Ketika iman bersemayam di hati, menetap, tumbuh, dan mewarnai setiap perilaku seorang hamba, ujian pun sejenak menghampiri. Keimanan yang menyembul di dada akan diuji, seberapa kokoh keimanan itu ada. Demikianlah ketentuan yang ada. Setiap manusia akan mendapatkan ujian sesuai dengan kadar kemampuan dirinya. Allah Subhanahu wata’ala telah menggambarkan perihal ujian keimanan itu melalui firman-Nya,
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ {} وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sedangkan mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orangorang yang dusta.” (al-Ankabut: 2—3)
Ingatkah kisah ashhabul-ukhdud? Saat para pembesar Najran (saat itu masuk wilayah Yaman) membuat parit. Di dalam parit tersebut diletakkan kayu bakar yang kemudian disulut api. Parit itu pun diliputi bara api. Para pembesar Najran itu duduk-duduk di sekitar parit dengan jilatan api yang menyala-nyala. Mereka berada di sekitar parit guna menyaksikan penyiksaan terhadap orangorang yang beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji. Allah Subhanahu wata’ala abadikan kisah ini dalam firman-Nya,
قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ {}النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ {} إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ {} وَهُمْ عَلَىٰ مَا يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ {} وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَن يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“Binasa dan terlaknatlah orangorang yang membuat parit yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedangkan mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.” (al-Buruj: 4—8)
Mereka dilahapkan ke dalam parit dengan api yang menyala tiada lain karena iman yang ada pada mereka. Mereka diuji dengan hal tersebut. Hal ini juga menimpa para sahabat saat awal kemunculan Islam di Makkah. Keluarga Yasir radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang mulia pun tak luput menghadapi kesadisan kaum musyrikin Quraisy. Penyiksaan demi penyiksaan terus mendera keluarga Yasir radhiyallahu ‘anhu. Selain diri Yasir radhiyallahu ‘anhu, istri pun tak luput mendapat siksaan.
Begitu pula putranya, Ammar radhiyallahu ‘anhu. Ayah, ibu, dan anak mendapat perlakuan tidak manusiawi. Mengapa mereka mengalami hal yang demikian? Tak lain karena iman telah singgah di lubuk hati mereka nun dalam. Walau tubuh mereka disakiti, jasad mereka dicabik tiada henti, namun iman yang teguh kukuh memaksanya bertahan dalam keislaman. Keluarga Yasir tetap menyimpan itu di dalamnya. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Sekali lagi, karena iman mereka disiksa, disakiti, dan dizalimi tiada henti. Bilal bin Rabah z juga mengalami hal serupa. Sahabat yang mulia ini mengalami penyiksaan fisik nan teramat sadis.
Walau demikian, imannya terus menyuarakan, “Ahad… ahad….” sebuah ucapan yang menerangkan secara nyata bahwa al-Khaliqur ar-Rahman, Allah ksebagai satu-satu-Nya yang diibadahi. Tubuhnya kerap menerima deraan yang menyedihkan karena iman yang ada padanya. Ia disiksa, disakiti. Namun, semua itu tak memadamkan cahaya di hatinya. Tentu saja, masih banyak para sahabat lainnya yang pada awal kemunculan Islam mengalami tindak kekerasan. Semakin tekanan menguat, iman yang ada pada mereka pun semakin kokoh. Mereka tergolong as-sabiqunal awwalun. Mereka itulah yang telah mendapat pujian dari AllahSubhanahu wata’ala. Hal ini tergambar dalam firman-Nya,
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 100)
أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلِكُم ۖ مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian cobaan sebagaimana halnya orang-orang yang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (al-Baqarah: 214)
Cobaan demi cobaan datang silih berganti. Beragam ujian pun menimpa para nabi dan rasul. Orang-orang yang shiddiq (jujur keimanannya), para syuhada (yang mati syahid), hamba-Nya yang saleh, dan yang beriman, mereka bersabar. Demikianlah apa yang digambarkan dalam hadits sahih berikut,
وَ
أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟ قَالَ: الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling keras dikenai cobaan?” Jawab beliau, “Para nabi, lantas yang semisal, dan yang semisal. Seseorang akan tertimpa cobaan sesuai dengan keadaan agamanya. Jika agamanya kuat, cobaan itu pun keras. Jika agamanya masih lemah, ia akan diuji sesuai dengan agamanya. Tiadalah cobaan itu senantiasa menimpa seorang hamba sampai ia meninggalkan si hamba berjalan di muka bumi tanpa ada dosa padanya.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2398, hadits dari Mush’ab bin Sa’d, dari ayahnya)
Para ulama yang teguh memegang syariat pun tak lepas dari cobaan. Sebut saja al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah. Beliau adalah seorang ulama yang diliputi kesabaran luar biasa kala cobaan menimpanya. Selain itu, al-Imam al- Barbahari rahimahullah juga termasuk salah seorang ulama yang diuji dengan sikap keras masyarakat pada waktu itu. Beliau dikucilkan di tengah masyarakat. Beliau hidup menyendiri hingga akhir hayat. Demikianlah cobaan hidup yang
bisa menimpa siapa pun dan di mana pun. Hanya orang-orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wata’ala dan diberi kesabaran yang akan berhasil melewati masa-masa ujian tersebut. Mereka akan tetap kokoh di atas agama Allah Subhanahu wata’ala dan teguh memegang as-Sunnah. Berbeda halnya dengan orang-orang yang munafik. Ketika ujian menerpa, mereka akan lari meninggalkan prinsip agamanya. Ia berbalik kembali kepada kekafiran. Wal ‘iyadzubillah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi (tanpa keyakinan). Jika ia memperoleh kebaikan, tetaplah ia dalam keadaan itu. Jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (al-Hajj: 11)
Melalui cobaan itulah akan terbukti keimanan seseorang. Jika ia seorang hamba yang jujur dan benar keimanannya, ia akan tetap memegang teguh agamanya. Sebaliknya, jika ia lemah, maka prinsip agamanya akan dicampakkan dan ia berpaling untuk meraup kepentingan dunia. Ia menjadi manusia yang terfitnah oleh keadaan dunia. Rasulullah n telah mengingatkan hal itu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
“Bersegeralah kalian melakukan berbagai macam amal sebelum tiba beragam fitnah yang seperti potonganpotongan malam yang gelap gulita. Yang seseorang pada pagi hari dia beriman, sore harinya ia menjadi kafir. Pada sore hari beriman dan pagi hari ia menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan barang keduniawian.” (HR. at- Tirmidzi no. 2195 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani rahimahullah)
Para ulama di masa sekarang pun tak lepas dari beragam ujian. Mereka dicerca, dihujat, dan diolok-olok. Kalangan hizbiyyun mengumbar tuduhan keji terhadap para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sebut saja misalnya para tokoh FIS di Aljazair, mereka menyebut asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan as-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin sebagai antek-antek Amerika. Hujatan yang mereka lontarkan terkait Krisis Teluk yang saat itu sedang menghangat. Demikian pula Muhammad Surur Zainal Abidin, para pengikutnya lebih dikenal dengan sebutan sururiyyun menghujat para ulama di Saudi Arabia.
Muhammad Surur Zainal Abidin yang lebih senang hidup di negara kafir Inggris ini menyebut para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai budak Amerika. Cercaan Muhammad Surur Zainal Abidin ini dilatarbelakangi fatwa para ulama yang memperkenankan meminta bantuan (pasukan) asing dalam upaya menghadapi agresi Sadam Husain kala itu. Tak ketinggalan Abdurrahman Abdul Khaliq, ia menyebut para ulama Ahlus Sunnah dengan pelecehan, “… hanya mengerti qusyur (kulit) Islam yang setingkat masa lalu….”
Para ulama dituduh tidak memahami perkembangan kekinian. Sebuah tuduhan gegabah dalam menyikapi para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menyatakan bahwa hal itu (mencaci maki ulama) dalam rangka memisahkan umat ini dari ulamanya. Apabila berhasil, akan memudahkan bagi mereka (kalangan ahlul bid’ah) untuk menyusupkan berbagai kerancuan pemikiran (syubhat) dan kesesatan yang menyesatkan umat dan memecah belah kekuatan umat. Kata beliau, “Tak seorang pun yang melanggar kehormatan para ulama yang istiqamah di atas jalan yang haq, kecuali satu di antara tiga keadaan berikut ini.
