Penulis Kanzul ‘Ummal menukil dari Abu Bakr bin Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar, yang meriwayatkan bahwa menjelang wafatnya, Abu Bakr menulis wasiat yang isinya antara lain. Bismillahirrahmanirrahim, Ini adalah keputusan Abu Bakr saat terakhirnya di dunia dan akan meninggalkannya, serta awal perjalanannya menuju akhirat dan memasukinya. Saat saat ketika orang yang kafir beriman, orang yang jahat pun bertakwa, dan pendusta berbuat jujur. Sungguh, saya telah menunjuk ‘Umar bin al-Khaththab (radhiyallahu ‘anhu) sebagai pengganti saya. Kalau dia berbuat adil, itulah yang saya yakini tentang dia. Kalau dia berbuat zalim dan mengubah (aturan), perkara baiklah yang saya harapkan dan saya tidak mengetahui perkara gaib. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنقَلَبٍ يَنقَلِبُونَ
“Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.” (asy-Syu’ara: 227)
Setelah itu, beliau menujukan wasiatnya kepada ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana dinukil Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin. “Sungguh, saya menyampaikan satu wasiat kepadamu, kalau kamu mau menerimanya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala mempunyai hak di malam hari yang tidak diterima- Nya kalau ditunaikan pada siang hari. Allah Subhanahu wata’ala juga mempunyai hak di siang hari, yang tidak diterima-Nya jika ditunaikan pada malam hari.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala tidak menerima amalan sunnah sampai yang wajib ditunaikan lebih dahulu. Sesungguhnya, beratnya timbangan amalan orang-orang yang berat timbangannya di akhirat adalah karena sikap ittiba’ (meneladani) mereka terhadap al-haq selama di dunia, sehingga hal itu berat atas mereka. Sangatlah pantas timbangan itu diletakkan padanya alhaq lalu menjadi berat. Ringannya timbangan mereka yang ringan timbangannya di akhirat adalah karena mereka mengikuti yang batil, dan diringankan (dimudahkan kebatilan itu) atas mereka di dunia. Pantaslah timbangan yang diletakkan di dalamnya kebatilan itu menjadi ringan.
Tidakkah kamu melihat bahwa Allah Subhanahu wata’ala menurunkan ayat tentang raja’ (harapan) bersama ayat tentang syiddah (kesulitan, kekerasan), dan menurunkan ayat tentang syiddah bersama ayat tentang raja’. Hal itu agar manusia tetap dalam keadaan berharap dan cemas, tidak sampai melemparkan mereka ke jurang kebinasaan dan mengangankan terhadap Allah Subhanahu wata’ala sesuatu yang tidak benar. Kalau kamu telah mengingat wasiatku ini, tidak ada lagi perkara gaib yang lebih kamu cintai melebihi kematian, padahal itu mesti kamu hadapi. Dan kalau kalian menyia-nyiakan wasiatku ini, tidak ada sesuatu yang lebih kamu benci melebihi kematian, padahal kamu mesti merasakannya dan tidak mampu menolaknya.” Di saat terakhir, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat ayahandanya sedang menanti ajal, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata, Demi Allah, tiadalah guna kekayaan bagi pemuda Jika napasnya tersengal menjemput ajal dan dada terasa sesak Tiba-tiba Abu Bakr menyingkap kain dari mukanya dan berkata, “Bukan begitu, tetapi bacalah,
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ۖ ذَٰلِكَ مَا كُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ
‘Dan datanglah sakratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.’ (Qaf: 19)
Perhatikan dua pakaianku ini, basuhlah keduanya dan jadikan sebagai kafanku, karena orang yang masih hidup lebih pantas mengenakan yang baru daripada orang mati.” Kemudian, beliau berwasiat agar yang memandikan jenazahnya adalah istrinya, Asma’ bintu ‘Umais radhiyallahu ‘anha.
Madinah Kembali Duka
Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah, beliau berkata bahwa Aisyah pernah bermimpi seolaholah ada tiga buah bulan yang jatuh di rumahnya. Beliau pun menceritakannya kepada Abu Bakr yang memang dikenal pandai menakwilkan mimpi. Kata Abu Bakr, “Kalau benar mimpimu, pasti akan dikebumikan di dalam rumahmu tiga manusia terbaik di muka bumi.” Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam wafat dan dimakamkan di situ, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hai ‘Aisyah, inilah salah satu bulanmu yang terbaik itu.”1
Keadaan Abu Bakr bertambah berat. Putrinya, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, merawatnya dengan telaten. Saat-saat terakhir itu, Abu Bakr berpesan lagi, “Periksalah berapa sisa hartaku sejak aku jadi khalifah dan serahkanlah kepada khalifah sesudahku.” Sepeninggal beliau, mereka menghitungnya. Ternyata yang ada hanya seorang budak dan seekor unta untuk menyirami kebun. Harta itu kemudian diserahkan kepada ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Melihat hal ini, ‘Umar menangis dan berkata, “Semoga Allah Subhanahu wata’ala merahmati Abu Bakr. Sungguh, beliau membuat payah orang yang sesudahnya (untuk bisa berbuat hal yang sama).” Senin malam, 22 Jumadil Akhir 13 H, atau 22 Agustus 634 M, dalam usia 63 tahun, seusia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika wafat, berangkatlah jiwa yang tenang itu ke hadirat Allah Subhanahu wata’ala, terdengar bisikannya yang terakhir dengan suara yang lirih membaca,
تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ
“Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (Yusuf: 101)
Madinah kembali diguncang oleh tangis dan kesedihan. Sekali lagi kaum muslimin kehilangan pemimpin yang mereka cintai dan hormati, manusia terbaik setelah Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wasallam. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan beberapa wanita yang ada di dalamnya menangis, tetapi mereka segera dilarang oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dengan memerintahkan Hisyam bin al-Walid radhiyallahu ‘anhu mengeluarkan mereka. Jenazah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dibawa ke Masjid Nabawi dan dishalati di antara mimbar dan makam Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian, beliau dibawa ke rumah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan dikuburkan di sebelah makam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan posisi kepala di dekat pundak Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika masih hidup mereka bersahabat dekat, setelah wafat kubur mereka berdampingan, dan di akhirat— sebagaimana diriwayatkan—mereka juga berdekatan. Inilah bulan kedua yang jatuh dalam rumah ‘Aisyah sebagaimana mimpi beliau yang ditakwil oleh ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Setelah beliau wafat, datanglah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sambil menangis dan mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Beliau segera menuju rumah duka dan berkata, “Semoga Allah Subhanahu wata’ala merahmatimu, wahai Abu Bakr. Demi Allah, engkau adalah yang orang pertama masuk Islam, paling dalam imannya, paling kuat keyakinannya, paling besar kekayaannya, paling menjaga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, paling cemburu terhadap Islam dan sangat membela pemeluknya, serta paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal akhlak, keutamaan, bimbingan, dan kepribadian. Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberimu balasan yang baik atas jasamu terhadap Islam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan kaum muslimin. Engkau membenarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di saat manusia mendustakan beliau, menyantuni beliau ketika mereka kikir terhadap beliau, engkau berdiri bersama beliau ketika mereka duduk, dan Allah Subhanahu wata’ala menamakanmu Shiddiq di dalam Kitab-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ ۙ
‘Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya.’ (az-Zumar: 33)
yang dimaksud adalah Muhammad (Shallallahu ‘alaihi wasallam) dan dirimu. Engkau, demi Allah, benar-benar benteng bagi kaum muslimin dan bencana bagi orang-orang yang kafir. Argumenmu tidak salah, bashirah (mata hatimu) tidak lemah, dan jiwamu tidak pernah gentar, seperti gunung yang tidak bergerak diterpa oleh angin kencang dan tidak runtuh dihantam oleh badai. Engkau seperti yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lemah fisikmu, tetapi kuat agamamu. Rendah hatimu, agung jiwamu di sisi Allah Subhanahu wata’ala, mulia di muka bumi, besar di kalangan orang-orang yang beriman.
Tidak ada seorang pun mempunyai ambisi dan hawa nafsu di hadapanmu. Yang lemah bagimu adalah kuat, dan yang kuat itu lemah, sampai engkau mengambil hak orang lemah dari yang kuat lalu dikembalikan kepada si lemah. Semoga Allah Subhanahu wata’ala tidak mengharamkan kami memperoleh pahalamu, dan tidak menyesatkan kami sepeninggal engkau.” Inilah salah satu pujian ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu terhadap Abu Bakr ash- Shiddiq. Adapun orang-orang yang sesat dari kalangan Syiah Rafidhah selalu menyimpan dendam dan kebencian terhadap beliau radhiyallahu ‘anhu. Wallahu a’lam. (Selanjutnya insya Allah: Amirul Mukminin ‘Umar al-Faruq radhiallahu ‘anhu)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits