Apa keutamaan bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bolehkah kita menyingkat ucapan shalawat tersebut dalam penulisan, misalnya kita tulis Muhammad SAW atau dengan tulisan arab صلعم, singkatan dari ?صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab:
“Mengucapkan shalawat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan perkara yang disyariatkan.
Di dalamnya terdapat faedah yang banyak. Di antaranya menjalankan perintah Allah subhanahu wa ta’ala, menyepakati Allah subhanahu wa ta’ala dan para malaikat-Nya yang juga bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (al-Ahzab: 56)
Faedah lainnya adalah melipatgandakan pahala orang yang bershalawat tersebut, adanya harapan doanya terkabul, dan bershalawat merupakan sebab diperolehnya berkah dan langgengnya kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana bershalawat menjadi sebab seorang hamba beroleh hidayah dan hidup hatinya. Semakin banyak seseorang bershalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengingat beliau, akan semakin kental pula kecintaan kepada beliau di dalam hati. Sehingga tidak tersisa di hatinya penentangan terhadap sesuatu pun dari perintahnya dan tidak pula keraguan terhadap apa yang beliau sampaikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah memberikan anjuran untuk mengucapkan shalawat atas beliau dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah adhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
“Siapa yang bershalawat untukku satu kali maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali.”
Dari hadits Abu Hurairah adhiallahu ‘anhu juga, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِيْ عِيْدًا، وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُمَا كُنْتُمْ
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan[1] dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai id[2]. Bershalawatlah untukku karena shalawat kalian sampai kepadaku di mana pun kalian berada.”[3]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pula bersabda:
رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ علَيَّ
“Terhinalah seorang yang aku (namaku) disebut di sisinya namun ia tidak mau bershalawat untukku.”[4]
Bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disyariatkan dalam tasyahhud shalat, dalam khutbah, saat berdoa serta beristighfar. Demikian pula setelah adzan, ketika keluar serta masuk masjid, ketika mendengar nama beliau disebut, dan sebagainya.
Perkaranya lebih ditekankan ketika menulis nama beliau dalam kitab, karya tulis, risalah, makalah, atau yang semisalnya berdasarkan dalil yang telah lewat. Ucapan shalawat ini disyariatkan untuk ditulis secara lengkap/sempurna dalam rangka menjalankan perintah Allah subhanahu wa ta’ala kepada kita dan agar pembaca mengingat untuk bershalawat ketika melewati tulisan shalawat tersebut.
Tidak sepantasnya lafadz shalawat tersebut ditulis dengan singkatan misalnya ص atau صلعم ataupun singkatan-singkatan yang serupa dengannya, yang terkadang digunakan oleh sebagian penulis dan penyusun. Hal ini jelas menyelisihi perintah Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:
صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“…bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”
Dan juga dengan menyingkat tulisan shalawat tidak akan sempurna maksudnya serta tidak diperoleh keutamaan sebagaimana bila menuliskannya secara sempurna. Terkadang pembaca tidak perhatian dengan singkatan tersebut atau tidak paham maksudnya.
Menyingkat lafadz shalawat ini dibenci oleh para ulama dan mereka memberikan peringatan akan hal ini.
Ibnu Shalah rahimahullah dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits yang lebih dikenal dengan Muqaddimah Ibnish Shalah mengatakan, “(Seorang yang belajar hadits ataupun ahlul hadits) hendaknya memerhatikan penulisan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila melewatinya. Janganlah ia bosan menulisnya secara lengkap ketika berulang menyebut Rasulullah.”
Ibnu Shalah juga berkata, “Hendaklah ia menjauhi dua kekurangan dalam penyebutan shalawat tersebut:
Pertama, ia menuliskan lafadz shalawat dengan kurang, hanya meringkasnya dalam dua huruf atau semisalnya.
Kedua, ia menuliskannya dengan makna yang kurang, misalnya ia tidak menuliskan وَسَلَّمَ.”
Al-’Allamah As-Sakhawi rahimahullah dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi, menyatakan, “Jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan, dengan engkau menyingkatnya menjadi dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang jahil dari kalangan ajam (non Arab) secara umum dan penuntut ilmu yang awam. Mereka singkat lafadz shalawat dengan ص, صم, atau[5]صلعم. Karena penulisannya kurang, berarti pahalanya pun kurang, berbeda dengan orang yang menuliskannya secara lengkap.
As-Suyuthi rahimahullah berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, “Dibenci menyingkat tulisan shalawat di sini dan di setiap tempat yang disyariatkan padanya shalawat, sebagaimana disebutkan dalam Syarah Muslim dan selainnya, berdalil dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
As-Suyuthi juga mengatakan, “Dibenci menyingkat shalawat dan salam dalam penulisan, baik dengan satu atau dua huruf seperti menulisnya dengan صلعم, bahkan semestinya ditulis secara lengkap.”
Inilah wasiat saya kepada setiap muslim dan pembaca juga penulis, agar mereka mencari yang utama/afdhal, mencari yang di dalamnya ada tambahan pahala dan ganjaran, serta menjauhi perkara yang dapat membatalkan atau menguranginya.”
(Diringkas dari fatwa Asy-Syaikh Ibn Baz rahimahullah yang dimuat dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 2/396-399)
[1] Dengan tidak dikerjakan shalat sunnah di dalamnya, demikian pula Al-Qur`an tidak dibaca di dalamnya. (–pent.)
[2] Tempat kumpul-kumpul. –pent
[3] Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Abi Dawud. (–pent.)
[4] HR. At-Tirmidzi, kata Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, “Hadits hasan gharib.” (–pent.)
[5] Dalam bahasa kita sering disingkat dengan SAW. (–pent.)