(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
Bersanding dengan seorang yang mulia. Dari rahimnya terlahir anak-anak yang mulia. Dia pemilik saudara dan ipar-ipar yang mulia, menambah kemuliaan yang telah dimilikinya.
Dia menyandang nama Lubabah Al-Kubra bintu Al-Harits bin Hazn bin Bujair bin Al-Hazm bin Ru’aibah bin Abdillah bin Hilal bin ‘Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin ‘Ikrimah bin Khashfah bin Qais bin ‘Ailan bin Mudhar Al-Hilaliyah. Namun dia lebih dikenal dengan kunyah yang diambil dari nama putra pertamanya, Al-Fadhl, sehingga Ummul Fadhl sebutannya. Ibunya bernama Hindun bintu ‘Auf bin Zuhair bin Al-Harits bin Himathah bin Dzi Halil.
Dia bersaudara dengan wanita-wanita yang memiliki kemuliaan. Saudara-saudara sekandungnya seluruhnya perempuan. Mereka adalah Maimunah, istri Rasulullah n, Lubabah Ash-Shughra bintu Al-Harits, istri Al-Walid bin Al-Mughirah, yang melahirkan Pedang Allah, Khalid ibnul Walid z, ‘Ishmah, ‘Izzah, dan Huzailah. Sementara saudara perempuannya seibu adalah Asma bintu ‘Umais x, pendamping Sang Pemilik Dua Sayap Ja’far bin Abi Thalib z, yang sepeninggal Ja’far menikah dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq z, kemudian dengan ‘Ali bin Abi Thalib z setelah Abu Bakr tiada. Saudarinya yang lain adalah Salma bintu ‘Umais x, istri Hamzah bin ‘Abdil Muththalib z, dan Salamah bintu ‘Umais.
Ummul Fadhl disunting oleh paman Rasulullah n, Al-’Abbas bin ‘Abdil Muththalib bin Hisyam bin ‘Abdi Manaf bin Qushay. Kepada mereka berdua, Allah I menganugrahkan putra-putri yang kelak di kemudian hari menjadi orang-orang yang mulia, Al-Fadhl, ‘Abdullah, ‘Ubaidullah, Ma’bad, Qatsam, ‘Abdurrahman, Ummu Habib, dan ‘Aun.
Ketika Rasulullah n mulai mendak-wahkan Islam, Ummul Fadhl adalah wanita yang pertama kali beriman sesudah Khadijah bintu Khuwailid x. Dia turut berhijrah ke Madinah setelah berislamnya Al-’Abbas, sang suami.
Ummul Fadhl, seorang wanita dengan keberanian dan keteguhan hatinya. Suatu hari setelah kemenangan Rasulullah n bersama kaum muslimin yang begitu gemilang di medan pertempuran Badr, Ummul Fadhl tengah duduk di ruangan tempat sumur Zamzam bersama budaknya, Abu Rafi’. Tiba-tiba datang Abu Lahab duduk pula di situ.
Abu Lahab kala itu tidak turut pergi berperang, dan tempatnya digantikan oleh Al-’Ash bin Hisyam bin Al-Mughirah. Begitulah keadaan pasukan musyrikin saat itu dalam mempersiapkan peperangan Badr. Tiap orang yang tidak berangkat digantikan oleh orang lain. Namun ternyata mereka kembali dengan membawa kekalahan yang Allah I timpakan, dengan menanggung kehinaan dan rasa malu. Sebaliknya, kemenangan yang Allah I anugerahkan kepada pasukan Rasulullah n menumbuhkan kekuatan dan ketegaran pada diri kaum muslimin.
Saat itu orang-orang yang ada di sekitar sumur Zamzam bercakap-cakap memperbin-cangkan kembalinya pasukan musyrikin, “Abu Sufyan telah kembali dari Badr!”
Mendengar perbincangan tersebut, Abu Lahab memanggil salah seorang di antara mereka, “Kemarilah, wahai anak saudaraku. Rupanya engkau memiliki sebuah berita.”
Orang-orang pun berdatangan ke hadapannya. “Wahai anak saudaraku, sampaikan padaku tentang keadaan mereka,” pinta Abu Lahab.
“Demi Allah, tidak ada hasil apa-apa. Kami berhadapan dengan sepasukan orang, lalu kita serahkan begitu saja batang-batang leher kami, hingga mereka pun bisa membunuh kami dan menawan kami sekehendak mereka. Demi Allah, namun tidaklah aku mencela orang-orang yang turut berperang. Yang kami hadapi adalah sepasukan laki-laki yang berpakaian putih mengendarai kuda yang berlari teramat cepat antara langit dan bumi. Dan sungguh-sungguh tidak ada yang bisa menandingi mereka.”
Abu Rafi’ yang sedang berada di situ turut mendengar penuturan mereka. “Demi Allah, itu pasti para malaikat!” terlontarlah ucapan itu dari bibir Abu Rafi’. Sontak Abu Lahab merasa berang dengan ucapan Abu Rafi’ itu. Tangannya melayang memukul wajah Abu Rafi’. Abu Rafi’ melawan, tetapi dia adalah seorang yang lemah. Abu Lahab mengangkat dan membantingnya ke tanah, lalu mendudukinya sambil memukulnya bertubi-tubi.
Menyaksikan hal itu, Ummul Fadhl pun bangkit. Diambilnya salah satu tiang penyangga dan dipukulkannya ke kepala Abu Lahab hingga menimbulkan luka yang mengerikan. “Kamu berani berbuat demikian bila tuannya tidak melihatnya,” kata Ummul Fadhl pada Abu Lahab.
Ummul Fadhl, dialah yang menyusui Husain bin ‘Ali c. Berawal saat Ummul Fadhl masih menyusui putranya, Qatsam, dia bermimpi melihat salah satu anggota tubuh Rasulullah n di rumahnya. Disampaikannya mimpi itu pada beliau. Rasulullah pun nberkata padanya, “Ini adalah kebaikan, Insya Allah. Nanti Fathimah akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan nanti engkau akan menyusuinya dengan air susu anakmu Qatsam.” Mimpi itu pun menjadi kenyataan seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah n. Fathimah x melahirkan seorang anak laki-laki yang dinamai Husain oleh Rasulullah n, dan Ummul Fadhl yang mengasuh dan menyusuinya sampai Husain mulai bisa bergerak kesana kemari.
Selama mengasuh Husain bin ‘Ali, Ummul Fadhl pernah mendapatkan pengajaran dari Rasulullah n. Suatu hari, Ummu Fadhl membawa Husain bertemu Rasulullah n. Beliau mendudukkan Husain di pangkuannya. Tiba-tiba Husain kecil kencing di pangkuan kakeknya. Melihat itu, Ummul Fadhl memukul Husain hingga menangis. “Engkau telah menyakiti anakku. Semoga Allah memberikan kebaikan dan merahmatimu,” tegur Rasulullah n.
“Tanggalkan sarungmu, wahai Rasulullah, dan pakailah pakaian yang lain, agar aku bisa mencucinya,” kata Ummul Fadhl. Rasulullah n pun menjelaskan, “Sesungguhnya kencing anak laki-laki itu cukup dituangi air. Sedangkan kencing anak perempuan dicuci.”
Demikian yang dilalui oleh Ummul Fadhl. Bersanding dengan orang-orang yang mulia, hingga saat wafatnya pada masa pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan z , mendahului suaminya, Al-’Abbas bin ‘Abdil Muththalib z. Ummul Fadhl, semoga Allah I meridhainya ….
Wallahu ta’ala a’lamu bish shawab.
Sumber Bacaan:
q Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (8/97,276)
q Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (1/196, 4/1907-1909,1950)
q Siyar A’lamin Nubala`, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/84,98)
q Tahdzibul Kamal, karya Al-Imam Al-Mizzi (6/397-398)
q Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (4/73-74)