Istilah Ahlus Sunnah tentu sudah tidak asing lagi bagi kaum muslimin, bahkan mereka semua mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Namun, siapakah sebenarnya Ahlus Sunnah itu? Siapa pula kelompok yang disebut oleh Rasulullah sebagai orang-orang yang asing?
Iblis dan bala tentaranya tidak pernah berhenti berupaya mengelabui manusia. Memoles yang batil seakan menjadi hak dan sebaliknya, yang hak malah dianggap batil; pembela kebenaran dianggap pelaku maksiat yang harus dimusuhi serta dijauhi dan sebaliknya, pelaku maksiat malah dianggap sebagai pembela kebenaran yang harus dibela.
Baca juga:
Memecah-belah persatuan adalah ciri khas mereka. Mengganggu perjalanan manusia menuju Allah subhanahu wa ta’ala merupakan tujuan tertinggi mereka.
Tidak ada satu pintu pun kecuali akan dilalui oleh Iblis dan tentaranya. Tidak ada satu amalan pun kecuali akan dirusaknya, atau minimalnya mengurangi nilai amalan tersebut di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Iblis mengatakan di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala,
قَالَ فَبِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأَقۡعُدَنَّ لَهُمۡ صِرَٰطَكَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ١٦ ثُمَّ لَأٓتِيَنَّهُم مِّنۢ بَيۡنِ أَيۡدِيهِمۡ وَمِنۡ خَلۡفِهِمۡ وَعَنۡ أَيۡمَٰنِهِمۡ وَعَن شَمَآئِلِهِمۡۖ
“Engkau telah menyesatkanku, maka aku akan benar-benar menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari arah depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka.” (al-A’raf: 16—17)
Dalam upaya mengelabui mangsanya, Iblis akan mengatakan bahwa pembela kebenaran adalah orang yang harus dijauhi serta dimusuhi. Dia juga akan menyuarakan bahwa kebenaran harus ditinggalkan. Dia pun mengatakan,
وَلَا تَجِدُ أَكۡثَرَهُمۡ شَٰكِرِينَ
“Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (al-A’raf: 17)
Baca juga:
Demikian halnya yang terjadi pada istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Istilah ini lebih melekat pada orang-orang yang sering beribadah dan berpemahaman sufi. Tak cuma itu, semua kelompok yang ada di tengah kaum muslimin juga mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah. Walhasil, nama Ahlus Sunnah menjadi rebutan semua orang.
Mengapa demikian? Apa keistimewaan Ahlus Sunnah sehingga harus diperebutkan? Siapakah mereka sesungguhnya?
Baca juga:
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita harus merujuk kepada keterangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para ulama salaf. Jangan sampai menjadi seperti yang digambarkan dalam sebuah syair,
وَكُلٌّ يَدَّعِي وَصْلًا بِلَيْلَى وَلَيْلَى لَا تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَا
Semua orang mengaku punya hubungan dengan Laila,
tetapi Laila tidak pernah mengakui hal itu.
Maknanya, sebatas pengakuan tidaklah ada artinya apabila dirinya jauh dari kenyataan.
Secara fitrah dan akal dapat kita bayangkan, sesuatu yang diperebutkan pasti memiliki keistimewaan dan nilai tersendiri. Sesuatu yang diakui oleh seseorang, tentu memiliki makna jika mereka “bersimbol” dengannya. Mereka mengakui bahwa Ahlus Sunnah adalah pemilik kebenaran. Buktinya, setelah mereka memakai nama tersebut, mereka tidak akan ridha dikatakan sebagai ahli bid’ah dan memiliki jalan yang salah. Bahkan, mereka akan mengatakan bahwa dirinya merupakan pemilik kebenaran tunggal sehingga yang lain adalah salah.
Mereka tidak sadar kalau pengakuannya tersebut bisa jadi merupakan langkah untuk membongkar kedoknya sendiri dan memperlihatkan batilnya jalan mereka. Hanya orang yang memiliki basirah yang mengetahui hal itu.
Apa Itu As-Sunnah?
Berbicara tentang “As-Sunnah” secara bahasa dan istilah sangatlah penting. Di samping untuk mengetahui hakikatnya, juga untuk mengeluarkan mereka-mereka yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah, padahal bukan. Mendefinisikan “As-Sunnah” ditinjau dari beberapa sisi, yaitu menurut bahasa, syariat dan generasi pertama, ahli hadits, ulama ushul fikih, dan ahli fikih.
Baca juga:
As-Sunnah Menurut Bahasa
As-Sunnah secara bahasa adalah as-sirah (perjalanan), yang baik ataupun yang buruk. Khalid bin al-Hudzali berkata, “Jangan sekali-kali kamu gelisah karena sunnah yang kamu tempuh. Orang yang pertama ridha terhadap suatu sunnah adalah orang yang menjalaninya.”
As-Sunnah dalam ucapan tersebut berarti “jalan”.
As–Sunnah Menurut Syariat dan Generasi Pertama
Apabila terdapat kata sunnah dalam hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam atau dalam ucapan para sahabat dan tabiin, yang dimaksud adalah makna yang komprehensif dan umum (menyeluruh). Makna tersebut mencakup seluruh hukum, baik dalam hal keyakinan maupun amalan; bisa yang hukumnya wajib, sunnah, atau mubah.
Baca juga:
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Telah tetap bahwa apabila kata sunnah, terdapat dalam hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang dimaksud bukanlah sunnah sebagai lawan dari wajib—apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa—pent.” (Fathul Bari 10/341)
Ketika mensyarah hadits “fa’alaikum bisunnati” (wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku), Ibnu Ajlan berkata, “Artinya adalah jalan dan langkah yang aku tempuh, berupa segala hal yang telah aku jelaskan secara rinci kepada kalian, yakni hukum-hukum i’tiqad (keyakinan) dan amalan-amalan, baik yang wajib, sunnah, maupun selainnya.” (Dalilul Falihin 1/415)
Saat Imam ash-Shan’ani mensyarah hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu, beliau berkata, “Di dalam hadits tersebut disebutkan kata “ashabta as-sunnah” (kamu telah menepati sunnah), yaitu jalan yang sesuai dengan syariat.” (Subulus Salam 1/187),
Jika kita meneliti berbagai nas yang menyebutkan kata As-Sunnah, akan menjadi jelas apa yang dimaksud dengan kata tersebut, yaitu “Jalan yang terpuji dan langkah yang diridhai, yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”
Berdasarkan penjelasan ini, jelaslah kekeliruan sebagian orang yang menisbahkan diri kepada ilmu, yang menafsirkan kata sunnah dengan istilah ulama fikih saja sehingga mereka terjebak dalam kesalahan yang fatal.
As-Sunnah Menurut Ahli Hadits
As-Sunnah menurut jumhur ahli hadits adalah sama dengan hadits, yaitu “segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, maupun sifat; baik khalqiyah (bentuk) maupun khuluqiyah (akhlak).”
As-Sunnah Menurut Ahli Ushul Fikih
Menurut ahli ushul fikih, “As-Sunnah” adalah dasar hukum syariat, beserta dalil-dalilnya.
Al-Amidi mengatakan tentang definisi As-Sunnah dalam ushul fikih, “Semua dalil syariat yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang tidak dibaca (maksudnya, bukan Al-Qur’an, –red.) dan bukan mukjizat.” (al-Ihkam 1/169)
Baca juga:
As-Sunnah Menurut Ulama Fikih
“As-Sunnah” menurut mereka adalah segala sesuatu yang apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa.
Dari penjelasan di atas, bisa dilihat bahwa orang yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah dengan hanya bersandar pada istilah ahli fikih, tidaklah memiliki dalil yang kokoh sedikit pun. Mereka juga tidak memiliki rujukan. Jika merujuk kepada istilah syariat dan generasi pertama, mereka benar-benar telah sangat jauh. Jika bersandar pada istilah ulama ushul, mereka pun tidak menemukan jawabannya. Jika menggunakan istilah ulama hadits, orang-orang yang mengaku Ahlus Sunnah tidak layak sedikit pun untuk menyandang istilah tersebut.
Barang kali hanya istilah bahasa yang bisa dijadikan sebagai “dalil”. Itu pun tidak bisa dijadikan hujah dalam melangkah, terlebih dalam menghalalkan sesuatu atau mengharamkannya.
Baca juga:
Ahlus Sunnah dan Ciri-Cirinya
Jadi, definisi Ahlus Sunnah—seperti yang telah dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah—adalah orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan apa yang telah disepakati oleh para pendahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. (Majmu’ Fatawa, 3/375)
Di antara ciri-ciri Ahlus Sunnah yang menunjukkan hakikat mereka ialah:
-
meniti jalan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan jalan para sahabatnya, bersandar pada Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih, yaitu generasi pertama umat ini dari kalangan sahabat, tabiin, dan generasi setelah mereka.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka.” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
-
mengembalikan segala bentuk perselisihan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. serta siap menerima segala hal yang diputuskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٌ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا
“Jika kalian berselisih dalam satu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir; yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa: 59)
Baca juga:
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلًا مُّبِينًا
“Tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara untuk mereka, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)
-
lebih mendahulukan ucapan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul shallallahu alaihi wa sallam daripada ucapan selainnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (al-Hujurat: 1)
-
senantiasa berusaha menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam ibadah, akhlak, dan semua sendi kehidupan mereka sehingga mereka menjadi orang yang terasing di tengah kaumnya sendiri.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda perihal mereka,
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا، وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam awalnya dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing sebagaimana awalnya, maka berbahagialah orang-orang yang terasing.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiallahu anhuma)
Baca juga:
-
sangat jauh dari sifat fanatisme golongan. Sebab, hanya Kalamullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang mereka pegang erat-erat.
Al-Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Setiap orang, ucapannya bisa diambil dan bisa ditolak, kecuali ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”
Baca juga:
-
menyeru segenap kaum muslimin agar bepegang dengan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
-
memikul amanat amar makruf dan nahi mungkar sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Baca juga:
-
mengingkari segala bid’ah (lawan dari As-Sunnah) dan mengingkari kelompok-kelompok yang akan mencabik-cabik barisan kaum muslimin.
-
mengingkari undang-undang yang dibuat oleh manusia, yang menyelisihi undang-undang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.
-
siap memikul amanat jihad fi sabilillah apabila agama ini menghendakinya.
Baca juga:
Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata,
“Mereka adalah orang-orang yang menempuh manhaj (metodologi) para sahabat dan tabiin dalam berpegang terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, serta menggigitnya dengan gigi geraham mereka—sangat konsisten.
Mereka mendahulukan keduanya (Kitabullah dan Sunnah Rasulullah) melebihi setiap ucapan, baik yang terkait dengan akidah, ibadah, muamalat, akhlak, politik, maupun persatuan.
Mereka adalah orang-orang yang kokoh di atas prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya, sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba dan Rasul-Nya, Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Mereka adalah orang-orang yang tampil untuk berdakwah dengan penuh semangat dan kesungguhan. Mereka adalah para pembawa ilmu nabawi yang melumat segala bentuk penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, kerancuan para penyesat, dan takwil orang-orang bodoh.
Mereka adalah orang-orang yang selalu memperhatikan gerak-gerik setiap kelompok yang menyeleweng dari manhaj Islam, seperti Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, Rafidhah (Syiah), Murji`ah, Qadariyah, dan setiap orang yang menyeleweng dari manhaj Allah subhanahu wa ta’ala serta mengikuti hawa nafsu pada setiap waktu dan tempat.
Mereka tidak pernah mundur karena cercaan orang yang mencerca.” (Makanatu Ahlil Hadits hlm. 3—4)
Ciri Khas Ahlus Sunnah
Mereka adalah umat yang memiliki sifat yang baik, jumlahnya sangat sedikit, dan hidup di tengah umat yang sudah rusak dari segala sisi. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ. فَقِيلَ: مَنِ الْغُرَبَاءُ، يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: أُنَاسٌ صَالِحُونَ، فِي أُنَاسِ سُوءٍ كَثِيرٍ، مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ
“Berbahagialah orang-orang yang asing.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang yang asing, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang-orang baik yang hidup di tengah banyaknya orang jahat. Yang tidak menaati mereka lebih banyak daripada orang yang mengikuti mereka.” (Sahih; HR. Ahmad, lihat Shahihul Jami’, no. 3921)
Baca juga:
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Ia adalah orang yang (dianggap) asing (karena) agamanya disebabkan rusaknya agama mayoritas manusia. Dia terasing dalam hal komitmennya untuk berpegang terhadap As-Sunnah karena mayoritas manusia berpegang terhadap bid’ah; terasing keyakinannya karena keyakinan manusia telah rusak; terasing dalam hal shalatnya karena jeleknya shalat manusia; terasing dalam hal jalannya karena sesat dan rusaknya jalan manusia; terasing dalam hal nisbahnya karena rusaknya nisbah manusia; terasing dalam pergaulannya bersama manusia karena ia bergaul dengan apa yang tidak diinginkan oleh hawa nafsu manusia.
Kesimpulannya, dia asing dalam urusan dunia dan akhiratnya. Dia tidak menemukan seorang penolong dan pembela. Dia adalah orang yang berilmu di tengah-tengah kumpulan orang bodoh. Dialah pemegang As-Sunnah di tengah banyaknya ahli bid’ah. Dia menyeru kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya di tengah orang-orang yang menyeru kepada hawa nafsu dan bid’ah. Dia mengajak pada yang makruf dan mencegah kemungkaran di tengah kaum yang menganggap hal yang makruf sebagai kemungkaran dan yang mungkar dianggap makruf.” (Madarijus Salikin 3/199—200)
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,
“Fitnah syubhat dan hawa nafsu yang menyesatkan telah menyebabkan ahli kiblat pecah berkeping-keping. Sebagian mereka mengafirkan yang lain sehingga mereka menjadi saling bermusuhan, berpecah-belah, dan berpartai-partai, padahal sebelumnya mereka berada di atas satu hati.
Tidak ada yang selamat dari semua ini kecuali satu kelompok.
Merekalah yang disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلَا مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ
‘Akan terus ada sekelompok dari umatku yang senantiasa membela kebenaran. Orang yang menghinakan dan menyelisihi mereka tidak akan mampu memudaratkan mereka, hingga datangnya keputusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan demikian.’
Pada akhir zaman, mereka adalah kaum yang terasing, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits, yaitu orang-orang yang melakukan perbaikan saat manusia telah rusak. Merekalah orang-orang yang berusaha menjaga keutuhan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang terus dirusak oleh manusia. Merekalah orang-orang yang lari dari fitnah dengan membawa agama mereka. Mereka adalah minoritas di tengah-tengah suatu kabilah. Terkadang tidak didapati pada sebuah kabilah kecuali satu atau dua orang, bahkan terkadang tidak didapati satu orang pun, sebagaimana permulaan Islam.
Dengan dasar inilah, para ulama menafsirkan hadits ini. Al-Auza’i rahimahullah mengatakan tentang sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ
‘Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing’, ‘Adapun Islam, ia tidak akan pergi. Akan tetapi, Ahlus Sunnah-lah yang akan pergi sehingga tidak tersisa di sebuah negeri kecuali satu orang saja.’
Dengan makna inilah, didapati ucapan para salaf yang memuji As-Sunnah dan menyifatinya dengan asing, serta menyifati pengikutnya dengan kata ‘sedikit’.” (Kasyfu al-Kurbah fi Washfi Ahlil Ghurbah hlm. 16—17; dalam Ahlul Hadits Hum ath-Thaifah al-Manshurah, hlm. 103—104)
Demikianlah ketetapan Allah untuk para pengikut kebenaran. Sepanjang perjalanan hidup, mereka selalu menjadi yang sedikit. Allah subhanahu wa ta’ala berfiman,
وَقَلِيلٌ مِّنۡ عِبَادِيَ ٱلشَّكُورُ
“Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.” (Saba: 13)
Dari pembahasan singkat ini, akan jelaslah siapa sebenarnya Ahlus Sunnah dan siapa yang hanya sekadar mengaku. Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih.