzan, Bakr bin Abdillah Abu Zaid
[1] 1 Saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati beliau.