(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)
Buang hajat merupakan rutinitas alamiah yang dilakukan oleh semua manusia. Alangkah baiknya kita mengetahui bagaimana agama memberikan bimbingan dalam masalah ini sehingga perbuatan yang bisa jadi dipandang ringan oleh banyak orang ini, dalam beberapa sisinya bisa memiliki nilai ibadah di sisi Allah.
Membuang hajat adalah perkara yang biasa kita lakukan setiap harinya, namun sangat disayangkan banyak di antara kita yang tidak mengetahui adab-adab yang dituntunkan di dalamnya. Padahal syariat agama kita yang sempurna telah mengajarkan permasalahan ini. Pernah kaum musyrikin berkata kepada Salman Al-Farisi z: “Nabi kalian telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai pun perkara adab buang hajat.” Salman menjawab: “Ya, beliau mengajarkan kami adab buang hajat.” (HR. Muslim no. 262)
Doa Sebelum Buang Hajat
Perkara awal yang perlu diperhatikan dari Sunnah Rasulullah r dalam masalah ini adalah ketika seseorang akan masuk ke tempat buang hajat (WC dan semisalnya) hendaknya ia mengucapkan doa:
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan.” (HR. Al-Bukhari no. 142 dan Muslim no. 375)
Karena WC dan semisalnya merupakan tempat kotor yang dihuni oleh setan maka sepantasnya seorang hamba meminta perlindungan kepada Allah I agar ia tidak ditimpa oleh kejelekan makhluk tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/83)
Membaca doa ini merupakan adab yang disepakati istihbab-nya (sunnahnya) dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara buang hajat di tempat yang berupa bangunan ataupun di padang pasir. (Syarah Shahih Muslim, 4/71)
Sementara apabila di padang pasir (tempat yang terbuka), maka doa ini dibaca tatkala hendak ditunaikannya hajat, seperti ketika seseorang menyingkap pakaiannya. Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama dan mereka mengatakan bahwa kalau seseorang lupa membaca doa ini maka ia membacanya dalam hati. (Fathul Bari, 1/307)
Langkah Kaki ketika Masuk dan Keluar WC
Telah diketahui bahwasanya Rasulullah r menyenangi mendahulukan bagian yang kanan dalam seluruh keadaan beliau. (HR. Al-Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)
Hadits di atas menunjukkan keumuman, namun khusus pada keadaan-keadaan tertentu dimulai dengan yang kiri, seperti apabila beliau masuk WC, keluar dari masjid dan yang semisalnya. Demikian dinyatakan Ibnu Daqiqil ‘Ied. (Syarah ‘Umdatil Ahkam, 1/44)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Merupakan kaidah yang berkesinambungan dalam syariat di mana tangan/kaki kanan didahulukan dalam melakukan perkara yang mulia seperti memakai pakaian, celana, sandal, masuk masjid, bersiwak, bercelak, menggunting kuku, mencukur kumis, menyisir rambut, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut, salam ketika selesai shalat, mencuci anggota wudhu, keluar dari WC, makan, minum, berjabat tangan, menyentuh Al-Hajar Al-Aswad dan perkara lainnya yang semisal. Semua itu disenangi untuk memulai dengan bagian kanan. Adapun lawan dari perkara di atas seperti masuk WC, keluar dari masjid, istinja, melepas pakaian, celana, sandal dan yang semisalnya disenangi untuk memulai dengan tangan/kaki kiri.” (Syarah Shahih Muslim, 3/160, Al-Majmu’, 2/95)
Menutup Diri
Abdullah bin Ja‘far z berkata: “Suatu hari Rasulullah r pernah memboncengkan aku di belakangnya. Lalu beliau membisikkan kepadaku satu pembicaraan yang aku tidak akan memberitahukannya kepada seorangpun selama-lamanya. Adalah beliau r menyenangi menjadikan tempat yang tinggi (berupa bangunana atau selainnya) dan kebun kurma sebagai tempat berlindung (menutup diri) ketika buang hajat.” (HR. Muslim no. 342)
Al-Imam Asy-Syaukani t berkata: “Hadits ini menunjukkan disenanginya menutup diri ketika seseorang sedang buang hajat dengan apa saja yang dapat mencegah/menghalangi pandangan orang terhadapnya ketika itu. Dan dimungkinkan buang hajat beliau di kebun kurma bukan pada saat kurma itu berbuah.” (Nailul Authar, 1/117)
