Setiap orang bercita-cita untuk mendapatkan yang terbaik dan yang paling membahagiakan, mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Akan tetapi sedikit dari mereka yang mengetahui jalannya. Seorang pencuri, pezina, dan pemabuk bisa mengatakan dirinya yang paling bahagia dan tenteram, serta mengklaim orang lain yang menjaga dirinya dari bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagai seorang yang sok suci dan bersih, mengklaimnya sebagai seorang yang kolot dan kuno. Demikianlah hawa nafsu apabila telah mencapai apa yang diinginkan. Rintangan demi rintangan bukan sebagai badai yang mengempas bahtera nafsunya. Zikir dan peringatan serta nasihat bukan lagi sebagai pengetuk gendang telinga dan mata hatinya.
Prinsipnya adalah “semua rintangan akan dihadapi serta semua nasihat akan ditepis dan dibantah, setelah itu menjadi kepingan-kepingan besi yang telah berkarat dan tidak berarti.” Demikianlah hawa nafsu yang telah naik meninggi ke angkasa. Sulit melihat diri dan keselamatannya.
Dia juga akan berprinsip “tidak peduli”: biarlah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Dia pun akan berkata, “No problem” walaupun Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan utusan-utusan-Nya dari langit. Demikianlah hawa nafsu yang sudah bergulung dalam kenistaan hidup, yang karenanya lawan akan bisa menjadi teman dan kawan akan bisa menjadi lawan, yang ma’ruf akan bisa menjadi mungkar dan mungkar karenanya akan bisa menjadi ma’ruf. Inilah yang dikhawatirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabda beliau:
إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ بَعْدِيْ بُطُوْنَكُمْ وَفُرُوْجَكُمْ وَمُضِلاَّتِ اْلأَهْوَاءِ
“Sesungguhnya dari perkara-perkara yang aku khawatirkan menimpa kalian setelahku adalah permasalahan perut-perut kalian (kerakusan), kemaluan-kemaluan kalian (syahwat), dan hawa nafsu-hawa nafsu yang menyesatkan.” (HR. al-Imam Ahmad, ath-Thabarani, Ibnu Abi ‘Ashim di dalam as-Sunnah, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani di dalam kitab Zhilal al-Jannah, hlm. 30, dari sahabat Abu Barzah al-Aslami radhiallahu ‘anhu)
Kerakusanlah yang menjadi mesin pendorong nafsunya untuk mencapai keinginannya dan menabrak segala penghadang di jalannya. Meski yang menghadangnya adalah kobaran api yang menjadi wujud lampu merah dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan:
“Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, dia akan berkeinginan untuk mendapatkan dua lembah, dan tidak ada yang akan menutup mulutnya melainkan tanah dan Allah subhanahu wa ta’ala akan menerima taubat orang-orang yang bertaubat.” (HR. al-Bukhari no. 5958, Muslim no. 1049, serta al-Imam Ahmad, 1/370 dan 3/122, dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas dan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma)
Bagaimanakah Akhlak Iblis?
Mengejar syahwat dan menolak kebenaran adalah akhlak iblis. Menipu dan menebarkan syubhat adalah akhlak iblis. Candu bermaksiat, menghalangi orang dari jalan Allah subhanahu wa ta’ala, meremehkan orang lain, rakus, tamak, sombong, angkuh, dan sebagainya, itulah akhlak iblis. Seluruh perkara yang merupakan perbuatan maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala baik dengan ucapan maupun perbuatan, itulah akhlak iblis.
Peringatan Allah subhanahu wa ta’ala dari Akhlak Iblis
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقّٞۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِٱللَّهِ ٱلۡغَرُورُ ٥ إِنَّ ٱلشَّيۡطَٰنَ لَكُمۡ عَدُوّٞ فَٱتَّخِذُوهُ عَدُوًّاۚ إِنَّمَا يَدۡعُواْ حِزۡبَهُۥ لِيَكُونُواْ مِنۡ أَصۡحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ ٦
“Wahai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu memperdayakan kamu tentang Allah.
Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah dia musuh karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 5—6)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٌ ١٦٨ إِنَّمَا يَأۡمُرُكُم بِٱلسُّوٓءِ وَٱلۡفَحۡشَآءِ وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ١٦٩
“Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dan apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.
Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kalian berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (al-Baqarah: 168—169)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ ٢٠٨
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (al-Baqarah: 208)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ وَمَن يَتَّبِعۡ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَإِنَّهُۥ يَأۡمُرُ بِٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar.” (an-Nur: 21)
Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya (1/209), mengatakan, “‘Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian’, (di sini) ada peringatan untuk menjauh darinya (setan).”
Al-Imam Qatadah dan as-Suddi rahimahumallah mengatakan, “‘Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan’, artinya segala bentuk kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka itulah langkah-langkah setan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/209)
Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa tatkala Adam q diciptakan, diberikan kepadanya hawa nafsu dan syahwat untuk mendapatkan apa yang bermanfaat baginya, serta diberikan sifat marah untuk menolak apa yang akan mengganggunya, dan diberikan akal seolah-olah bagaikan pendidik yang dia menyeru untuk melakukan keadilan dalam segala perkara yang harus diraih dan ditinggalkan. Dan Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan setan, membangkitkan untuk melampaui batas dalam meraih dan meninggalkannya. Maka kewajiban atas orang yang berakal adalah berhati-hati dari musuh ini, yang telah memproklamirkan permusuhannya semenjak Nabi Adam ‘alaihissalam, serta telah menghabiskan umur dan dirinya untuk melakukan kerusakan di tengah-tengah Bani Adam.” (al-Muntaqa an-Nafis, hlm. 51)
Beliau juga mengatakan, “Maka kapan saja setan menggoda seseorang terhadap satu perkara maka hendaklah dia berhati-hati dengan sangat. Hendaklah dia berkata kepadanya (setan) ketika dia menyuruh untuk bermaksiat:
‘Sesungguhnya kamu hanya memerintahkan diriku untuk mencapai syahwat birahiku, lalu bagaimana tampak kebenaran suatu nasihat bagi seseorang yang tidak bisa menasihati dirinya sendiri? Pergilah kamu! Kamu tidak menemukan celah pada diriku’.” (al-Muntaqa an-Nafis, hlm. 53)
Suka Selalu Di atas Adalah Akhlak Iblis
Menyukai hal itu adalah suatu penyakit kronis yang harus segera ditangani dengan penuh saksama dan terus-menerus. Setan akan membisikkan kepadamu bahwa engkau adalah orang alim, ahli ibadah, orang zuhud, qana’ah, dan orang dermawan. Coba lihat teman-temanmu, mereka tidak ada artinya di hadapanmu. Mereka jauh darimu dan mereka tidak akan menyamaimu walaupun seujung kuku kaki atau tanganmu.
Dengarkan bantahan iblis terhadap perintah Allah subhanahu wa ta’ala:
قَالَ يَٰٓإِبۡلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن تَسۡجُدَ لِمَا خَلَقۡتُ بِيَدَيَّۖ أَسۡتَكۡبَرۡتَ أَمۡ كُنتَ مِنَ ٱلۡعَالِينَ ٧٥ قَالَ أَنَا۠ خَيۡرٞ مِّنۡهُ خَلَقۡتَنِي مِن نَّارٖ وَخَلَقۡتَهُۥ مِن طِينٖ ٧٦
“Apa yang menghalangimu untuk sujud kepada apa yang aku telah menciptakannya dengan kedua tangan-Ku, apakah kamu telah menyombongkan diri atau kamu termasuk orang-orang yang lebih tinggi?”
Iblis menjawab, “Aku lebih baik darinya, aku Engkau ciptakan dari api, sedangkan Adam Engkau ciptakan dari tanah.” (Shad: 75—76)
Iblis juga berkata,
قَالَ أَرَءَيۡتَكَ هَٰذَا ٱلَّذِي كَرَّمۡتَ عَلَيَّ
“Dia berkata, ‘Terangkanlah kepadaku, inikah orang yang engkau muliakan atas diriku?’.” (al-Isra: 62)
Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan bahwa maknanya adalah, “Beritakanlah kepadaku apa alasannya Engkau memuliakan dia di atasku?” (al-Muntaqa, hlm. 53)
Cinta untuk selalu di atas akan menghalangi seseorang dari ilmu dan akan menggagalkan perjuangan. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Seseorang yang takabur (sombong) tidak mungkin akan mendapatkan ilmu, karena ilmu itu memerangi kesombongan tersebut seperti mata air yang mengempaskan tempat yang tinggi. Karena tempat yang tinggi akan selalu digoyangkan oleh air ke kanan dan ke kiri sehingga air itu tidak diam. Begitu juga ilmu. Dia tidak akan tinggal bersama kesombongan dan sifat yang suka ketinggian, yang pada akhirnya ilmu tersebut dicabut darinya.” (al-’Ilmu, hlm. 80)
Cinta untuk selalu menjadi orang yang berada di atas adalah satu wujud kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Bila demikian keadaannya maka akan melahirkan kemaksiatan yang baru. Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi rahimahullah mengatakan, “Dosa akan menghasilkan dosa baru, karena balasan perbuatan jahat adalah kejelekan setelahnya.” (Syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, hlm. 440)
Apabila seseorang memiliki penyakit yang demikian maka akan melahirkan penyakit yang lain. Di antaranya:
Pertama, apabila dia melihat orang lain lebih dari dirinya maka dia akan hasad kepada orang tersebut, sampai kelebihan/keutamaan itu hilang dari orang tersebut.
Kedua, apabila dia sampai kepada apa yang dicintainya (diinginkannya) maka dia akan meremehkan orang lain, bahkan meremehkan gurunya sendiri.
Ketiga, apabila dia beramal satu amalan yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain maka akan bermunculan penyakit-penyakit kronis lainnya:
- angkuh (ujub) terhadap dirinya, menganggap dirinyalah yang paling baik,
- muncul sifat riya’ (ingin pamer) dalam beramal supaya orang lain memujinya.
- muncul sifat sum’ah (ingin memperdengarkan amalannya) supaya orang lain memuji-mujinya.
Keempat, apabila datang cercaan kepadanya maka dia menganggap yang demikian itu adalah azab.
Demikianlah sebagian akhlak iblis yang akan menjauhkan seseorang dari Allah subhanahu wa ta’ala. Berhati-hatilah dari akhlak tersebut dengan cara mempelajari perjalanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau, yang telah berjuang di atas perjuangan kita ini dan mereka lebih dari segala-galanya. Kiaskan perjuangan dirimu dengan perjuangan mereka maka kamu akan menemukan dirimu jauh dari mereka. Oleh karena itu, untuk apakah kamu mengangkat dirimu?
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah