Amanah

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)

 

Meminjam sesuatu milik teman, kakak atau adik adalah suatu hal yang lumrah terjadi pada anak-anak. Mainan, baju, buku ataupun yang lainnya. Tetapi kadangkala ini menjadi biang keributan, gara-gara barang yang dipinjam pulang dalam keadaan rusak, atau bahkan hilang tak kembali lagi. Jelas, si anak pemilik barang tak akan bisa terima, sementara si peminjam sedikit pun tak merasa terbebani dengan hal ini.

Barangkali kalau kita telusuri ujung pangkal permasalahan yang terjadi di antara anak-anak ini, kita akan menemukan keharusan dan pentingnya mengajari anak untuk memiliki sifat amanah. Mainan yang dia pinjam, barang yang dititipkan, pesan yang disampaikan, adalah amanah yang harus dia jaga sebaik-baiknya. Tak layak, bahkan terlarang disia-siakan.

Dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah k berfirman:

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa`: 58)

Berkenaan dengan ayat ini, Al-Imam Ibnu Katsir t memberikan penjelasan dalam tafsirnya, “Allah l mengabarkan bahwa Dia memerintahkan untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Dalam hadits Al-Hasan dari Samurah z, bahwa Rasulullah n bersabda:

أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ، وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

“Tunaikanlah amanah pada orang yang memberikan amanah itu kepadamu, dan jangan kau khianati orang yang pernah mengkhianatimu.” (HR. Al-Imam Ahmad dan Ahlus Sunan)1

Hadits ini umum, meliputi amanah-amanah yang wajib ditunaikan oleh setiap orang berupa hak-hak Allah k, seperti shalat, zakat, puasa, kaffarah, nadzar, dan yang lainnya, yang dia diberi beban untuk menunaikannya dan tidak perlu dilihat oleh hamba-hamba yang lain, maupun amanah berupa hak-hak hamba yang harus ditunaikan oleh sebagian mereka pada sebagian yang lain, seperti barang titipan dan yang lainnya yang diamanahkan oleh orang lain tanpa pengawasan secara terang-terangan. Allah k memerintahkan untuk menunaikan itu semua. Siapa yang tidak melaksanakannya di dunia ini, akan diberikan hukuman di akhirat nanti, sebagaimana yang ada dalam hadits shahih, Rasulullah n bersabda:

لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا حَتَّى يُقْتَصَّ لِلشَّاةِ الْجَمَّاءِ مِنَ الْقَرْنَاءِ

“Sungguh-sungguh kalian tunaikan hak pada yang berhak menerimanya, sampai-sampai dituntut qishash untuk kambing yang tidak bertanduk dari kambing yang bertanduk.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/245)

Termasuk di antara konsekuensi perintah untuk menunaikan amanah pada yang berhak menerimanya adalah perintah untuk menjaga amanah tersebut. Tidaklah mungkin seseorang menunaikan amanah itu tanpa menjaganya. Yang dimaksud menjaganya adalah tidak melampaui batas dan tidak pula menyepelekannya. Dia menjaganya sesempurna mungkin tanpa berlebihan dan tanpa meremehkan, sampai amanah itu tertunaikan pada yang berhak menerimanya. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/731)

Inilah yang harus kita ketahui, kemudian kita ajarkan kepada anak-anak, agar terbentuk sifat terpuji yang dapat menambah keimanan dalam diri mereka. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t mengatakan, “Menunaikan amanah termasuk tanda keimanan seseorang. Karena itu, jika kau dapati seseorang memiliki sifat amanah dalam segala sesuatu yang diamanahkan kepadanya, menunaikannya sesempurna mungkin, ketahuilah bahwa dia seorang yang kuat imannya. Dan jika kau dapati seseorang bersifat khianat, ketahuilah bahwa dia lemah imannya.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/731)

Jangan sampai justru kita –orangtua– yang merusak sifat amanah dan membiasakan sifat khianat pada anak-anak. Tentu kita tidak ingin anak kita memiliki sifat tercela yang merupakan perangai orang munafik. Abu Hurairah z mengatakan bahwa Rasulullah n pernah bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda-tanda munafik itu ada tiga: jika bicara berdusta, jika berjanji menyelisihi janjinya, dan jika diberi amanah mengkhianati.” (HR. Al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 107)

Rasulullah n memberitakan hal ini di antaranya agar kita berhati-hati dari sifat-sifat tercela ini, karena semua sifat ini termasuk tanda kemunafikan. Dikhawatirkan sifat kemunafikan dalam amalan (nifaq ‘amali) ini akan menggiring seseorang kepada kemunafikan dalam i’tiqad (keyakinannya), wal ‘iyadzu billah! Hingga akhirnya dia menjadi seorang munafik i’tiqadi, sehingga tanpa sadar dia telah keluar dari Islam. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/736)

Lihat bagaimana seorang ibu yang mulia, Ummu Sulaim x menguatkan sifat amanah yang dimiliki oleh anaknya, Anas bin Malik z. Ini diceritakan sendiri oleh Anas bin Malik z:

أَتَى عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ n وَأَنَا أَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ. قَالَ: فَسَلَّمَ عَلَيْنَا، فَبَعَثَنِي إِلَى حَاجَةٍ، فَأَبْطَأْتُ عَلَى أُمِّي. فَلَمَّا جِئْتُ قَالَتْ: مَا حَبَسَكَ؟ قُلْتُ: بَعَثَنِي رَسُوْلُ اللهِ n لِحَاجَةٍ. قَالَتْ: مَا حَاجَتُهُ؟ قُلْتُ: إِنَّهَا سِرٌّ. قَالَتْ: لاَ تُحَدِّثَنَّ بِسِرِّ رَسُوْلِ اللهِ n أَحَدًا

“Rasulullah n pernah mendatangiku ketika aku sedang bermain-main dengan anak-anak yang lain. Beliau memberi salam kepada kami, lalu menyuruhku untuk suatu keperluan, sehingga aku terlambat pulang kepada ibuku. Ketika aku datang, ibuku bertanya, ‘Apa yang membuatmu terlambat?’ ‘Rasulullah n menyuruhku untuk suatu keperluan,’ jawabku. ‘Apa keperluannya?’ tanya ibuku. Aku menjawab, ‘Itu rahasia.’ Ibuku pun mengatakan, ‘Kalau demikian, jangan kau beritahukan rahasia Rasulullah n kepada siapa pun!’.” (HR. Al-Bukhari no. 6289 dan Muslim no. 2482)

Jangan pula kita ajarkan anak untuk membalas sikap khianat orang lain jika ternyata suatu waktu hal ini menimpa si anak. Bahkan Rasulullah n mengajarkan kita untuk tetap jujur dalam amanah yang diberikan pada kita, walaupun pemilik amanah itu adalah orang yang pernah berlaku khianat pada kita. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:

أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ، وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

tali pernikahan dengan wanita-wanita kafir, dan hendaklah kalian minta mahar yang telah kalian bayarkan, dan hendaknya mereka meminta mahar yang telah mereka bayarkan. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kalian. Dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Sempurna hikmah-Nya.”
Ayat ini adalah ayat ujian bagi wanita-wanita mukminah yang berhijrah. Maka Rasulullah n pun menguji Ummu Kultsum, begitu pula wanita-wanita yang datang setelahnya. Beliau mengatakan, “Demi Allah, tidak ada yang membuat kalian keluar untuk berhijrah kecuali kecintaan terhadap Allah, Rasul-Nya serta agama Islam ini. Dan kalian tidak keluar karena ingin mendapatkan suami ataupun harta.”
Apabila wanita itu menyatakan demikian, maka dia dibiarkan tetap tinggal bersama kaum muslimin dan tidak dikembalikan pada keluarga mereka yang masih kafir.
“Allah telah membatalkan isi perjanjian ini bagi para wanita dengan ayat yang telah kalian ketahui,” kata Rasulullah pada Al-Walid dan ‘Ammarah, kedua saudara Ummu Kultsum. Akhirnya mereka berdua kembali dengan tangan hampa.
Waktu itu, Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah x belum menikah. Setelah kedatangannya di Madinah, dia disunting oleh Zaid bin Haritsah z. Namun ketika turut dalam Perang Mu’tah, Zaid gugur dalam dahsyatnya medan pertempuran. Setelah itu, Ummu Kultsum menikah lagi dengan Az-Zubair ibnul ‘Awwam z. Allah menganugerahkan pada mereka seorang anak perempuan bernama Zainab.
Ternyata dalam perjalanan kehidupan mereka berdua, pernikahan ini berakhir dengan perceraian. Ummu Kultsum menikah lagi dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf z hingga lahir dua orang anak, Ibrahim dan Hamid. Ummu Kultsum tetap berada di sisi ‘Abdurrahman bin ‘Auf sampai sang suami meninggal.
Sepeninggal ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Ummu Kultsum menikah dengan ‘Amr ibnul ‘Ash. Namun sebulan setelah pernikahan itu, Ummu Kultsum meninggal.
Semasa hidupnya, Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah x meriwayatkan hadits dari Rasulullah n. Di antaranya yang termuat dalam Ash-Shahihain, tatkala Rasulullah n bersabda, “Bukanlah pendusta orang yang mendamaikan di antara manusia, lalu dia mengatakan perkataan yang baik atau menyampaikan ucapan yang baik.”
Dia juga meriwayatkan dari Busrah bintu Shafwan x. Kedua putranya dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Ibrahim dan Hamid, meriwayatkan hadits yang disampaikannya.
Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah, semoga Allah meridhainya.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber Bacaan:
Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar (8/462-464)
Al-Isti’ab, Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (2/593-594)
Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam Ibnu Sa’d (10/218-220)
Tahdzibul Kamal, Al-Imam Al-Mizzi (35/382)

1 Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 240.
2 HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 183, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 136. Al-Imam Muslim meriwayatkan pula dalam Shahih-nya dengan lafadz:
لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، حَتَّى يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ الْقَرْنَاءِ
“Sungguh-sungguh kalian akan menunaikan hak pada yang berhak menerimanya pada hari kiamat, sampai-sampai dituntut qishash untuk kambing yang tidak bertanduk dari kambing yang bertanduk.”