Sebagaimana yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, syarat sah transaksi jual beli mata uang adalah taqabudh yadan bi yadin.
Mungkinkah hal tersebut dilakukan melalui media internet secara online? Yang jelas, transaksi serah terimanya tidak dilakukan langsung dari tangan ke tangan dalam satu majelis.
Mungkinkah untuk dikatakan syarat ini bisa terwakili dengan perpindahan uang dari rekening pembeli ke rekening penjual dan uang dari rekening penjual ke rekening pembeli dalam sebuah majelis online?
Permasalahan ini dikaji dalam pembahasan berikut.
Apakah Semata-mata Perpindahan Uang dari Rekening Penjual ke Rekening Pembeli Terhitung Taqabudh?
Sebagian orang menganggap, masuknya uang ke rekening penjual yang disusul dengan masuknya uang penjual ke rekening pembeli telah dikategorikan transaksi tunai taqabudh, meskipun tidak terjadi tatap muka dan serah terima dari tangan ke tangan. Transaksi seperti ini, jika yang diperjualbelikan bukan berbentuk mata uang, emas, dan perak, transfer uang hanya terjadi dari pihak pembeli ke si penjual, tentu saja sudah dinyatakan taqabudh.
Adapun pembahasan kita adalah transaksi jual beli mata uang yang hukumnya sama dengan jual beli emas dan perak. Di dalam beberapa hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyaratkan dengan taqabudh yadan bi yadin.
فَإِذَا اخْتَلَفَ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika berbeda jenisnya, perjualbelikanlah sesuai kehendak kalian asalkan dari tangan ke tangan.” (HR. Muslim, dari Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu)
Makna literal (makna asli) lafadz hadits menunjukkan bahwa transaksinya harus dilakukan dengan bertemu langsung dan pembayaran serta serah terimanya harus dari tangan ke tangan. Tidak cukup hanya dengan transfer dari rekening ke rekening, kecuali jika transfernya dilakukan dengan cara bertemu dalam satu majelis atau ruangan.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Serah terima dalam satu majelis merupakan syarat sah transaksi ini (tukar-menukar emas, perak, dan mata uang -pen.).”
Dari beberapa informasi yang pernah kita dapati, terkadang uang yang telah ditransfer oleh si pembeli ke rekening jasa penjual mata uang (broker) tidak langsung diproses kecuali selang beberapa waktu. Jual beli mata uang seperti ini cacat transaksinya, karena taqabudh (serah terima) yang tertunda, sedangkan masing-masing pihak berada di tempat yang berbeda. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالْوَرِقِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ
“Perak ditukar dengan emas adalah riba kecuali secara langsung diserahkan dan langsung diterima.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Umar radhiallahu ‘anhu)
Artinya, serah-terima antara kedua pihak tidak boleh tertunda kecuali jika masih dalam satu majelis dan belum berpisah.
Kesimpulan dari uraian singkat ini adalah:
- Jual beli uang sistem online adalah transaksi yang cacat.
- Transfer uang dari kedua belah pihak yang melakukan jual beli uang ke rekening masing-masing tidak termasuk taqabudh yadan bi yadin, kecuali jika kedua pihak sama-sama hadir dalam satu majelis dan uang telah masuk ke rekening masing-masing sebelum mereka berdua berpisah dari majelis.
Wallahu a’lam.
Trading Forex Dibangun di Atas Akad Transaksi yang Cacat
Secara sekilas, kita bisa menilai cacatnya transaksi yang dilakukan dalam proses jual beli mata uang dengan sistem ini. Sebab, forex adalah usaha seseorang untuk mendapatkan keuntungan dengan cara jual beli mata uang secara online, yang transaksinya tidak bisa ditempuh dengan cara taqabudh yadan bi yadin dalam satu majelis.
Dari sisi lain, dalam praktik trading forex terdapat unsur الْقَرْضُ جَرَّ مَنْفَعَةً (jasa pinjaman yang ada imbalannya). Sebuah kaidah yang telah disepakati oleh para ulama,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ حَرَامٌ أَوْ رِبًا
“Setiap jasa pinjaman yang memiliki syarat imbalan adalah haram atau riba.”
Disadari atau tidak, modal yang dipakai oleh pemain forex untuk membeli mata uang asing adalah modal broker. Adapun modal si pemain hanya sebagai jaminan saja. Hak pakai modal broker ini diperoleh dengan cara membagi prosentase keuntungan dalam jumlah tertentu dengan pemilik modal (broker).
Perlu diketahui, saat melakukan trading forex, seseorang tidak bisa hanya membeli 1 USD saja, tetapi sistem pembeliannya dalam bentuk satuan lot (1 lot = 100.000 unit). Ketika seseorang membeli dollar Amerika sebesar 1 lot, itu artinya dia membeli 100.000 USD. Normalnya, jika harga dollar Amerika saat ini Rp14.000,00, dibutuhkan uang sejumlah 1,4 miliar rupiah untuk membeli 1 lot dollar Amerika.
Sudah barang tentu, sedikit orang yang mempunyai modal sebanyak itu untuk menjadi pemain forex. Dari sisi inilah para broker forex menawarkan jasanya. Broker inilah yang memfasilitasi para pemodal kecil untuk melakukan transaksi forex. Seseorang bisa mengikuti trading forex walaupun hanya bermodal Rp100.000,00; yang sebenarnya modal itu hanyalah sebagai jaminan. Adapun yang dia pakai untuk transaksi adalah modal milik broker. Pada kondisi seperti inilah terjadinya jasa pinjaman yang ada imbalannya.
Di antara faktor yang menunjukkan bahwa forex ditempuh dengan transaksi yang tidak syar’i adalah pada proses pendaftaran awalnya. Untuk bisa memulai trading forex, calon pemain forex menyetorkan modalnya dengan cara mentransfer rupiah ke rekening broker. Kemudian dia mengkonfirmasikan ke broker. Selanjutnya, broker memprosesnya dengan memasukkan sejumlah dollar (USD) sesuai dengan jumlah setoran ke akun trading calon pemain. Jadi, dana yang ada di dalam akun trading itu berbentuk dollar Amerika. Setelah itu, dia baru bisa melakukan transaksi forex.
Pada proses pendaftaran ini, tampak adanya transaksi tukar menukar uang dari rupiah ke dollar tanpa serah terima tunai dari tangan ke tangan dalam satu majelis. Terdapat pula riba nasi’ah dalam proses tersebut, karena masuknya dollar ke akun tertunda setelah adanya konfirmasi dan proses.
Dari sisi lain, spekulasi dan transaksi berisiko tinggi pada trading forex lebih besar dibandingkan dengan spekulasi yang terjadi pada jual beli mata uang sistem manual. Tidak sepantasnya seorang muslim berkecimpung dalam urusan seperti ini, sebagaimana nasihat asy-Syaikh al-Albani rahimahullah.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Abdullah Nahar