Apabila shalat ‘id jatuh pada hari Jumat, apakah kita harus tetap shalat jumat atau hanya shalat zuhur saja?
Masalah ini diperselisihkan oleh ulama.
Pendapat pertama, shalat jumat tetap wajib atas seluruh kaum muslimin, baik yang melakukan shalat ‘id maupun yang tidak. Dalilnya adalah keumuman makna dalil-dalil yang mewajibkan shalat jumat. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Malik. Pendapat ini lemah dan terbantah oleh hadits-hadits yang akan kami sebutkan.
Pendapat kedua, shalat jumat tetap wajib bagi kaum muslimin di perkotaan dan ada keringanan bagi penduduk perdesaan untuk tidak menghadirinya, tetapi wajib shalat zuhur di rumah masingmasing. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i rahimahullah yang berdalil dengan atsar ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Atsar tersebut diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid maula Ibnu Azhar yang meriwayatkan bahwa dirinya pernah menghadiri shalat ‘id bersama Khalifah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, kemudian Khalifah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, kemudian Khalifah ‘Ali radhiyallahu ‘anhu. Kata Abu ‘Ubaid meriwayatkan dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu,,
ثُمَّ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ، ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِي فَلْيَنْتَظِرْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ.
Kemudian aku menghadiri shalat ‘id bersama ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, yang ketika itu jatuh pada hari Jumat. Beliau shalat sebelum berkhutbah. Kemudian beliau berkhutbah dan berkata (dalam khutbahnya), “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya ini adalah hari yang terkumpul padanya dua ‘id bagi kalian. Maka dari itu, barang siapa dari penduduk ‘Awali1 yang suka menanti shalat Jumat, silakan menanti. Barang siapa ingin pulang, sesungguhnya aku telah mengizinkannya.” (HR. al-Bukhari)
Pendapat ini juga lemah meskipun lebih baik daripada pendapat pertama, dan terbantah oleh hadits-hadits yang akan disebutkan.
Pendapat ketiga, wajib bagi imam (penguasa) kaum muslimin untuk menyelenggarakan shalat jumat di hari itu, agar dihadiri oleh kaum muslimin yang ingin melaksanakannya. Adapun keumuman kaum muslimin yang telah hadir shalat ‘id, ada keringanan untuk tidak hadir shalat Jumat, tetapi wajib shalat zuhur di rumah masing-masing. Ini adalah riwayat yang paling masyhur dari al-Imam Ahmad rahimahullah yang menjadi mazhab fuqaha Hanbali. Inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz, dan Ibnu ‘Utsaimin. Dalilnya adalah:
1. Hadits an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu,, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ يَقْرَأُ فِيْ الْعِيدَيْنِ وَفِيْ الْجُمُعَةِ بِ{سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى} وَ{هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ } وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِيْ يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِيْ الصَّلاَتَيْنِ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada dua shalat ‘Id (Idul Fitri dan ‘Idul Adha) dan shalat Jumat membaca surat al-A’la dan surat al-Ghasyiah. Jika ‘Id dan jumat berkumpul di hari yang sama, beliau membaca dua surat tersebut pada shalat ‘id dan shalat Jumat.” (HR. Muslim)
Hadits ini secara gamblang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selaku imam kaum muslimin tetap mengadakan shalat Jumat bersama kaum muslimin yang suka menghadirinya.
2. Beberapa sabda Rasulullah n: Hadits Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu bahwasanya telah berkumpul dua hari raya (‘id dan jumat) pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliau shalat ‘id dan memberi rukhshah (keringanan) untuk tidak menghadiri shalat jumat, beliau bersabda,
مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ.
“Barang siapa ingin shalat Jumat, shalatlah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Hadits ini dinyatakan sahih oleh ‘Ali bin al-Madini, al-Hakim, adz-Dzahabi, dan an-Nawawi rahimahumullah. Namun, pada sanadnya ada Iyas bin Abi Ramlah asy-Syami yang majhul ‘ain (tidak dikenal). Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ.
“Sungguh, telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Oleh karena itu, barang siapa hendak mencukupkan diri dengan shalat ‘id, hal itu telah mewakili shalat jumat. Adapun kami, akan tetap mengadakan shalat jumat.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Dalam sanadnya ada Baqiyyah bin al-Walid, pelaku tadlis taswiyah dari Syu’bah dan selainnya, sedangkan dalam sanad ini dia meriwayatkannya dari Syu’bah tanpa mempertegas bahwa dirinya telah mendengarnya dari syaikhnya dan bahwa syaikhnya telah mendengarnya dari syaikhnya. Oleh karena itu, sanad ini dianggap dha’if (lemah). Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
فَصَلَّى اجْتَمَعَ عِيْدَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ بِالنَّاسِ ثُمَّ قَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ فَلْيَأْتِهَا وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتَخَلَّفَ فَلْيَتَخَلَّفْ.
Telah berkumpul dua hari raya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliau shalat ‘id bersama kaum muslimin. Lalu beliau bersabda, “Barang siapa ingin hadir shalat jumat, hendaklah dia hadir. Barang siapa tidak ingin, silakan tidak hadir.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam sanadnya ada Jabbarah bin al- Mughallis dan Mandal bin ‘Ali, keduanya dha’if (lemah). Alhasil, sanad hadits-hadits ini memiliki kelemahan, tetapi kelemahannya ringan dan bisa saling menguatkan. Bahkan, hadits yang pertama telah dinyatakan sahih oleh sebagian ahli hadits. Oleh karena itu, al-Imam al- Albani menyatakan bahwa hadits-hadits ini sahih. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selaku imam kaum muslimin tetap mengadakan shalat Jumat bersama kaum muslimin yang suka menghadirinya, tetapi memberi keringanan bagi mereka yang tidak ingin hadir lantaran mencukupkan dengan shalat ‘id yang telah dihadirinya. Pendapat inilah yang terkuat seandainya tidak datang atsar ‘Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhuma dan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang akan kami sebutkan pada keterangan pendapat keempat.
Pendapat keempat, terdapat keringanan bagi imam dan seluruh kaum muslimin yang telah melaksanakan shalat ‘id untuk tidak menyelenggarakan shalat Jumat, karena telah terwakili dengan shalat ‘id. Namun, wajib shalat zuhur di rumah masing-masing. Ini adalah salah satu riwayat dari al-Imam Ahmad rahimahullah. Pendapat ini yang dipilih oleh ash-Shan’ani, al-Albani, dan guru besar kami, Muqbil al-Wadi’i rahimahumullah. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah juga menguatkan pendapat ini. Dalilnya adalah atsar ‘Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhuma dan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dengan sanad sahih dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, ia berkata,
صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِيْ يَوْمِ عِيْدٍ فِيْ يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ، ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا، فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا، وَكَانَ ابْنُ لَهُ، عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ، فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ فَقَالَ: أَصَابَ السُّنَّةَ .
Ibnu Zubair shalat ‘Id bersama kami pada hari ‘id yang bertepatan dengan hari Jumat di awal siang, kemudian kami berangkat untuk menghadiri shalat jumat. Tetapi, beliau tidak keluar untuk shalat Jumat bersama kami. Akhirnya kami shalat zuhur sendiri-sendiri. Ketika itu Ibnu ‘Abbas sedang berada di Tha’if. Tatkala dia pulang, kami menceritakan peristiwa itu kepadanya. Ibnu ‘Abbas lantas berkata, “Ibnu Zubair telah menepati sunnah.”
Hadits ini dinyatakan hasan atau sahih menurut syarat Muslim oleh an- Nawawi rahimahullah pada al-Majmu’ (4/359). Al-Albani menyatakan sahih pada Shahih Sunan Abi Dawud (no. 1071) dan al-Wadi’i menyatakan sahih menurut syarat Muslim pada al-Jami’ ash-Shahih (2/168).
Atsar Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhuma menunjukkan secara jelas bahwa tidak wajib bagi imam dan seluruh kaum muslimin untuk mengadakan shalat Jumat setelah melaksanakan shalat ‘id. Sebab, Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhuma adalah amirul mukminin (penguasa tertinggi) pada masa itu, dan para sahabat yang masih hidup di masa itu tidak ada yang mengingkarinya. Justru, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma membenarkannya dengan meriwayatkan hal itu sebagai sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini semakin kuat ditinjau dari segi makna mengingat shalat Jumat secara makna adalah ‘id (hari raya) ditinjau dari dua sisi:
1. Tujuan berkumpul untuk perayaan ‘id (hari raya) Islam telah tercapai dengan shalat ‘id yang dianggap telah mewakili shalat Jumat.
2. Syariat ini biasa menyatukan dua ibadah yang jenisnya sama dalam satu amalan yang mewakili yang lainnya. Contoh lainnya: • Disatukannya wudhu dalam mandi sehingga mandi sudah mewakili wudhu. • Disatukannya dua mandi dalam satu mandi sehingga satu kali mandi sudah mewakili mandi lainnya. Inilah pendapat yang terbaik dalam masalah ini. Namun, tentu saja mengadakan shalat Jumat lebih utama, berdasarkan hadits-hadits di atas yang menunjukkan bahwa Nabi n selaku imam kaum muslimin tetap mengadakan shalat Jumat bersama kaum muslimin yang suka menghadirinya, tetapi memberi keringanan bagi mereka yang tidak ingin hadir lantaran mencukupkan dengan shalat ‘id yang telah dihadirinya.
Pendapat kelima, gugur kewajiban shalat Jumat dan shalat zuhur sekaligus bagi imam dan seluruh kaum muslimin yang telah menghadiri shalat ‘id. Ini pendapat yang dipilih oleh asy- Syaukani. Pendapat ini jelas keliru. Sebab, telah terjadi ijma’ (kesepakatan) di antara ulama bahwa jika shalat Jumat luput, wajib shalat zuhur. Ijma’ tersebut bersama ucapan ‘Atha’—pada atsar Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhuma di atas—“Akhirnya kami shalat zuhur sendiri-sendiri” sangat jelas menunjukkan gugurnya pendapat ini. Berdasarkan inilah, al-Imam ash- Shan’ani rahimahullah dan para ulama lainnya menegaskan diwajibkannya shalat zuhur bagi mereka yang tidak melaksanakan shalat Jumat di hari itu. Adapun mengenai tidak keluarnya Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhuma ke masjid untuk shalat Jumat, hal itu tidak berarti ia tidak shalat zuhur. Sebab, bisa dipastikan bahwa ia shalat zuhur di rumahnya, seperti halnya kaum muslimin lainnya. Alhasil, pendapat terbaik adalah pendapat keempat yang telah berhasil memadukan seluruh dalil yang ada dan tsabit (tetap/sahih) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah yang dapat kami jabarkan sebagai jawaban masalah ini, wal ’ilmu ‘indallah.
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini