Hanya kepada Allah Kita Berserah Diri

Kaum muslimin rahimakumullah, terjadinya suatu musibah, bencana, dan wabah; adalah takdir Allah subhanahu wa ta’ala yang harus kita imani.

Tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan segala sesuatu kecuali pasti ada hikmahnya, baik manusia mengetahuinya ataupun belum/tidak mengetahuinya. Dengan iman inilah, seorang hamba Allah akan ridha, sabar, dan benar-benar menyerahkan dan menggantungkan segala sesuatu hanya kepada Allah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ وَمَن يُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ يَهۡدِ قَلۡبَهُۥۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٌ

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah, Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (at-Taghabun: 11)

Seorang tabiin, Alqamah bin Qais rahimahullah, menafsirkan ayat di atas,

هُوَ الرَّجُلُ تُصِيبُهُ الْمُصِيبَةُ فَيَعْلَمُ أَنَّهَا مِنْ عِنْدِ اللهِ فَيَرْضَى وَيُسْلِمُ

“Yang dimaksud ayat ini adalah seseorang yang ketika ditimpa musibah, ia mengimani bahwa semua itu adalah ketetapan Allah sehingga ia pun ridha (atas takdir-Nya) dan memasrahkan (segala sesuatu hanya kepada-Nya).” (Tafsir Ibnu Katsir 28/123)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَجِدُ عَبْدٌ حَلاَوَةَ الْإِيْمَانِ حَتَّى يَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ، وَمَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ.

“Seorang hamba tidak akan bisa merasakan manisnya iman, sampai dia mengilmui bahwa segala sesuatu yang telah ditakdirkan (Allah) menimpanya, tidak akan meleset. Demikian pula dia meyakini bahwa segala sesuatu yang tidak ditakdirkan untuknya, pasti tidak akan menimpanya.” (Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Takhrij Kitab as-Sunnah no. 247)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٞ  ٢٢ لِّكَيۡلَا تَأۡسَوۡاْ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ وَلَا تَفۡرَحُواْ بِمَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٍ فَخُورٍ  ٢٣

Tiada suatu musibah pun yang terjadi di muka bumi dan (tidak pula) menimpa pada dirimu sendiri, kecuali telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan terlalu bersedih dan putus asa terhadap apa yang luput dari kamu, demikian pula supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang Allah limpahkan kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (al-Hadid: 22—23)

Sekadar Mengingatkan Kembali: Untuk Apa Kita Diciptakan?

Saudaraku kaum muslimin, bukankah tujuan kita hidup di dunia ini adalah untuk beribadah hanya kepada Allah dan mentauhidkannya?

Tidak ingatkah kita bahwa semua shalat kita, setiap ibadah dan amal yang kita lakukan, bahkan seluruh hidup dan mati kita; hanya kita persembahkan untuk Allah semata, Rabb semesta alam, tanpa ada sekutu bagi-Nya?

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ  ١٦٢ لَا شَرِيكَ لَهُۥۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرۡتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ  ١٦٣

Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, seluruh hidup dan matiku; hanyalah kupersembahkan untuk Allah semata, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (al-An’am: 162—163)

Ya, benar. Seluruh ibadah kita hanya ditujukan kepada Sang Pencipta, tidak kepada selain-Nya. Segala sesuatu yang Allah cintai dan ridhai, baik ucapan maupun perbuatan, baik yang zahir (tampak) maupun yang batin (tidak tampak); hanya kita persembahkan untuk Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.

Shalat kita, puasa, zakat, infak dan sedekah dari sebagian harta kita, zikir, berbakti kepada orang tua, berdoa, mendidik anak dan keluarga, berdakwah, bersyukur, bekerja mencari nafkah untuk keluarga, membaca Al-Qur’an, menuntut ilmu agama, menjaga lisan, menundukkan pandangan, berbuat baik kepada tetangga, bersabar, dll.; seluruhnya harus kita niatkan ikhlas untuk Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.

Demikian pula niat-niat kita, rasa harap dan takut kita, cinta, tawakal, ridha, berserah diri, dll.; juga harus kita persembahkan kepada Allah semata, tiada sekutu baginya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ  

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mentauhidkan dan beribadah hanya kepada-Ku.(adz-Dzariyat: 56)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ  

“Wahai segenap manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (al-Baqarah: 21)

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Mari kita cermati nasihat berikut. Setelah membawakan dua ayat di atas, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah menjelaskan,

فَأَنْتَ مَا خُلِقْتَ لِتَأْكُلَ وَتَشْرَبَ، مَا خُلِقْتَ لِبِنَاءِ الْقُصُورِ أَوْ غَرْسِ الْأَشْجَارِ أَوْ شَقِّ الْأَنْهَارِ أَوِ النِّكَاحِ وَنَحْوِ ذَلِكَ، لاَ. فَأَنْتَ مَخْلُوقٌ لِتَعْبُدَ رَبَّكَ وَأَنْتَ مَخْلُوقٌ لِتَسْتَقِيمَ عَلَى طَاعَتِهِ وَتُتَابِعَ رَسُولَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ. فَعَلَيْكَ أَنْ تَسْتَقِيمَ عَلَى طَاعَتِهِ سُبْحَانَهُ وَأَنْ تَتَّبِعَ رَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَنْتَ مَخْلُوقٌ لِهَذَا. وَكُلُّ مَا فِي الْأَرْضِ خُلِقَ لَكَ لِتَسْتَعِينَ بِهِ عَلَى طَاعَةِ اللهِ وَتَرْكِ مَعَاصِيهِ، وَلَمْ يُخْلَقْ لَكَ لِتَسْتَعِينَ بِهَ عَلَى شَهَوَاتِكَ

“Engkau tidaklah diciptakan hanya untuk makan dan minum, tidak pula hanya untuk berlomba-lomba membangun istana dan bangunan yang megah. Demikian pula engkau tidak diciptakan hanya untuk bercocok tanam dan bertani. Engkau tidak diciptakan hanya untuk mengarungi lautan, atau sekadar untuk menikah dan berkeluarga, atau yang semisalnya.”

Bukan hanya untuk hal-hal tersebut engkau diciptakan.

Engkau adalah (salah satu) makhluk dan ciptaan Allah. Engkau diciptakan untuk beribadah hanya kepada Rabbmu. Engkau adalah makhluk yang diperintahkan untuk senantiasa istiqamah di atas ketaatan kepada-Nya dan mengikuti (ajaran) Rasul-Nya.

Untuk tujuan itulah engkau diciptakan.

Semua yang ada di muka bumi diciptakan untukmu agar bisa membantumu dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan maksiat terhadap-Nya. Allah tidaklah menciptakan itu semua hanya sekadar untuk memenuhi syahwatmu.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz jilid 7 hlm. 95)

Setiap yang Bernyawa, Pasti Akan Mati

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Tidak ada yang mengetahui, dengan sebab apa kita akan mati? Apakah disebabkan oleh virus Corona ini? Atau penyakit dan sebab yang lain?

Kita tidak tahu. Namun, sesuatu yang kita ketahui secara pasti adalah suatu saat nanti kita semua akan meninggalkan dunia ini. Kita akan dikuburkan di dalam tanah seorang diri, lalu berpindah menuju alam barzakh. Kelak pada hari kiamat, kita pasti akan dibangkitkan, untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita di dunia ini.

Kepastian bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati, setidaknya diulang dalam tiga tempat di dalam Al-Qura’n. Marilah kita mencermati ayat-ayat berikut ini.

كُلُّ نَفۡسٍ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوۡنَ أُجُورَكُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۖ فَمَن زُحۡزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدۡخِلَ ٱلۡجَنَّةَ فَقَدۡ فَازَۗ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ  

“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Kemudian, pada hari kiamatlah pahala amalanmu akan disempurnakan (balasannya). Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Ali Imran: 185)

Pada ayat di atas, Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya bahwa kehidupan kita di dunia saat ini hanyalah sementara. Kehidupan di dunia adalah kesenangan yang menipu. Kehidupan yang hakiki dan kekal abadi hanyalah kehidupan setelah kematian.

Seluruh amalan yang kita perbuat di dunia pasti akan mendapatkan balasannya. Kesudahan akhir seorang hamba hanya ada dua dan tidak ada yang ketiga, yakni al-Jannah (surga) atau an-Naar (neraka). Seorang hamba yang bertauhid dan tidak menyekutukan Allah dengan apa pun, niscaya akhir tempat kembalinya adalah surga.

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

كُلُّ نَفۡسٍ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ وَنَبۡلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلۡخَيۡرِ فِتۡنَةًۖ وَإِلَيۡنَا تُرۡجَعُونَ  

“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Sungguh, kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan, sebagai ujian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali.” (al-Anbiya: 15)

Pada ayat di atas Allah menegaskan kepada para hamba bahwa pada kehidupan dunia, Allah pasti akan menguji dengan dua jenis ujian: dalam bentuk yang disukai hamba dan yang tidak.

Seorang hamba diuji dengan sakit, wabah, bencana, kesempitan harta, dll.; maukah dia bersabar?

Demikian pula Allah menguji hamba-Nya dengan kesehatan, keamanan, harta, dll.; mampukah dia bersyukur?

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

كُلُّ نَفۡسٍ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۖ ثُمَّ إِلَيۡنَا تُرۡجَعُونَ  

“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Kemudian hanya kepada Kamilah kalian akan kembali.” (al-‘Ankabut: 57)

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Sungguh, seyogianya kita jangan terlalu berlebihan merisaukan tentang penyebab kematian kita nanti, apakah kita akan meninggal dengan sebab virus Corona ini ataukah penyakit atau sebab yang lain.

Justru yang harus kita risaukan dan renungi adalah:

  • Bekal apa yang sudah kita siapkan untuk menghadapi kematian?

  • Amal saleh dan ibadah apa yang sudah kita persiapkan untuk menghadap Allah?

  • Masih adakah perbuatan dosa dan maksiat serta kezaliman yang terus kita lakukan dan kita belum bertobat sebelum ajal menjemput?

  • Akankah akhir hayat kita ditutup dengan husnulkhatimah?

Ya, benar. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus kita jawab dalam benak kita masing-masing. Jawaban dari pertanyaan itulah yang harus kita persiapkan dengan sungguh-sungguh, sebelum Allah subhanahu wa ta’ala mewafatkan kita.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahkan kepada kita dan seluruh kaum muslimin husnulkhatimah.

Menjadi Hamba Allah yang Cerdas

Sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma menceritakan bahwa ketika beliau bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ada seorang dari kalangan Anshar yang bertanya kepada beliau,

يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ؟

قَالَ: أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا.

قَالَ: فَأَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ؟

قَالَ: أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا، وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ الْأَكْيَاسُ

“Wahai Rasulullah, siapakah mukmin yang paling afdal?”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Mukmin yang paling afdal adalah yang terbaik akhlaknya.”

Kemudian orang itu kembali bertanya,”Siapakah mukmin yang cerdas?”

Beliau menjawab, “Mukmin yang paling cerdas adalah yang paling banyak mengingat maut dan yang terbaik dalam bersungguh-sungguh mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah kematian. Orang-orang yang seperti inilah yang disebut cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah no. 3454)

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Apabila Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan ajal seseorang telah tiba, ia tidak akan bisa dimajukan ataupun dimundurkan walau hanya sekejap. Jika memang ajal seseorang ditetapkan akan meninggal pada masa-masa wabah virus Corona ini, pasti dia akan mati walau bukan dengan sebab penyakit tersebut. Sebaliknya, apabila ajal seorang hamba belum tiba, dia akan terus hidup sampai waktu yang Allah subhanahu wa ta’ala tentukan.

Allah subhanahu wa ta’ala befirman,

لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌۚ إِذَا جَآءَ أَجَلُهُمۡ فَلَا يَسۡتَ‍ٔۡخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسۡتَقۡدِمُونَ  

“Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila ajal mereka telah tiba, mereka tidak mampu menundanya walau hanya sesaat. (Dan apabila ajal mereka belum tiba) mereka tidak akan mampu (pula) memajukannya.” (Yunus: 49)

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Sungguh, kematian tidak mengenal umur. Ajal tidak memandang tua ataupun muda, sehat ataupun sakit. Betapa banyak pemuda yang segar bugar, tiba-tiba meninggal dunia? Alangkah jamak, seorang yang sehat walafiat, sekonyong-konyong wafat?

Sadarkah kita, bahwa bulan Ramadhan tahun lalu, kita masih berbuka bersama si A dan shalat tarawih bersama si B; namun pada Ramadhan tahun ini, mereka sudah tiada?

Tidakkah kita mengambil ibrah dan pelajaran? Kapan engkau berhenti dari maksiat dan segera bertobat?

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Sungguh, tidak ada seorang pun dari kita yang mengetahui kapan dan di mana ajalnya akan menjemput. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا تَدۡرِي نَفۡسُۢ بِأَيِّ أَرۡضٍ تَمُوتُۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرُۢ  

Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Meliputi.” (Luqman: 34)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا كَانَ أَجَلُ أَحَدِكُمْ بِأَرْضٍ أَوْثَبَتْهُ إِلَيْهَا الْحَاجَةُ، فَإِذَا بَلَغَ أَقْصَى أَثَرِهِ قَبَضَهُ اللهُ سُبْحَانَهُ، فَتَقُولُ الْأَرْضُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ : رَبِّ هَذَا مَا اسْتَوْدَعْتَنِي

“Apabila ajal salah seorang di antara kalian sudah ditentukan akan terjadi pada suatu tempat di muka bumi, ia akan memiliki suatu kebutuhan (keperluan) untuk pergi ke tempat tersebut. Jika perjalanannya telah sampai di tempat yang telah ditentukan, Allah akan mewafatkannya. Kelak pada hari kiamat, bumi akan berkata, Wahai Rabbku, inilah yang Engkau titipkan kepadaku.” (HR. Ibnu Majah no. 4263. Hadits ini dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 3457)

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Marilah kita jadikan masa-masa seperti sekarang ini sebagai momen untuk kita insaf dan banyak mengingat kematian, kemudian bertobat, memperbaiki diri, dan memperbanyak amal saleh.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala selalu melindungi kita dari segala macam penyakit. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memberi kita hidayah dan petunjuk-Nya.

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Ismail Arif

berserah diricoronacovid 19kematiannasihatwabah