AsySyaima’ Bintu al-Harits

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu Imran)

Alangkah sukacita hati Abdul Muththalib tatkala sang cucu telah lahir. Segera dibawanya bayi itu ke Ka’bah. Di sana dia panjatkan rasa syukur kepada Allah l, seraya memberinya nama Muhammad.
Sebagaimana kebiasaan masa itu, setiap bayi yang baru lahir selalu dicarikan ibu susuan. Saat itu, serombongan wanita Bani Sa’d bin Bakr dari suku Hawazin datang ke Makkah untuk mencari bayi-bayi yang hendak mereka susui dengan mengharap upah dari ayah sang bayi. Selang beberapa waktu, para wanita itu telah memperoleh anak susuan masing-masing.
Tinggallah Halimah bintu al-Harits yang belum mendapatkan bayi. Tinggallah pula seorang bayi yatim bernama Muhammad. Wanita lain tak berminat memungutnya sebagai anak susuan. Mereka berpikir, apa yang bisa diharapkan dari ibu si bayi, sementara ayahnya telah tiada? Begitu pulalah yang ada dalam pikiran Halimah.
Namun apa boleh buat, tak ada lagi bayi yang tersisa kecuali Muhammad kecil, sementara rombongan sudah siap bertolak pulang. Halimah pun tak ingin pulang dengan tangan kosong. Berarti tak ada pilihan lain selain membawa bayi yatim itu kembali ke perkampungannya.
“Tidak mengapa kaulakukan,” ujar al-Harits, suaminya, “Mudah-mudahan Allah jadikan berkah pada dirinya untuk kita!”
Dibawalah bayi Muhammad di atas tunggangan menuju perkampungan Bani Sa’d bin Bakr.
Semenjak Muhammad kecil berada di tangannya, keluarga Halimah senantiasa mendapat curahan berkah. Bahkan nanti di kemudian hari, setelah Muhammad n menjadi seorang rasul, berkah itu merambah seluruh suku Hawazin, hingga mereka dilepaskan dari tawanan pasukan muslimin karena hubungan susuan ini.
Di sana, di perkampungan Bani Sa’d bin Bakr di tengah suku Hawazin, Rasulullah n melalui masa kecilnya dalam asuhan ibu susuan dan saudara perempuan sesusuannya yang turut mengasuhnya, asy-Syaima’ bintu al-Harits bin Abdil ‘Uzza bin Rifa’ah.
Saat mengasuh Rasulullah n, asy-Syaima’ pernah melantunkan syair:
Duhai, Rabb kami tetapkanlah Muhammad bersama kami
hingga kulihat dia sebagai pemuda yang tumbuh dewasa
lalu kulihat dia menjadi pemimpin yang begitu mulia.
kalahkanlah musuh-musuh dan orang yang dengki kepadanya
serta limpahkan kemuliaan yang kekal selamanya.
Asy-Syaima’ biasa menggendong Rasulullah n. Suatu ketika, Muhammad kecil menggigit punggung asy-Syaima’ hingga meninggalkan bekas.
Waktu berlalu, masa berganti. Tahun ke-8 Hijriyah, sebulan setelah Fathu Makkah, pasukan kaum muslimin berhadapan dengan Hawazin dalam pertempuran Hunain. Dengan pertolongan Allah l, pasukan Rasulullah n berhasil melumpuhkan pasukan Hawazin.
Sebagaimana para wanita Hawazin lain yang jatuh sebagai tawanan pasukan muslimin, asy-Syaima’ pun ikut tertawan.
Kepada para sahabat, asy-Syaima’ mengaku, “Aku ini saudara perempuan teman kalian (Rasulullah n, pen.).”
Mendengar pengakuan itu, mereka pun membawa asy-Syaima’ ke hadapan Rasulullah n.
“Wahai Muhammad,” ujar asy-Syaima’ setiba di hadapan beliau, “Aku ini saudara perempuanmu sesusuan.”
“Apa tandanya?” tanya beliau.
“Ada bekas gigitanmu di punggungku ketika dulu aku menggendongmu,” tutur asy-Syaima’.
Rasulullah n pun mengenali tanda itu. Segera beliau membentangkan selendangnya dan mempersilakan asy-Syaima’ duduk di situ, lalu melayaninya dengan baik.
“Kalau kau mau, tinggallah bersamaku dalam keadaan dicintai dan dimuliakan. Akan tetapi, kalau kau ingin aku memberimu pemberian, kembalilah ke tengah kaummu,” Rasulullah n memberi tawaran.
“Aku memilih kembali ke kaumku,” jawab asy-Syaima’.
Saat itulah asy-Syaima’ masuk Islam. Rasulullah n pun memberinya sepasang budak yang akhirnya dinikahkan.
Doa yang tersirat dalam bait syair asy-Syaima’ kini telah Allah l kabulkan.
Asy-Syaima’ bintu al-Harits, semoga Allah l meridhainya.

Sumber bacaan:
• al-Bidayah wan Nihayah, al-Hafizh Ibnu Katsir (2/269,278—279)
• al-Ishabah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani (8/205—206)
• al-Isti’ab, al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (2/538)
• Shahihus Sirah An-Nabawiyyah, al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani (hlm. 19)