Suatu hari, seorang lelaki buta mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kata lelaki buta itu, “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seorang penuntun guna pergi ke masjid.” Pernyataannya ini disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam demi memohon keringanan untuk tidak menghadiri shalat berjamaah di masjid.
Saat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun memberi keringanan kepada lelaki buta itu untuk shalat di rumahnya. Namun, saat lelaki buta itu berbalik, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya lalu bertanya, “Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat (azan)?” Jawab lelaki buta itu, “Ya, saya mendengarnya.” “Kalau begitu, penuhilah seruan tersebut!” kata beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR . Muslim, no. 255)
Kisah di atas memberi gambaran betapa menegakkan shalat berjamaah di masjid adalah kewajiban bagi seorang muslim. Menurut asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, kisah yang dikeluarkan oleh al-Imam Muslimrahimahullah dalam Shahih-nya, menunjukkan hukum wajib shalat berjamaah bagi penyandang kebutaan manakala tak memiliki uzur. Riwayat itu pun mengandung sisi pendalilan bahwa shalat berjamaah tersebut wajib ditunaikan di masjid.
Sebab, hadits tersebut tidak memaksudkan semata-mata shalat berjamaah, tetapi menekankan pula pelaksanaannya di masjid. Dalam riwayat lain yang semakna disebutkan dari Abdullah bin Amr bin Qais radhiyallahu ‘anhu, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Ummi Maktum Sang Muadzin, ia berucap,
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ الْمَدِينَةَ كَثِيرَةُ الْهَوَامِّ وَالسِّبَاعِ.فَقَالَ النَّبِيُّ أَتَسْمَعُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ : عَلَى الْفَلَاحِ، فَحَيَّ هَل
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya di kota Madinah banyak binatang berbisa dan binatang buas.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, “Kalau engkau mendengar seruan ‘hayya ‘ala ash-shalah, hayya alal falah’, segeralah penuhi seruan tersebut!” (HR . Abu Dawud no. 553)
Telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa shalat berjamaah adalah seutama-utama ibadah dan bentuk ketaatan yang termulia. Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukumnya, apakah shalat berjamaah ini sunnah, wajib, atau termasuk salah satu dari syarat sah shalat. Seperti dijelaskan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, ada tiga pendapat ulama dalam menghukumi shalat berjamaah ini, yaitu:
1. Ada yang berpendapat hukumnya sunnah. Seseorang yang menegakkan shalat berjamaah ini akan mendapat pahala dan yang meninggalkannya tiada berdosa.
2. Pendapat yang menetapkan hukumnya wajib. Seseorang berkewajiban menunaikan shalat berjamaah, apabila tak menunaikannya maka ia berdosa. Adapun shalatnya tetap sah (bila ditunaikan sendiri).
3. Sesungguhnya shalat berjamaah adalah salah satu syarat untuk keabsahan sebuah shalat. Bagi yang berpendapat demikian, shalatnya akan dinyatakan batal manakala tidak ditunaikan secara berjamaah. Shalatnya tidak diterima. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. (Pendapat pertama di atas adalah pendapat ulama kalangan mazhab Maliki, pendapat kedua adalah pendapat ulama mazhab Hanbali dan Zhahiri). Adapun yang diriwayatkan dari al-Imam Ahmad rahimahullah bahwa seseorang yang menunaikan shalat sendirian tanpa uzur syar’i (halangan yang bersifat syar’i), maka shalatnya tidak diterima, seperti halnya orang yang shalat tanpa berwudhu. Karena itu, shalat berjamaah itu hukumnya wajib.
Dari ketiga pendapat tersebut, asy- Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menilai bahwa yang rajih (kuat) adalah pendapat yang kedua, yaitu hukum shalat berjamaah adalah wajib. Siapa yang meninggalkannya, ia berdosa dan jika ditunaikan sendirian (tanpa berjamaah) shalatnya tetap diterima. Berjamaah bukanlah syarat sahnya shalat. Adapun dalil pendapat ini adalah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjamaah lebih utama dibanding shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.” (HR . al-Bukhari no. 645 dan Muslim no. 249)
Sisi pendalilan dari hadits ini, jika shalat sendirian tidak mengandung pahala, tentu tidak sah menyebutkan keutamaan (shalat berjamaah). Karena itu, seseorang yang meninggalkan shalat berjamaah berarti telah melakukan perbuatan dosa (meskipun shalatnya sah). (Syarhu Riyadhu ash-Shalihin, 2/1297—1298)
Allah Subhanahu wata’ala menetapkan syariat kepada hamba-hamba-Nya tidak bermaksud menjadikannya sebagai sesuatu yang menyusahkan, tidak sama sekali. Justru segenap ketentuan yang Allah Subhanahu wata’ala tetapkan akan memberi kebaikan bagi mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah: 185)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
طه () مَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ () إِلَّا تَذْكِرَةً لِّمَن يَخْشَىٰ
“Thaha, Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).” (Thaha: 1—3)
Termasuk syariat-Nya ialah ketentuan untuk menunaikan shalat secara berjamaah di masjid. Di antara hikmah yang bisa dipetik dari ketentuan shalat berjamaah ini, sebagaimana dijelaskan para ulama, di antaranya,
1. Jam’u al-kalimah (persatuan kaum muslimin).
Sungguh Islam datang dengan membawa rahmat dan kasih sayang. Islam datang untuk menyatukan segenap manusia di atas cahaya tauhid, di bawah kemilau cahaya as-Sunnah. Islam datang memupus perseteruan, meluruhkan perpecahan, dan menyatukan hati. Sebab, sesungguhnya berukhuwah (bersaudara) didasari cahaya nubuwah adalah nikmat. Adapun perselisihan dan perseteruan adalah sebuah perbuatan nan buruk. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah kamu akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu bersaudara dan berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imran: 103)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
الْخِلَافُ شَرٌّ
“Berselisih itu jelek.” (sebagaimana diriwayatkan al-Imam Ahmad rahimahullah)
Dalam shalat berjamaah tampak syiar persatuan dan kesatuan kaum muslimin. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Tampak satu kata dalam barisan. Tak menyisakan satu celah pun dalam shaf (barisan) shalat. Tak membiarkan setan menyelinap di tengah-tengah kaum muslimin. Shaf dalam shalat lurus, rapat antara satu dengan lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اسْتَوُوا وَلَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ
“Luruskan (shaf-shaf) kalian! Jangan berselisih sehingga berselisih hati-hati kalian.” (HR . Muslim no. 122)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pula,
لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ
“Luruskanlah shaf-shaf kalian, atau sungguh Allah akan menyelisihkan di antara wajah-wajah kalian.” (HR . al- Bukhari no. 719 dan HR . Muslim, no. 125, hadits dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu)
Terkait dengan hadits di atas, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin rahimahullah menyebutkan, sebagaimana dimaklumi, perselisihan yang bersifat lahiriah bisa mengarah pada perselisihan yang bersifat batin. Apabila telah timbul perbedaan-perbedaan yang bersifat lahir, akan terjadi perselisihan di antara hati-hati mereka. Jika perselisihan itu telah menancap dalam hati-hati mereka, tentu menjadi sesuatu yang jelek dan rusak. Wal ‘iyadzubillah. (Syarhu Riyadhi ash-Shalihin, 2/1318)
Karena itu, menunaikan shalat berjamaah selain selaras dengan tuntunan sunnah nabi-Nya, juga akan memberi dampak yang sangat positif bagi tegaknya syiar persatuan umat. Jam’u al-kalimah (satu kata) dalam diri umat akan terpatri seiring tertunaikannya amalan-amalan yang selaras tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Melalui shalat berjamaah, tumbuh kelemahlembutan dan kasih sayang di antara orang-orang yang berjamaah.
2. Menjauhkan pelakunya dari setan.
Menurut asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan hafizhahullah,menunaikan shalat berjamaah akan menjauhkan seseorang dari setan. Apabila kaum muslimin berkumpul lalu mereka shalat berjamaah, yang demikian ini akan menjauhkan mereka dari setan. Adapun apabila seseorang sendirian, maka setan akan menyelinap padanya. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
“Sesungguhnya serigala akan memakan kambing yang terpisah dari kelompoknya.” (Hasan, HR . Ahmad no. 13022)
Karena itu, shaf wajib dirapatkan dan jangan sampai ada celah di antara jamaah shalat. Ini dalam rangka menutup celah agar setan tak masuk di antara celah-celah shaf (barisan) orang-orang yang shalat berjamaah. Apabila mereka saling meluruskan, merapatkan, dan menutup celah, setan tak akan mendapat peluang untuk membisiki mereka demi merusak apa yang ada pada mereka. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رُصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالْأَعْنَاقِ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ
“Rapatkanlah shaf kalian, dekatkanlah di antara shaf-shaf, dan sejajarkan tengkuk-tengkuk kalian. Demi Dzat yang diriku di tangan-Nya, sungguh aku benar-benar melihat setan masuk ke sela-sela shaf seperti domba kecil.” (HR . Abu Dawud no. 667)
3. Pembelajaran bagi yang jahil.
Shalat berjamaah bisa menjadi wahana pembelajaran bagi orang yang mengerti Islam dengan baik dan benar. Bisa jadi, seseorang selama umurnya belum paham bagaimana shalat yang benar, tak paham tentang rukun, syarat, hal-hal yang wajib, atau tata caranya. Bahkan, kadang ada yang belum paham bagaimana rukuk dan sujud yang benar.
Maka dari itu, dengan menghadiri shalat berjamaah seseorang akan bisa mengambil pelajaran, terutama dalam hal shalat. Sungguh, belajar dengan metode praktik terkadang lebih mengena daripada dengan ucapan.
4. Menumbuhkan kasih sayang.
Melalui shalat berjamaah, kaum muslimin dibimbing untuk saling memerhatikan. Melalui shalat berjamaah yang terus-menerus berkesinambungan, akan tumbuh sikap rahmah, lemah lembut, dan perhatian terhadap sesama mukmin. Apabila seseorang tak tampak di masjid, jamaah yang lain akan mempertanyakan ketidakhadirannya. Yang lain akan merasa kehilangan lantaran ketidakhadirannya. Jika ketidakhadirannya itu karena sakit, jamaah akan mengunjungi dan menjenguknya. Apabila ketidakhadirannya karena meremehkan, malas, atau selain itu, jamaah yang lain bisa menasihatinya.
Dengan demikian, akan tumbuh sikap perhatian, kasih sayang, dan sifat kelemahlembutan di antara kaum muslimin. Amal yang bisa mengarahkan kepada demikian di antaranya adalah shalat berjamaah. (Tashilu al-Imam bi Fiqhi al-Ahadits min Bulughi al-Maram, 2/401—402)
Sungguh, Allah Subhanahu wata’ala telah menetapkan syariat bagi manusia dalam beberapa hal yang dilakukan secara berjamaah atau berkelompok. Di antara yang dilakukan secara berkelompok (dalam kurun setahun sekali) adalah haji. Yang dilakukan dalam setahun dua kali adalah Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun yang dilakukan secara berjamaah sepekan sekali adalah shalat Jumat. Yang dilakukan setiap hari, siang dan malam, adalah shalat lima waktu. (Ta’liqat ‘ala Umdati al-Ahkam, karya asy-Syaikh al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah, hlm. 202)
Hendaknya seorang muslim tidak meremehkan pelaksanaan shalat berjamaah ini di masjid. Selain hikmah hikmah di atas, shalat berjamaah di masjid memberi keutamaan yang begitu tinggi bagi seorang hamba. Di antara keutamaan itu digambarkan oleh hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَصَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً وَذَلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لَا يَنْهَزُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ فَلَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِي الصَّلَاةِ مَا كَانَتِ الصَّلَاةُ هِيَ تَحْبِسُهُ، وَالْمَلَائِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ يَقُولُونَ: اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ؛ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ
“Shalat seseorang (lelaki) secara berjamaah lebih banyak pahalanya dua puluh sekian derajat dibanding shalatnya seseorang di rumah atau di pasarnya. Hal ini (bisa diraih) manakala salah seorang dari mereka membaguskan wudhunya kemudian datang ke masjid. Tidaklah ia menggerakkan (anggota tubuhnya) kecuali untuk shalat, tiada pula yang ia inginkan kecuali selain menunaikan shalat. Tiadalah satu langkah kaki yang ia ayunkan kecuali akan meninggikan derajatnya dan ayunan langkah kaki lainnya akan menghapus dosa-dosanya hingga ia memasuki masjid. Apabila telah masuk masjid, selama ia di dalam masjid maka dihitung shalat terus-menerus dan para malaikat mendoakannya selama ia duduk menanti shalat. Para malaikat berdoa, ‘Ya Allah, rahmati dia, ampuni dia, terimalah tobatnya’ (hal itu terusmenerus berlangsung) selama dia tak berbuat aniaya (kejelekan) dan tidak batal dari hadats’.” (HR . al-Bukhari 647 dan Muslim no. 272)
Tampak, betapa banyak keutamaan bisa dituai manakala shalat berjamaah ditunaikan dengan tuntunan yang benar. Hadits di atas memberi kabar gembira kepada hamba Allah Subhanahu wata’ala yang mencintai sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara keutamaan itu adalah:
1. Besarnya pahala dan keutamaan shalat berjamaah dibanding dengan shalat yang dilakukan secara menyendiri.
2. Allah Subhanahu wata’ala meninggikan derajat orang yang shalat berjamaah.
3. Allah Subhanahu wata’ala memupus dosa melalui langkah kaki seseorang yang menuju masjid dalam rangka shalat berjamaah. Ini tentu keutamaan yang teramat agung dan luhur.
4. Keutamaan berwudhu sebelum berangkat ke masjid.
5. Seseorang yang menanti shalat ditegakkan di dalam masjid terhitung menunaikan shalat terus-menerus. Ini menunjukkan ladang untuk meraih ganjaran sebesar-besarnya.
6. Para malaikat turut mendoakan orang yang menanti shalat berjamaah ditegakkan. Seorang mukmin tentu tak akan melewatkan saat-saat emas untuk merengkuh kebaikan dan keutamaan di atas. Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberi kekuatan dan kemudahan untuk bisa menunaikan kewajiban kewajiban yang diembankan. Amin.Wallahu a’lam
Ditulis oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin