Ayah Bunda Terimalah Baktiku

Di masa sekarang, anak yang benar-benar mau berbakti kepada orang tua jumlahnya sungguh sedikit. Yang sering dijumpai adalah sebaliknya, anak yang tidak tahu berterima kasih kepada orang yang telah membesarkannya. Ketika orang tua berusia lanjut dan sakit-sakitan, sang anak bukannya memberikan perawatan tapi malah memasukkan mereka ke panti jompo. Inilah realita yang banyak terjadi di sekitar kita.

Anak merupakan idaman setiap orang. Ia tidak hanya didamba oleh orang yang sudah berkeluarga, namun tak jarang juga oleh mereka yang masih melajang. Kehadiran anak merupakan penyemarak kehidupan sebuah keluarga. Tanpa mereka, harihari sebuah keluarga laksana sayur tanpa garam. Terasa hambar dan tidak lengkap.

Begitu berartinya anak bagi sebuah keluarga hingga terkadang orang-orang yang belum dikaruniai anak mau menempuh segala cara untuk mendapatkan harapannya itu. Mereka lupa bahwa anak adalah pemberian dari Allah subhanahu wa ta’ala, yang mestinya hanya kepada-Nya mereka meminta.

Bagi orang-orang yang beriman, mereka menyadari bahwa anak merupakan nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala sekaligus sebagai ujian. Dalam ruku’ dan sujud serta dalam segala munajat, mereka meminta agar dikaruniai keturunan yang baik, yaitu anak-anak yang saleh dan berbakti kepada orang tuanya.

Kehadiran anak akan menjadi penyejuk mata orang tua, menjadi penggembira ketika susah, menjadi penghangat ketika kedinginan, serta menjadi penghibur kalbu ketika gundah gulana. Kalimat “Anakku sayang,” akan senantiasa terucap meski sang ibu atau bapak sedang mengalami sakit yang parah. “Biar bapakmu susah asal kamu tetap senang,” demikian ucapan seorang bapak yang sangat sayang pada anaknya.

رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا ٧٤

“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Furqan: 74)

Namun aduhai, tidak sedikit para bapak dan ibu memberikan cinta dan kasih sayang secara berlebihan hingga mencampakkan anaknya ke jurang kerugian hidup dunia dan akhirat. Semua keinginan anak berusaha untuk dipenuhi apa pun bentuknya: televisi, gitar, dan alat-alat musik lainnya, gambar-gambar, dan segala bentuk permainan berusaha didapatkan, baik dengan cara menipu, menjilat, korupsi, mencuri, merampok dsb. Sungguh malang nasib kedua orang tua di dunia dan akhirat, dan betapa malang pula nasib anak yang tidak diikat dengan batasan syariat.

Di sisi lain terkadang ada seorang anak yang keadaannya bagai burung dalam sangkar. Keinginan anak untuk menjadi orang saleh dan menjadi seorang hamba yang mulia di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, justru mendapatkan ancaman yang pahit dan lecutan cemeti, caci maki, serta olok-olok dari orang tuanya.

Semburan ludah, tamparan ke wajah sang anak, pemboikotan harus mengiringi kehidupan dan derap langkah serta kemerdekaannya. Apa yang diinginkan orang tuanya dari buah hatinya itu? Ternyata mereka menginginkan anaknya menyandang gelar keduniaan dengan menutup keinginannya mendapatkan gelar akhirat.

Orang tua itu berharap dengan gelar keduniaan yang diraih akan mendatangkan sesuap nasi dan bisa mengantarkan kepada kehidupan mewah. Walaupun untuk mendapatkan gelar itu harus berkecimpung dalam api neraka Allah subhanahu wa ta’ala.

Wahai ibu dan bapak, akankah engkau menggiring dan memandu anakmu di atas duri-duri dan kaca-kaca tajam untuk meraih keinginanmu dan bukan keinginan anakmu?

Demikianlah gambaran kehidupan anak yang harus menghadapi orang tua yang memiliki keinginan berbeda-beda dan begitu juga orang tua yang menghadapi anak-anak memiliki cita-cita yang berbeda.

Wahai ibu, bapak, dan anak, dengarkanlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila anak Adam meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak yang saleh yang akan mendoakan kedua orang tuanya.” (HR. Muslim no. 1631 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Dengarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱتَّبَعَتۡهُمۡ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَمَآ أَلَتۡنَٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَيۡءٖۚ كُلُّ ٱمۡرِيِٕۢ بِمَا كَسَبَ رَهِينٞ ٢١

“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka dan kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka, tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (ath-Thur: 21)

 

Peranan Orang Tua

Orang tua memiliki peranan besar dalam mengubah fitrah seorang anak. Dia bisa menjadi sebab bagi anak menjadi orang yang celaka di dunia dan akhirat, dan bisa pula menjadi sebab bagi anak menjadi orang yang selamat di dunia dan akhirat. Tentu semua itu tidak terlepas dari takdir Allah subhanahu wa ta’ala.

  1. Orang tua menyeru buah hatinya menuju kekufuran

Di antara orang tua ada yangdengan sengaja menyeru anaknya menuju kekufuran kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan menuju kesesatan dengan tidak sedikit disertakan ancaman-ancaman, pembunuhan, pengucilan, pengusiran, penyiksaan, dan sebagainya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan hal yang demikian di dalam sabdanya,

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah (kesucian) maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” ( HR. al-Bukhari no. 1279, Muslim no. 2658, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Abu ‘Amr ‘Utsman bin Sa’id ad-Dani al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Makna ‘keduanya menjadikan Yahudi atau Nasrani’ adalah keduanya menghukumi anak itu sebagaimana hukum terhadap diri keduanya (dengan Yahudi, Nasrani, Majusi. –pen.). Ada yang mengatakan (bahwa maknanya) keduanya menyeru anaknya menuju agama yang dia berada di atasnya dari Yahudi atau Nasrani.” (ar-Risalah al-Wafiyah hlm. 97)

Demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang orang tua yang memiliki pengaruh demikian besar dalam mengubah kesucian fitrah seorang anak.

Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan di dalam al-Qur’an percakapan antara Ibrahim ‘alaihissalam dan ayahnya,

إِذۡ قَالَ لِأَبِيهِ يَٰٓأَبَتِ لِمَ تَعۡبُدُ مَا لَا يَسۡمَعُ وَلَا يُبۡصِرُ وَلَا يُغۡنِي عَنكَ شَيۡ‍ٔٗا ٤٢ يَٰٓأَبَتِ إِنِّي قَدۡ جَآءَنِي مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَمۡ يَأۡتِكَ فَٱتَّبِعۡنِيٓ أَهۡدِكَ صِرَٰطٗا سَوِيّٗا ٤٣ يَٰٓأَبَتِ لَا تَعۡبُدِ ٱلشَّيۡطَٰنَۖ إِنَّ ٱلشَّيۡطَٰنَ كَانَ لِلرَّحۡمَٰنِ عَصِيّٗا ٤٤ يَٰٓأَبَتِ إِنِّيٓ أَخَافُ أَن يَمَسَّكَ عَذَابٞ مِّنَ ٱلرَّحۡمَٰنِ فَتَكُونَ لِلشَّيۡطَٰنِ وَلِيّٗا ٤٥ قَالَ أَرَاغِبٌ أَنتَ عَنۡ ءَالِهَتِي يَٰٓإِبۡرَٰهِيمُۖ لَئِن لَّمۡ تَنتَهِ لَأَرۡجُمَنَّكَۖ وَٱهۡجُرۡنِي مَلِيّٗا ٤٦

“Ingatlah ketika Ia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya, ‘Wahai ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak bisa mendengar, tidak melihat, dan tidak bisa menolongmu sedikit pun?

Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.

Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Rabb Yang Maha Pemurah.

Wahai bapakku sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Rabb Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.’

Berkata bapaknya, ‘Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama’.” (Maryam: 42—46)

 

  1. Sebagian orang tua menyeru menuju kebahagiaan hidup di atas iman

Inilah tentu yang dimaukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan di dalam al-Qur’an tentang Nabi Nuh ‘alaihissalam,

وَقَالَ ٱرۡكَبُواْ فِيهَا بِسۡمِ ٱللَّهِ مَجۡرٜىٰهَا وَمُرۡسَىٰهَآۚ إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٞ رَّحِيمٞ ٤١ وَهِيَ تَجۡرِي بِهِمۡ فِي مَوۡجٖ كَٱلۡجِبَالِ وَنَادَىٰ نُوحٌ ٱبۡنَهُۥ وَكَانَ فِي مَعۡزِلٖ يَٰبُنَيَّ ٱرۡكَب مَّعَنَا وَلَا تَكُن مَّعَ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٤٢

“Dan Nuh berkata, ‘Naiklah kamu sekalian ke dalamnya (perahu) dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ Dan bahtera itu berlayar dan membawa mereka dalam gelombang laksana gunung dan Nuh memanggil anaknya, sesungguhnya anaknya berada di tempat yang jauh terpencil, ‘Hai anakku, naiklah ke (kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang kafir’.” (Hud: 41—42)

Kedua jenis seruan di atas terkait dengan keputusan dan ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap diri sang anak. Artinya, bahwa kedua orang tua bagaimanapun dia mengusahakan agar anaknya kafir, tetap dia tidak sanggup tanpa seizin dari Allah subhanahu wa ta’ala. Begitu juga sebaliknya, setinggi apa pun usaha keduanya agar anaknya menjadi orang yang saleh, bila tidak ada izin dari Allah subhanahu wa ta’ala maka keduanya tidak akan sanggup.

 

Anak yang Baik

Birrul Walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua) dan tidak durhaka adalah wajib, bahkan Allah subhanahu wa ta’ala gandengkan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan perintah menyembah-Nya semata. Hal ini menunjukkan besarnya kedudukan birrul walidain.

 Bentuk-bentuk Birrul Walidain

  1. Menaati perintah keduanya serta menjauhi larangannya selama tidak dalam rangka bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Sebab tidak ada kewajiban taat kepada siapa pun dalam bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗاۖ

“Dan jika keduanya memaksamu untuk kamu menyekutukan Aku dan kamu tidak memiliki ilmu tentangnya maka janganlah kamu menaati keduanya dan pergaulilah mereka di dunia dengan cara yang baik.” (Luqman: 15)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ، إِنَّمَا الطَّاعَةَ فِي الْمَعْرُوْفِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)

  1. Memuliakan keduanya dan merendah di hadapannya, berucap dengan ucapan yang baik serta tidak membentaknya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلٗا كَرِيمٗا ٢٣ وَٱخۡفِضۡ لَهُمَا جَنَاحَ ٱلذُّلِّ مِنَ ٱلرَّحۡمَةِ

“Jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya telah lanjut usia dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik, dan rendahkan dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang.” (al-Isra: 23—24)

  1. Tidak melakukan safar (perjalanan) jauh kecuali dengan seizin keduanya, begitu juga jihad yang hukumnya fardhu kifayah. Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma berkata,

عَلىَ أَقْبَلَ رَجُلٌ إِلىَ نَبِيِّ اللهِ فَقَالَ: أُبَايِعُكَ الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ أَبْتَغِي اْلأَجْرَ مِنَ اللهِ تَعَالَى فَقَالَ: فَهَلْ لَكَ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَيٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ، بَلْ كِلاَهُمَا. قَالَ: فَتَبْتَغِي اْلأَجْرَ مِنَ اللهِ تَعَا ؟َىل قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَارْجِعْ إِ وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا

“Seseorang menghadap Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Aku memba’iatmu di atas hijrah dan jihad untuk mencari pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala.’ Rasulullah berkata, ‘Apakah salah seorang dari kedua orang tuamu masih hidup?’ Dia menjawab, ‘Ya, bahkan keduanya.’ Beliau bersabda, ‘Kamu ingin mencari pahala dari Allah?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan berbuat baiklah kepada keduanya’.” (HR. al-Bukhari, 6/97, 98, dan Muslim no. 2549)

  1. Tidak boleh mendahulukan istri dan anaknya atas hak kedua orang tua. Ini berdasarkan hadits tentang tiga orang yang masuk ke dalam gua lalu gua tersebut tertutup dengan batu sehingga tidak bisa keluar darinya. Lalu ketiga orang tersebut berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara bertawassul dengan amalamal mereka yang saleh. Salah satu di antara mereka bertawassul dengan amal mengutamakan hak kedua orang tuanya dari hak anak-anak dan istrinya. ( al-Bukhari no. 2272 dan Muslim no. 2743 dari sahabat Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma)
  2. Bersyukur terhadap segala bentuk pengorbanannya dengan melaksanakan segala wujud kebaikan seperti memberi keduanya makan dan pakaian jika membutuhkan, mengobati bila keduanya sakit, menghilangkan segala macam gangguan dan berkhidmat terhadap segala sesuatu yang dibutuhkannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ

Dan Kami telah memerintahkan kepada manusia untuk (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, karena ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah di atas kelemahan dan menyapihnya selama dua tahun maka bersyukurlah kamu kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” (Luqman: 14)

  1. Menyambung silaturahmi yang berasal dari keduanya dan mendoakan keduanya dengan segala ampunan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَقُل رَّبِّ ٱرۡحَمۡهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرٗا ٢٤

“Dan katakanlah, ‘Ya Allah, rahmatilah keduanya sebagaimana keduanya telah mendidikku semasa kecilku.” (al-Isra: 24)

 

  1. Bentuk-bentuk kedurhakaan kepada keduanya

Hal ini merupakan lawan dari hal yang disebutkan sebelumnya. Mencaci maki keduanya, membentak dan menghardik, memukul, memperbudak, mengkhianati, mendustakannya, menipu, tidak taat kepada perintah keduanya, dan sebagainya, merupakan beberapa bentuk kedurhakaan kepada kedua orang tua.

Jadikanlah kedua orang tuamu sebagai ladangmu untuk mempersiapkan diri dan tempat bercocok tanam untuk akhiratmu! Jadikanlah keduanya sebagai jembatan pengantar dirimu menuju surga Allah subhanahu wa ta’ala!

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

        رَغِمَ أَنْفُهُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ. قِيْلَ: مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ

“Nista dan hinanya, nista dan hinanya, nista dan hinanya.”

Lalu ditanyakan, “Siapa, wahai Rasulullah?”

Beliau berkata, “Yaitu yang menjumpai kedua orang tua lalu tidak menyebabkan dia masuk ke dalam surga.” (HR. Muslim no. 2551 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu) Wallahu a’lam.

 

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi

berbakti pada orang tua