Pertama, bisa jadi ia seorang munafik yang telah diketahui kemunafikannya.
Kedua, ia seorang fasik yang membenci ulama karena mereka (para ulama) telah mencegahnya dari kefasikan/ tindakan fasik.
Ketiga, dia seorang hizbi, sesat, membenci ulama karena ulama tersebut tidak mencocoki selera hizbiyah mereka dan pemikiran-pemikirannya yang menyimpang.” (al-Ajwibah al-Mufidah, hlm. 51)1 Ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah Subhanahu wata’ala. Ini sebagaimana
disebutkan Allah Subhanahu wata’ala dalam firman-Nya,
ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah adalah ulama.” (Fathir: 28)
Begitulah para ulama. Amalnya senantiasa dilandasi karena Allah Subhanahu wata’ala. Niat dan perilakunya senantisa bersendikan pada apa yang telah dituntunkan oleh Allah Subhanahu wata’aladan Rasul-Nya. Bagaimana tidak? Para ulamalah yang mewarisi ilmu yang dibawa oleh para nabi. Para ulamalah yang menjabarkan ilmu tersebut dengan perbuatan. Nabi n bersabda,
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Sesungguhnya mereka mewariskan ilmu. Barang siapa mampu mendapatkannya, (berarti) ia telah mendapatkan keberuntungan yang banyak.” (Shahih al-Jami’ ash-Shaghir, no. 6297)
Karena itu, sungguh tercela orang yang meremehkan dan mencela seorang alim atau para ulama yang takut kepada Allah Subhanahu wata’ala, ulama yang istiqamah di atas al-haq. Berikut sejumlah kisah dari kehidupan asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t. Seorang ulama yang masyhur lantaran keluasan ilmu dan kedermawanannya. Selain tentu saja sifat-sifat terpuji lainnya yang tak bisa disebut satu demi satu dalam lembaran ini.
Suatu hari, asy-Syaikh Muhammad Hamid, ketua perhimpunan Ashabul Yaman di Eritria tiba di Riyadh. Malam itu begitu dingin, padahal dirinya tak memiliki bekal untuk bisa menyewa kamar hotel. Saat itu timbul pikiran untuk bertamu ke rumah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Malam itu waktu menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Awalnya, beliau ragu untuk bertamu ke rumah asy-Syaikh Abdul Aziz. Namun, akhirnya diputuskan tetap berkunjung. Kata asy-Syaikh Muhammad Hamid, “Saya tiba di rumah beliau yang sederhana dan bertemu dengan seseorang yang sedang tidur di pintu pagar. Setelah terbangun, ia bukakan pintu untuk saya.
Saya memberi salam kepadanya secara pelan agar tak ada orang lain mendengar lantaran malam yang masih larut. Tak berapa lama, saya melihat asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berjalan menuruni tangga seraya membawa semangkuk makanan. Beliau ucapkan salam dan memberikan makanan itu kepada saya.” Beliau katakan, “Saya mendengar suara Anda kemudian saya mengambil makanan itu karena saya berpikir Anda belum makan malam ini.” “Demi Allah, saya tidak bisa tidur malam itu. Saya menangis karena telah mendapat perlakuan yang sedemikian baik.” (Mawaqif Madhiyah fi Hayati al- Imam Abdul Aziz bin Baz, hlm. 223, lihat Mereka Adalah Teroris, al-Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh, hlm. 312)
Cermatilah betapa kehidupan beliau yang demikian sederhana. Tak tampak gemerlap kemewahan padanya. Betapa beliau begitu peduli, begitu peka terhadap sesama. Sungguh, contoh akhlak terpuji dan menjadikan hati terasa sejuk karenanya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ب
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang memiliki ilmu beberapa derajat.” (al-Mujadilah: 11)
Abu ad-Darda radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ
“Sungguh, keutamaan seorang alim (yang berilmu) dibandingkan dengan seorang abid (ahli ibadah) seperti keutamaan bulan di malam purnama dibandingkan atas segenap bintang kemintang.” (Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash- Shagir no. 6297)
Hanya orang-orang yang rendahan yang akan merendahkan para ulama yang senantiasa berpegang pada perintah Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin