Larangan Memberontak kepada Pemerintah Muslim

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan berkata:  “Termasuk pokok akidah Ahlus Sunnah adalah diharamkannya memberontak kepada pemimpin kaum muslimin1 meskipun mereka melakukan perbuatan dosa –yang tidak sampai kepada kekufuran–, karena Nabi r memerintahkan untuk mentaati mereka selain dalam perkara maksiat dan selama belum tampak pada mereka kekufuran yang nyata. Berbeda halnya dengan kelompok sempalan Mu’tazilah yang mewajibkan untuk memberontak kepada para pemimpin apabila mereka melakukan suatu dosa besar walaupun belum sampai pada tingkat kekufuran, bahkan mereka menganggap hal tersebut termasuk bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Padahal sebenarnya perbuatan mereka inilah yang merupakan kemungkaran terbesar, karena berdampak kerugian dan bahaya yang besar berupa kekacauan (di dalam negeri), rusaknya perkara (urusan kaum muslimin), terpecah belahnya persatuan dan berkuasanya musuh (terhadap kaum muslimin).” (Min Ushul ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 21-22)

Catatan Kaki:

1 Al-Imam Ath-Thahawi t berkata: “Kita (Ahlus Sunnah) berpandangan tidak boleh memberontak kepada para imam dan pemimpin kita (pemimpin di sini adalah orang Islam), walaupun mereka berbuat jahat. Kita tidak boleh mendoakan kejelekan atas mereka dan tidak boleh menarik tangan dari sumpah setia untuk menaati mereka. Bahkan kita memandang taat kepada mereka merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah secara wajib, selama mereka tidak memerintahkan kepada maksiat. Dan kita mendoakan mereka dengan kebaikan dan memintakan perlindungan untuk mereka dari segala yang tidak baik.” (Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah)