Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Adalah Orang-orang Pilihan

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahkan ajaran Islam, hanya segelintir orang yang mau mengikuti ajakan beliau. Sebagian besar manusia justru menentang beliau dengan permusuhan yang demikian keras. Orang-orang yang mau menerima ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itulah para sahabat. Mereka adalah umat yang memiliki keimanan yang paling tinggi kepada Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya.

Namun sayang, kini kaum muslimin banyak melupakan dan tidak mau berteladan kepada mereka. Padahal mereka adalah umat yang banyak mendapat pujian dari Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena memiliki banyak keutamaan yang tidak dimiliki oleh umat lainnya.

Di masa sekarang, sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadi sekelompok orang yang asing. Keberadaan mereka sebagai “perantara” agama yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat berikutnya telah dilupakan.

Ketika seseorang atau sekelompok orang mencoba memahami agama ini, sebagian besar tidak lagi menjadikan para sahabat sebagai rujukan. Tokoh-tokoh yang muncul belakangan atau pimpinan kelompoknya lebih mereka sukai untuk dijadikan sebagai teladan. Sementara itu, para sahabat sebagai orang-orang yang paling baik pemahamannya terhadap agama malah mereka jauhi.

Kalau ada sebagian muslimin yang teringat kepada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, biasanya mereka tidak lebih menjadikan kisah hidup para sahabat itu sebagai bahan cerita untuk anak-anak. Namun, bagaimana pemahaman dan pengamalan mereka terhadap agama ini, hanya sedikit kaum muslimin yang mau menggali dan mengikutinya.

Yang lebih ironis, ada orang-orang yang mengaku sebagai kaum muslimin, namun memiliki kebencian demikian besar kepada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berani melakukan celaan terhadap seorang atau sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam justru memuji mereka.

Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang memiliki banyak keutamaan. Mereka adalah generasi terbaik dari umat Islam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih dari itu, mereka adalah orang-orang yang telah diridhai oleh Allah ‘azza wa jalla.

Banyak di antara mereka yang saat masih hidup sudah mendapatkan kabar gembira akan dimasukkan ke dalam jannah (surga). Tidak ada keutamaan yang demikian tinggi seperti ini didapatkan oleh umat mana pun, lebih-lebih umat setelah mereka.

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu menggambarkan para sahabat Rasulullah radhiallahu ‘anhum dengan berkata,

إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِى قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ. ثُمَّ نَظَرَ فِى قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ. فَما رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ

“Sungguh, Allah melihat kepada hati hamba-hamba-Nya, maka Dia mendapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati hamba-Nya yang paling baik. Lalu Dia memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya membawa risalah-Nya.

Kemudian Allah melihat kepada hati hamba-hamba-Nya setelah hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Dia mendapati hati para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati hamba-Nya yang paling baik. Dia pun menjadikan mereka para pembantu Nabi-Nya, mereka berperang karena (membela) agamanya.

Oleh karena itu, apa yang dipandang kaum muslimin baik, maka di sisi Allah, hal itu adalah baik. Dan apa yang mereka pandang buruk, maka di sisi Allah, hal itu adalah buruk.” (asy-Syaikh al-Albani berkata bahwa hadits ini sahih secara mauquf, diriwayatkan oleh ath-Thayalisi, Ahmad, dan lain-lainnya dengan sanad yang hasan; dinyatakan sahih oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi)

Dengan gambaran di atas, kita mengetahui bahwa para sahabat adalah orang-orang istimewa yang memang sengaja Allah ‘azza wa jalla pilih untuk mendukung Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendakwahkan Islam.

Tidak hanya itu, mereka bahkan sering berperang membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agamanya. Tentu saja Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu tidak berkata berdasar hawa nafsunya atau disebabkan sifat ta’ashub (fanatisme) karena beliau sendiri adalah seorang sahabat. Akan tetapi, beliau menyatakan demikian karena bukti-bukti yang jelas dari ucapan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

 مُّحَمَّدٞ رَّسُولُ ٱللَّهِۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَهُمۡۖ تَرَىٰهُمۡ رُكَّعٗا سُجَّدٗا يَبۡتَغُونَ فَضۡلٗا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٗاۖ سِيمَاهُمۡ فِي وُجُوهِهِم مِّنۡ أَثَرِ ٱلسُّجُودِۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمۡ فِي ٱلتَّوۡرَىٰةِۚ وَمَثَلُهُمۡ فِي ٱلۡإِنجِيلِ كَزَرۡعٍ أَخۡرَجَ شَطۡ‍َٔهُۥ فَ‍َٔازَرَهُۥ فَٱسۡتَغۡلَظَ فَٱسۡتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِۦ يُعۡجِبُ ٱلزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ ٱلۡكُفَّارَۗ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ مِنۡهُم مَّغۡفِرَةٗ وَأَجۡرًا عَظِيمَۢا ٢٩

“Muhammad itu adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak bekas sujud pada wajah mereka (di antara tafsirnya adalah kekhusyukan dan tawadhu’, ed.).

Demikianlah sifatsifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati para penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (al-Fath: 29)

Kalimat  وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ (dan orang-orang yang bersamanya) dalam ayat di atas tentu yang langsung dipahami secara teksnya adalah para sahabat, walaupun tidak menutup kemungkinan masuknya selain sahabat. Sebab, kalimat ma’ahu juga bermakna bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam agamanya. Karena itu, Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya menyatakan bahwa ini adalah keutamaan umat Islam, khususnya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, 4/215)

Oleh karena itu, para ulama menyatakan bahwa ayat ini adalah dalil yang sangat kuat tentang keutamaan para sahabat, sekaligus haramnya mencerca dan menjatuhkan kedudukan mereka.

Al-Imam Malik rahimahullah berdalil dengan firman Allah ‘azza wa jalla, لِيَغِيظَ بِهِمُ ٱلۡكُفَّارَۗ  (Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir) bahwa orang-orang Syi’ah Rafidhah yang membenci para sahabat adalah kafir.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sekelompok ulama menyepakati ucapan al-Imam Malik rahimahullah tersebut.” (Lihat Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, 4/216)

Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla dengan tegas menyatakan bahwa keridhaan-Nya adalah untuk orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka. Hal ini bermakna perintah kepada seluruh kaum muslimin agar mengikuti para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menerapkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي تَحۡتَهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ١٠٠

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 100)

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Makna kalimat وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم (dan orang-orang yang mengikuti mereka) adalah orang-orang yang mengikuti generasi pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, yaitu orang-orang belakangan, baik dari kalangan para sahabat (yakni yang datang setelah Fathu Makkah), maupun yang setelah mereka sampai hari kiamat.” (Fathul Qadir, 2/398)

 

Allah ‘azza wa jalla Pisahkan Munafikin dari Para Sahabat

Di antara syubhat kaum Syi’ah dan kaum mutasyayyi’in (kaum yang terpengaruh syubhat Syi’ah) adalah ucapan, “Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak semuanya mukmin. Ada di antara mereka yang munafik atau fasik,” “Masalah iman itu kan masalah hati. Bisa jadi, pada lahirnya mereka seperti mukmin tetapi hatinya kafir,” atau ucapan, “Siapa tahu Abu Bakr dan Umar ternyata munafik.”

Ucapan-ucapan syubhat dan tasykik (membuat ragu) ini sering mereka lontarkan untuk meragukan kemuliaan dan keimanan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan akhirnya menjatuhkan kedudukan mereka.

Sesungguhnya, jika pertanyaan mereka (kaum Syi’ah) adalah, “Siapa yang tahu hati mereka?” jawabannya sangat jelas. Allah Yang Maha Mengetahui hati mereka. Dia berfirman,

وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ ١١

“Dan sungguh Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang beriman, dan sungguh Dia mengetahui orang-orang yang munafik.” (al-’Ankabut: 11)

Allah ‘azza wa jalla berjanji akan memberitahu ciri-ciri mereka secara detail. Bahkan, dalam beberapa kejadian, Allah ‘azza wa jalla telah memisahkan kaum munafikin dengan mukminin, yaitu para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

          مَّا كَانَ ٱللَّهُ لِيَذَرَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ عَلَىٰ مَآ أَنتُمۡ عَلَيۡهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ ٱلۡخَبِيثَ مِنَ ٱلطَّيِّبِۗ

“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kalian sekarang ini, hingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin)….” (Ali ‘Imran: 179)

Tentang ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “… Allah ‘azza wa jalla pasti akan memberi suatu cobaan yang akan menampakkan wali-wali-Nya dan mempermalukan musuh-musuh-Nya, dan akan diketahui siapa mukmin yang sabar dan siapa munafik yang jahat…” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/468)

Selain itu, Allah ‘azza wa jalla mengancam akan membongkar kedok orang-orang munafik, dalam ayat-Nya,

أَمۡ حَسِبَ ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ أَن لَّن يُخۡرِجَ ٱللَّهُ أَضۡغَٰنَهُمۡ ٢٩ وَلَوۡ نَشَآءُ لَأَرَيۡنَٰكَهُمۡ فَلَعَرَفۡتَهُم بِسِيمَٰهُمۡۚ وَلَتَعۡرِفَنَّهُمۡ فِي لَحۡنِ ٱلۡقَوۡلِۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ أَعۡمَٰلَكُمۡ ٣٠

“Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka? Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatanmu.” (Muhammad: 2930)

 

Para Sahabat Adalah Orang-orang yang Telah Lulus Ujian

Allah ‘azza wa jalla memiliki hikmah dalam takdir-Nya. Ketika menguji setiap orang yang mengaku beriman dengan berbagai ujian, akan terlihat siapa di antara mereka yang benar-benar beriman dan siapa yang berdusta (munafik).

الٓمٓ ١  أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ ٢ وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٣

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) berkata, ‘Kami telah beriman’, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sungguh Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-‘Ankabut: 13)

Ujian pertama yang dihadapi oleh orang-orang yang beriman dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah gangguan dan penyiksaan dari kaumnya di Makkah. Ada yang disiksa dengan api, diusir, dicela, dan dicaci-maki dengan berbagai tuduhan yang keji.

Dengan demikian, semua orang paham bahwa para sahabat yang masuk Islam di Makkah sebelum hijrah adalah orang-orang yang terbukti keimanannya dan terbebas dari tuduhan munafik. Sebab, tidak mungkin ada orang yang berpura-pura masuk Islam saat itu untuk mendapat caci-maki dan siksaan.

Ujian berikutnya adalah perintah hijrah, yaitu meninggalkan negeri, tanah tumpah darah, dan sanak saudara yang masih kafir untuk menaati perintah Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya. Maka dari itu, Allah ‘azza wa jalla katakan tentang mereka,

لِلۡفُقَرَآءِ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ ٱلَّذِينَ أُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِمۡ وَأَمۡوَٰلِهِمۡ يَبۡتَغُونَ فَضۡلٗا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٗا وَيَنصُرُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ ٨

“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (al-Hasyr: 8)

Dalam ayat ini, Allah ‘azza wa jalla memuji para Muhajirin dengan kalimat ash-Shadiqin (orang-orang yang jujur dan benar imannya).

Demikian pula orang-orang yang beriman di Madinah, mereka menyambut dan mempersiapkan tempat bagi para Muhajirin. Bahkan, mereka lebih mementingkan tamu-tamunya tersebut dibandingkan dengan diri dan keluarganya. Maka dari itu, Allah ‘azza wa jalla pun memuji para sahabat dari kalangan Anshar tersebut.

وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِيمَٰنَ مِن قَبۡلِهِمۡ يُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ إِلَيۡهِمۡ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمۡ حَاجَةٗ مِّمَّآ أُوتُواْ وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٩

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin). Mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 9)

Dalam ayat ini, Allah ‘azza wa jalla menjuluki kaum Anshar dengan kalimat al-Muflihun (orang-orang yang akan mendapatkan kemenangan dan kemuliaan).

Merekalah yang disebut as-Sabiqunal Awwalun, yaitu Muhajirin dan Anshar, sebagaimana disebutkan dalam surat at-Taubah ayat 100 di atas.

 

Jihad sebagai Tolok Ukur

Ketika kaum muslimin di Madinah mulai kuat dan bertambah banyak, muncullah orang-orang yang berpura-pura mengaku sebagai muslim, pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka melakukannya agar diri dan hartanya terlindungi. Mereka takut dibunuh dan dirampas hartanya sebagai pampasan perang.

Tentu saja, mereka paling tidak suka terhadap sesuatu yang akan mengorbankan diri dan hartanya. Karena itu, ketika turun perintah untuk berjihad, terlihat bahwa yang paling pertama menolak dan menghindarinya dengan alasan yang dibuat-buat adalah para munafik.

Dengan perintah jihad ini terpisahlah dengan jelas antara dua golongan, yaitu mereka yang lulus (mukmin) dan yang gagal (munafik).

          وَلَنَبۡلُوَنَّكُمۡ حَتَّىٰ نَعۡلَمَ ٱلۡمُجَٰهِدِينَ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَنَبۡلُوَاْ أَخۡبَارَكُمۡ ٣١

“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) keadaan kalian.” (Muhammad: 31)

Tentang yang lulus pada ujian ini, Allah ‘azza wa jalla katakan,

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَٰهَدُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱلَّذِينَ ءَاوَواْ وَّنَصَرُوٓاْ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ حَقّٗاۚ لَّهُم مَّغۡفِرَةٞ وَرِزۡقٞ كَرِيمٞ ٧٤

“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia.” (al-Anfal: 74)

 إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ لَمۡ يَرۡتَابُواْ وَجَٰهَدُواْ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ ١٥

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (al-Hujurat: 15)

Dalam ayat di atas, Allah ‘azza wa jalla kembali memuji mereka dan menggelari mereka sebagai ash-Shadiqun, yaitu orang-orang yang jujur dan benar keimanannya, bukan munafikin.

Adapun yang tidak jujur alias pendusta, berpura-pura masuk Islam, tetapi memendam kekafiran dan penentangan dalam hatinya, mereka telah gagal menghadapi ujian yang berat ini. Allah ‘azza wa jalla tampakkan kemunafikan mereka dalam beberapa peristiwa.

Setiap kali mereka berupaya untuk menghindari jihad dengan berbagai kedustaan dan sumpah palsu, Allah ‘azza wa jalla menurunkan ayat-Nya yang menceritakan alasan-alasan mereka itu. Allah ‘azza wa jalla katakan dalam ayat-ayat tersebut dengan kalimat, “Orang-orang munafik berkata…” atau kalimat, “Ia berkata dengan mulutnya yang tidak ada dalam hatinya…”

Maka dari itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya mengerti tentang siapa orang-orang munafikin. Bahkan, kaum muslimin pun mengetahuinya.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

وَلِيَعۡلَمَ ٱلَّذِينَ نَافَقُواْۚ وَقِيلَ لَهُمۡ تَعَالَوۡاْ قَٰتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أَوِ ٱدۡفَعُواْۖ قَالُواْ لَوۡ نَعۡلَمُ قِتَالٗا لَّٱتَّبَعۡنَٰكُمۡۗ هُمۡ لِلۡكُفۡرِ يَوۡمَئِذٍ أَقۡرَبُ مِنۡهُمۡ لِلۡإِيمَٰنِۚ يَقُولُونَ بِأَفۡوَٰهِهِم مَّا لَيۡسَ فِي قُلُوبِهِمۡۚ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا يَكۡتُمُونَ ١٦٧

Supaya diketahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan, “Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu).” Mereka berkata, “Sekiranya kami mengetahui peperangan, tentulah kami mengikutimu.” Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.” (Ali ‘Imran: 167)

أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ نَافَقُواْ يَقُولُونَ لِإِخۡوَٰنِهِمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ لَئِنۡ أُخۡرِجۡتُمۡ لَنَخۡرُجَنَّ مَعَكُمۡ وَلَا نُطِيعُ فِيكُمۡ أَحَدًا أَبَدٗا وَإِن قُوتِلۡتُمۡ لَنَنصُرَنَّكُمۡ وَٱللَّهُ يَشۡهَدُ إِنَّهُمۡ لَكَٰذِبُونَ ١١

“Apakah kalian tidak memerhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: “Sesungguhnya jika kalian diusir niscaya kami pun akan keluar bersama kalian; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kalian, dan jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian.” Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.” (al-Hasyr: 11)

          إِذۡ يَقُولُ ٱلۡمُنَٰفِقُونَ وَٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ غَرَّ هَٰٓؤُلَآءِ دِينُهُمۡۗ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٤٩

(Ingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata, “Mereka itu (orang-orang mukmin) ditipu oleh agamanya.” (Allah berfirman), “Barang siapa bertawakal kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (al-Anfal: 49)

          وَإِذۡ يَقُولُ ٱلۡمُنَٰفِقُونَ وَٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ مَّا وَعَدَنَا ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ إِلَّا غُرُورٗا ١٢

Allah berfirman, “Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya’.” (al-Ahzab: 12)

Selain dengan kalimat-kalimat tersebut di atas, Allah ‘azza wa jalla menjelaskan tentang mereka dengan kalimat yang semakna dan senada, seperti al-Mukhallafun, yakni orang-orang yang menghindar dari jihad, “yang tidak jujur,” atau “yang di hatinya ada penyakit” dan lainnya.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

 فَرِحَ ٱلۡمُخَلَّفُونَ بِمَقۡعَدِهِمۡ خِلَٰفَ رَسُولِ ٱللَّهِ وَكَرِهُوٓاْ أَن يُجَٰهِدُواْ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَقَالُواْ لَا تَنفِرُواْ فِي ٱلۡحَرِّۗ قُلۡ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرّٗاۚ لَّوۡ كَانُواْ يَفۡقَهُونَ ٨١

“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata, “Janganlah kalian berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Katakanlah, “Api jahannam itu lebih sangat panas(nya),” jika mereka mengetahui.” (at-Taubah: 81)

 سَيَقُولُ لَكَ ٱلۡمُخَلَّفُونَ مِنَ ٱلۡأَعۡرَابِ شَغَلَتۡنَآ أَمۡوَٰلُنَا وَأَهۡلُونَا فَٱسۡتَغۡفِرۡ لَنَاۚ يَقُولُونَ بِأَلۡسِنَتِهِم مَّا لَيۡسَ فِي قُلُوبِهِمۡۚ قُلۡ فَمَن يَمۡلِكُ لَكُم مِّنَ ٱللَّهِ شَيۡ‍ًٔا إِنۡ أَرَادَ بِكُمۡ ضَرًّا أَوۡ أَرَادَ بِكُمۡ نَفۡعَۢاۚ بَلۡ كَانَ ٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرَۢا ١١

Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan, “Harta dan keluarga kami telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami,” mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah, “Siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudaratan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu? Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Fath: 11)

 وَيَقُولُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَوۡلَا نُزِّلَتۡ سُورَةٞۖ فَإِذَآ أُنزِلَتۡ سُورَةٞ مُّحۡكَمَةٞ وَذُكِرَ فِيهَا ٱلۡقِتَالُ رَأَيۡتَ ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ يَنظُرُونَ إِلَيۡكَ نَظَرَ ٱلۡمَغۡشِيِّ عَلَيۡهِ مِنَ ٱلۡمَوۡتِۖ فَأَوۡلَىٰ لَهُمۡ ٢٠

“Dan orang-orang yang beriman berkata, ‘Mengapa tiada diturunkan suatu surat?’ Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka.” (Muhammad: 20)

Demikianlah, perintah jihad memisahkan orang-orang yang beriman dengan orang-orang munafik. Para sahabat adalah orang-orang yang telah terbukti keimanan mereka, sehingga sama sekali bukan kaum munafik. Dengan keimanan yang jujur itulah, Allah ‘azza wa jalla memberi kemuliaan yang demikian besar atas mereka.

Ditulis oleh al-Ustadz Muhammad Umar as-Sewed