Beliau r apabila hendak buang hajat, tidaklah mengangkat pakaiannya sampai beliau turun untuk jongkok di atas tanah. Hal ini beliau lakukan dalam rangka menjaga aurat. (Zadul Ma’ad, 1/44, Ad-Dararil Mudhiyyah, hal. 23)
Menjauh dari Pandangan Manusia
Ibnul Mundzir t berkata: “Kabar yang pasti dari Rasulullah r bahwasanya bila ingin buang hajat beliau pergi ke tempat yang jauh dari penglihatan manusia, namun bila sekedar buang air kecil beliau tidak menjauh dari mereka.” (Al-Ausath, 1/321)
Hal ini sebagaimana Rasulullah r pergi untuk membuang hajat hingga tersembunyi dari para shahabatnya. (HR. Al-Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274 dari Al-Mughirah ibnu Syu’bah z)
Abdurrahman bin Abi Qurad z berkata: “Aku pernah keluar bersama Rasulullah r ke tempat buang hajat. Kebiasaan beliau ketika buang hajat adalah pergi menjauh dari manusia.” (HR. An-Nasa`i no. 16 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/495)
Saking menjauhnya beliau dari manusia sampai-sampai beliau pergi ke Mughammas (sebuah tempat yang jauhnya sekitar dua mil dari kota Makkah) untuk keperluan buang hajat ini. (HR. Abu Ya’la, 9/476 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/495)
Ibnul Qayyim t mengatakan: “Beliau r, apabila ingin buang hajat dalam safarnya, pergi hingga tersembunyi dari pandangan para shahabatnya dan terkadang beliau menjauh sampai 2 mil. Beliau menutup dirinya ketika buang hajat, terkadang dengan berlindung di balik tempat tinggi, terkadang di balik kebun kurma dan terkadang dengan pepohonan yang tumbuh di lembah.” (Zadul Ma’ad, 1/43)
Berbeda halnya ketika buang air kecil, sebagaimana dikatakan Ibnul Mundzir di atas, beliau tidak menjauh dari manusia. Bahkan Hudzaifah z mengatakan: “Aku pernah berjalan-jalan bersama Nabi r. Beliau lalu mendatangi tempat pembuangan sampah yang terletak di belakang tembok. Beliau berdiri di situ sebagaimana salah seorang dari kalian berdiri lalu beliau buang air kecil. Aku pun menyingkir dari beliau namun beliau memberi isyarat kepadaku maka aku pun mendatanginya. Aku berdiri di belakang beliau hingga beliau selesai dari hajatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 225 dan Muslim no. 273)
Al-Hafidz Ibnu Hajar t berkata: “Ini menunjukkan beliau tidak menjauh dari Hudzaifah ketika buang air kecil.” Adapun sebab tidak menjauhnya Nabi r ketika buang air kecil dijelaskan oleh Al-Hafidz: “Kencing lebih ringan daripada buang air besar karena buang air besar butuh untuk lebih membuka aurat dan bau yang ditimbulkan lebih menusuk. Sementara tujuan menjauh dari manusia adalah untuk menutup diri dari penglihatan mereka dan ini terpenuhi dengan membentangkan pakaian serta mendekat dengan sesuatu yang dapat menutupi.” (Fathul Bari, 1/411)
Rasulullah r meminta Hudzaifah untuk mendekat kepada beliau agar Hudzaifah menutupi beliau dari pandangan manusia karena buang air kecil merupakan keadaan yang memalukan bila terlihat oleh orang lain. (Syarah Shahih Muslim, 3/167)
Dengan demikian, dituntunkan kepada kita untuk menjauh dari manusia ketika buang air besar. Sementara ketika buang air kecil boleh dilakukan di dekat orang lain, namun harus tetap memperhatikan tertutupnya aurat agar tidak terlihat orang lain. (Al-Jami’ush Shahih, 1/496)
Tidak Memasukkan ke WC Sesuatu yang padanya Ada Dzikrullah
Seseorang yang buang hajat lebih utama baginya untuk tidak membawa sesuatu yang padanya tertera dzikir kepada Allah seperti Al Qur`an dan lainnya yang ada padanya penyebutan nama Allah. Dalam permasalahan ini, dalil yang sering dibawakan adalah hadits peletakan cincin Rasulullah r ketika akan masuk WC. Namun hadits ini lemah, ma’lul (berpenyakit) sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim dalam Tahdzibus Sunan dan ulama ahli hadits yang lainnya.
Ketika membawakan hadits ini, Al-Imam Ash-Shan’ani mengatakan dalam Subulus Salam (1/113): “Sesuatu yang di dalamnya tertera nama Allah U harus dijaga dari tempat-tempat yang jelek/kotor. Dan ini tidak khusus berupa cincin saja namun mencakup semua benda yang dipakai yang padanya ada dzikrullah.”
Walaupun demikian sebagian ulama yang lain menganggap makruh (dibencinya) perkara ini, bahkan haram apabila yang dimasukkan itu berupa Al Qur`an, karena termasuk penghinaan. Penulis kitab Al-Furu’ mengatakan: “Dibenci untuk membawa sesuatu yang padanya ada dzikrullah tanpa ada keperluan.” (Al-Furu’, 1/83)
Larangan Menghadap dan Membelakangi Kiblat
Abu Ayyub Al-Anshari z berkata: Rasulullah r bersabda:
“Apabila kalian mendatangi tempat buang air maka janganlah kalian menghadap ke arah kiblat ketika buang air besar ataupun kencing dan jangan pula membelakangi kiblat, akan tetapi menghadaplah ke arah timur atau ke arah barat1.” (HR. Al-Bukhari no. 394 dan Muslim no. 264)
Dari hadits di atas dipahami adanya larangan menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat. Namun dalam permasalahan ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama. Ada yang berpendapat perbuatan ini haram secara mutlak baik di WC (tempat yang tertutup/berbentuk bangunan) ataupun di tempat terbuka. Ada yang membolehkan secara mutlak dan ada pula yang merinci. Perselisihan ini terjadi karena selain hadits larangan sebagaimana tercantum di atas didapatkan pula hadits lain yang menunjukkan kebolehannya seperti hadits Abdullah Ibnu ‘Umar c, ia berkata: “Aku pernah menaiki rumah Hafshah2 karena suatu keperluan, maka ketika itu aku melihat Rasulullah r buang hajat menghadap ke arah Syam dan membelakangi Ka’bah.” (HR. Al-Bukhari no. 148 dan Muslim no. 266)
Demikian pula hadits Jabir bin Abdillah Al-Anshari c: “Sungguh beliau melarang kami untuk membelakangi dan menghadap kiblat dengan kemaluan-kemaluan kami apabila kami buang air. Kemudian aku melihat beliau kencing menghadap kiblat setahun sebelum meninggalnya.” (HR. Ahmad, 3/365 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/493)
Dari perselisihan yang ada, yang rajih (kuat) adalah pendapat yang merinci, bila di luar bangunan seperti di padang pasir haram untuk menghadap atau membelakangi kiblat, sementara di dalam bangunan tidaklah diharamkan. Ini adalah pendapat Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Asy-Sya’bi dan ini merupakan pendapat jumhur ahli ilmu. (Syarah Shahih Muslim, 3/154, Syarah Sunan An-Nasa`i lis Suyuthi, 1/26)
Namun sepantasnya bagi seseorang untuk menghindari arah kiblat ketika buang hajat di dalam bangunan (WC dan semisalnya), dalam rangka berhati-hati dari hadits-hadits yang menunjukkan larangan tentang hal ini dan karena adanya perselisihan yang kuat dalam permasalahan ini yang didukung oleh para ulama ahli tahqiq. (Taisirul ‘Allam, 1/55)
Boleh Kencing Berdiri
Al-Imam Al-Bukhari t ketika membawakan hadits Hudzaifah yang menerangkan Rasulullah r kencing berdiri sebagaimana telah lewat di atas, beliau mengatakan dengan judul bab (Bolehnya) Kencing Berdiri dan Jongkok. Sehingga dipahami di sini bolehnya kencing dalam keadaan berdiri dan duduk, walaupun di sana terdapat perselisihan pendapat di kalangan ahli ilmu mengenai hal ini.
Didapatkan pula dari perbuatan sahabat seperti ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Umar ibnul Khaththab, Zaid bin Tsabit dan selainnya, mereka kencing dengan berdiri. Ini menunjukkan perbuatan ini dibolehkan dan tidak makruh apabila memang aman dari percikan air kencing. (‘Aunul Ma’bud, 1/29)
Ibnul Mundzir t berkata: “Sebagian ahlul ilmi menyenangi bagi orang yang kencing dalam keadaan duduk untuk menjauh dari manusia, dan mereka memandang tidak apa-apa kencing di dekat orang lain bila dilakukan dengan berdiri. Karena kencing dalam keadaan berdiri lebih menjaga dubur dan lebih selamat dari percikan najis. Pendapat seperti ini diriwayatkan dari ‘Umar.” (Al-Ausath, 1/322)
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
1 Akan tetapi kita yang berada di Indonesia, seharusnya tidak menghadap ke arah barat yang merupakan arah kiblat dan juga merupakan arah Baitul Maqdis, menyelisihi penduduk Madinah yang telah disebutkan di atas. (Pembahasan ini bisa dilihat dalam Asy-Syarhul Mumti’, 1/99, Syarah ‘Umdatil Ahkam, Ibnu Daqiqil ‘Ied, 1/54, Sunan An-Nasa`i Hasyiyah As-Sindi, 1/23 )
2 Salah seorang istri Rasulullah r, putri ‘Umar Ibnul Khaththab z.