Akad nikah terlaksana sudah. Dimulailah kehidupan baru sepasang insan, yang satu dengan lainnya sebelumnya masih asing1. Namun, kini sebuah atap menjadi naungan bersama dan sebuah kamar menjadi tempat peristirahatan berdua. Padahal sebelumnya tidak ada hubungan dan tidak ada ikatan, bahkan mungkin tidak saling mengenal dengan baik. Karena itu, di masa-masa awal ini, keduanya akan melewati tahapan yang menentukan.
Apabila masing-masing tidak mau “belajar” bagaimana bergaul yang baik dengan pasangannya dan tidak mau memahami sifat teman hidupnya, bagaimana dia, kesenangannya, apa yang tidak disukainya, dan yang lainnya, dikhawatirkan istana yang baru saja dibangun akan runtuh. Bulan-bulan awal kehidupan berumah tangga adalah masa untuk mempelajari dan memahami tabiat teman hidup. Lalu setiap pihak memosisikan diri agar bisa sesuai dengan pasangannya, bagaimana menyiasati perbedaan yang ada dan menutupi kekurangan yang pasti ada. Semuanya dimaksudkan agar terwujud kehidupan rumah tangga yang bahagia.
Seorang suami harus menyadari bahwa keberadaan istrinya seperti tawanan di sisinya2. Sebelumnya, dia hidup merdeka di rumah orang tuanya, tanpa ada yang bisa memaksakan kemauan dan pendapat kepadanya. Dengan menikah, keadaan pun berubah. Si istri terikat dengan keharusan taat dalam urusan yang bukan dosa, tanpa bisa menghindarinya. Dia tak lagi bisa bebas melakukan apa yang diinginkannya tanpa musyawarah dengan suaminya. Sementara itu, tawanan dalam Islam memiliki hak untuk dimuliakan, dikasihi, tidak dizalimi, dan harus diperlakukan dengan baik.
Seorang istri harus menerima kenyataan bahwa ikatan yang dijalinnya dengan sang suami menjadikan keadaannya sekarang berbeda dengan sebelumnya. Dia tidak lagi bebas melakukan apa yang diinginkannya karena sekarang sering ada yang berkata kepadanya, “Tinggalkan itu!” atau “Lakukan ini!” Seorang wanita yang berakal budi tentunya tidak akan merasa enggan dengan keadaan baru yang didapatinya. Ia tidak memandang hal itu sebagai pengekangan terhadap kebebasannya. Bahkan, wanita yang berakal lurus rela melepas semuanya, menjadi apa yang diinginkan suaminya, demi kebahagiaan dan ketenangan hidup bersama suaminya.
Di hari-hari awal, bisa jadi seorang suami mendapati istrinya bukanlah wanita yang seperti dalam impiannya atau yang masuk kriterianya. Apabila hal ini terjadi, janganlah si suami terburu-buru mengambil tindakan yang bisa jadi akan berbuah sesal. Boleh jadi, setelah lewat hari-hari yang berbilang atau berlalu masa yang panjang, dia temukan kebahagiaan yang sama sekali tidak pernah dibayangkannya atau tidak pernah ada dalam mimpinya. Hendaklah sabda Rasulullah n berikut ini menjadi perhatian,
لاَ يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Bisa jadi, ia benci dari si istri satu perangai, dia akan ridha terhadap perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469 dari sahabat Abu Hurairah z)
Hadits ini, kata al-Imam an-Nawawi t, memberi arahan agar seorang suami tidak membenci istrinya. Sebab, apabila ada perangai yang tidak disukainya dari si istri, dia bisa mendapatkan perangai lain yang disenanginya. Misalnya, ada sikap yang tidak baik dari si istri terhadapnya, namun istrinya seorang wanita yang berpegang dengan agama, berparas cantik, pandai menjaga kehormatan dirinya, seorang yang lemah lembut, atau kelebihan lainnya yang menyenangkannya. (al-Minhaj, 10/58)
Dengan demikian, apabila suami tidak menyukai sesuatu dari istrinya, janganlah yang dia pandang hanya perkara yang tidak disukainya. Carilah sisi-sisi positif dari si istri sehingga ketidaksukaannya tersebut tidak membuatnya membenci istrinya yang berujung dengan menceraikannya.
Bisa jadi, si suami melihat istrinya punya kekurangan di satu sisi, tetapi di sisi lain dia adalah wanita yang paling utama dan terbaik.
Janganlah seorang lelaki melihat wanita dari sisi kecantikannya saja karena kecantikan bukanlah segalanya. Betapa banyak wanita cantik, tetapi menyimpan lisan yang jelek, suka membocorkan rahasia suaminya. Rambut suaminya cepat beruban karena memikirkan tingkah istrinya yang jelita. Mau dicerai, khawatir anak-anak jadi korban! Apabila seperti ini yang terjadi, apa artinya kecantikan?
Di samping itu, kecantikan sendiri adalah perkara nisbi atau relatif, berbeda-beda menurut pandangan dan penilaian orang. Bisa jadi, seorang wanita dinilai cantik oleh seseorang, namun bagi yang lain tidaklah cantik, atau sebaliknya.
Betapa banyak wanita yang kebagusan akhlaknya menjadikannya cantik sehingga bagi suaminya dia adalah sesuatu yang paling mahal di dunia. Betapa banyak kita saksikan lelaki mencintai seorang wanita yang tidak cantik, namun di sisi si lelaki kekasihnya itu adalah wanita tercantik.
Disebutkan, Ismail ibnu Jami’ menikah dengan seorang wanita berkulit hitam bekas sahaya. Maryam namanya. Suatu ketika saat safar meninggalkan istrinya, rasa rindu kepada kekasih yang halal menyergapnya. Syair kerinduan pun didendangkannya, disanjungnya sang istri yang digambarkannya bak bidadari. Ketika mendengar syairnya, ar-Rasyid bertanya, “Siapa Maryam-mu yang kau sifati seperti hurun ‘in (wanita surga)?” “Istriku,” jawab Ismail. Padahal kenyataannya istrinya tidaklah seperti yang disifatkannya. Memang, cinta menjadikan segalanya indah!
Apa yang kita katakan tentang wanita, juga berlaku bagi lelaki. Ketampanan seorang lelaki ada pada akhlak dan pergaulannya yang baik terhadap istrinya.
Kita kembali pada pembicaraan semula….
Apabila seorang suami tidak mendapati adanya rasa cinta kepada istrinya, hendaklah dia berusaha dengan sungguh-sungguh memupuk cinta tersebut. Ibarat sebuah kebun, apabila digarap dan ditanami, ia akan tumbuh. Namun, apabila disia-siakan dan dibiarkan begitu saja, ia akan menjadi kering, tandus, dan tidak memberi hasil seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, hendaknya dia menyabarkan diri bergaul secara baik dengan istrinya, melihat sisi-sisi kebaikannya, menghargai apa yang dilakukan si istri untuknya, dan terus menemaninya. Semoga di suatu hari kelak, cinta akan bersemi, seperti kata orang, “Cinta itu tumbuh karena sering bersama (witing tresno jalaran soko kulino, Jw.).”
Terkadang, cinta itu memang datang di kemudian hari, ketika usia tidak muda lagi. Ada suami istri, di saat-saat awal pernikahan sering timbul perselisihan di antara mereka. Kemudian mereka tersibukkan dengan anak-anak yang lahir di tengah mereka. Mengasuh, membesarkan, mendidik, dan mencari rezeki untuk menghidupi anak-anak adalah pekerjaan yang berat bagi mereka, menyita waktu dan pikiran. Mereka tersibukkan dengan semua itu dari memikirkan “adakah cinta?” Tatkala keduanya mencapai usia empat puluh tahun, di saat anak-anak berangkat remaja atau bahkan satu per satu meninggalkan rumah mereka guna mencari penghidupan di kota lain atau membentuk keluarga sendiri, masing-masing merasa bahwa pasangannya demikian berharga bagi dirinya. Datanglah rahmah dan mawaddah di tengah-tengah kebersamaan mereka. Sebuah rasa yang sepertinya dahulu belum pernah hadir di antara mereka.
Sudah menjadi kemestian bagi sepasang suami istri untuk memilih ucapan-ucapan yang baik saat berbicara dengan pasangannya. Seorang istri saat berbicara dengan suaminya hendaknya tidak bersuara lantang dan keras karena hal itu menunjukkan buruknya tabiat. Hendaklah seorang istri lembut dalam berbicara dengan suaminya dan merendahkan suara di hadapannya. Jangan memandang suami terus-menerus dengan pandangan tajam sebagaimana halnya tatapan orang yang marah atau penuh selidik. Namun tataplah suami, tunduk dan arahkan pandangan ke bawah karena segan, hormat, dan malu kepadanya.
Saat diajak bicara oleh suaminya, tidak pantas seorang istri berpaling dari suaminya atau menyibukkan diri dengan urusan lain, padahal bisa jadi suaminya mengajaknya bicara dalam suatu urusan yang menurut suami adalah urusan yang sangat penting.
Demikian juga betapa pantasnya bagi suami jika memilih kata-kata yang baik, kalimat-kalimat yang menyenangkan saat berbicara dengan istrinya. Hal ini akan menambah rasa sayang dan cinta istri kepadanya. Jangan sampai seorang suami menjelekkan istrinya, menyebut-nyebut kekurangannya karena indahnya ucapan adalah kenikmatan.
Mengapa ada orang-orang yang berusaha mempelajari cara berkata-kata yang baik kepada semua orang, sedangkan dia tidak berusaha demikian terhadap istrinya yang adalah serikat hidupnya?
Rasulullah n pernah bersabda,
الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Ucapan yang baik itu adalah sedekah.”
Maka dari itu, periksalah dirimu, wahai suami. Adakah lisanmu bergandengan selalu dengan kalimat-kalimat yang baik dan menyenangkan hati istrimu?
Lihatlah dirimu, wahai istri. Adakah Anda jadikan ucapan yang baik sebagai perantara untuk masuk menempati hati suamimu? Saat dia masuk rumah, adakah dia mendengar perkataan indah mengalir dari lisanmu? Apakah ketika lama dia meninggalkan rumah, datang telepon menanyakan kabarnya dengan kalimat yang indah? Atau datang kepadanya surat menuturkan kerinduan?
Al-Hafizh Ibnu Katsir t menyatakan, suami hendaknya memperindah ucapannya saat berbicara dengan istrinya dan membaguskan perbuatan serta penampilannya sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana halnya seorang suami menuntut yang demikian dari istrinya, dia pun berbuat yang sama karena Allah l berfirman,
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (al-Baqarah: 228). (Tafsir al-Qur’anil Azhim, 2/173)
Betapa indahnya ketika senyuman menjadi syiar di antara suami istri. Senyum memiliki pengaruh yang dalam untuk melunakkan hati dan menggembirakan orang yang diberi senyuman. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Rasul yang mulia n menyatakan,
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيْكَ صَدَقَةٌ
“Senyumanmu di wajah saudaramu adalah sedekah.” (HR. at-Tirmidzi dan selainnya, hadits ini hasan sebagaimana dinyatakan demikian dalam ash-Shahihah no. 572)
Rasulullah n adalah seorang yang murah senyum, sebagaimana persaksian Jarir ibnu Abdillah al-Bajali z terkait dengan dirinya,
مَا حَجَبَنِي رَسُوْلُ اللهِ n مُنْذُ أَسْلَمْتُ وَمَا رَآنِي إِلاَّ تَبَسَّمَ
“Rasulullah n tidak pernah melarangku untuk masuk menemui beliau sejak aku berislam dan tidaklah beliau melihatku selain dalam keadaan tersenyum.” (HR. al-Bukhari no. 3822 dan Muslim no. 6313)
Senyuman memang memiliki pengaruh yang besar di hati orang yang Anda jumpai. Lantas, bagaimana kiranya apabila yang tersenyum itu adalah teman yang selalu menyertai dalam merajut hari-hari?
Bisa jadi, seseorang mendapati pasangannya memiliki kekurangan dalam satu sisi pergaulannya. Apabila demikian, janganlah dia membalas dengan bersikap kurang pula. Semestinya, dia berbuat karena Allah l. Allah l-lah yang memerintahkannya untuk bergaul secara ma’ruf dengan pasangannya. Seharusnya dia melakukan sesuatu yang membuat Allah l ridha terhadapnya walau apa yang dilakukannya tidak diimbangi oleh pasangannya. Seseorang yang selalu menghadirkan pengawasan Allah l terhadap dirinya tentu pantas sekali beroleh pertolongan-Nya dan diberi taufik kepada kebaikan.
Seorang istri hendaklah memerhatikan, adakah dirinya menjadi ketenteraman bagi suaminya, yang suaminya merasa tenteram dan tenang padanya, menemukannya sebagai tempat berlabuh setelah kepayahan di luar sana, tempat berbagi rasa, suka, dan derita. Tempatnya beristirahat dari kepenatannya mencari penghidupan. Kembali ke rumah didapatkannya sambutan yang manis, rumah yang penuh keteduhan dan terjaga kebersihannya. Tidaklah dia mendengar selain kebaikan. Matanya tidak mendapati selain yang baik. Sungguh, apabila istri menghendaki suaminya menjadi penyejuk matanya, hendaklah dia juga menjadi penyejuk mata bagi suaminya.
Nasihat Indah untuk Pengantin Putri
Abdullah ibnu Ja’far c3 menasihati putrinya di saat pernikahannya, “Hati-hatilah dirimu dari cemburu yang tidak pada tempatnya karena itu adalah kunci perceraian. Hati-hati dari banyak mencela karena hal itu akan mewariskan kebencian. Selalulah Ananda memakai celak karena celak adalah perhiasan yang paling bagus. Dan wewangian yang terbaik adalah air.”
Seorang ibu pernah menasihati putrinya pada malam pengantinnya, “Haruslah Ananda bersifat qana’ah, menerima apa adanya dan merasa cukup, mendengar dan taat kepada suamimu.
Jagalah kehormatan dirimu dan harta suamimu. Bantulah dia dalam pekerjaannya. Lakukan apa yang membuatnya senang, jaga rahasianya dan jangan Ananda langgar perintahnya. Tutuplah kekurangannya. Jaga lisanmu. Perhatikan tetanggamu dan tetaplah kokoh dalam keimananmu.”
Dalam kitab Tuhfatul ‘Arus karya Mahmud Mahdi al-Istambuli (hlm. 85—86) dibawakan nasihat indah yang mengharukan dari seorang ibu kepada putrinya sebelum pernikahan sang putri.
Ummu Mu’ashirah, demikian kuniah ibu tersebut, berkata kepada putrinya sambil tersenyum dan berlinang air mata, “Wahai putriku! Engkau akan menghadapi kehidupan yang baru. Kehidupan yang di dalamnya tidak ada tempat bagi ibumu, ayahmu, atau seorang pun dari saudara-saudaramu.
Engkau akan menjadi teman bagi seorang lelaki yang dia tidak ingin ada seorang pun menyertainya dalam memilikimu, sampai pun itu daging dan darahmu. Jadilah dirimu, wahai putriku, sebagai istri (yang baik) baginya dan jadilah engkau ibu baginya. Jadikanlah dia merasa bahwa engkau adalah segalanya dalam hidupnya dan segalanya bagi dunianya.
Ingatlah selalu bahwa lelaki itu, siapa pun dia, sebenarnya adalah anak kecil yang sudah besar sehingga sedikit saja kata yang manis sudah membuatnya senang. Jangan sampai engkau membuat dia merasa bahwa pernikahannya denganmu telah menghalangimu dari keluargamu dan kerabatmu. Sungguh, perasaan demikian terkadang menyergapnya. Dia juga harus meninggalkan rumah kedua orang tuanya dan meninggalkan keluarganya karena dirimu. Hanya saja, perbedaan antara engkau dan dia adalah perbedaan antara perempuan dan lelaki. Perempuan selalu merindukan keluarganya, rumahnya tempat dia dilahirkan, tumbuh dan besar, dan tempat dia belajar banyak hal.
Akan tetapi, mau tidak mau dia memang harus membiasakan dirinya dengan kehidupan yang baru. Dia harus membentuk kehidupannya yang baru bersama seorang lelaki yang telah menjadi suaminya, menjadi seorang pemimpinnya dan ayah bagi anak-anaknya kelak.
Inilah duniamu yang baru.
Wahai putriku, inilah yang akan engkau hadapi sekarang. Inilah masa depanmu. Inilah keluargamu yang akan menyertai kalian berdua—engkau dan suamimu—dalam membentuk kehidupan barumu.
Adapun ayah dan ibumu, keduanya adalah masa lalumu. Ibu tidak bermaksud memintamu untuk melupakan ayah, ibu, dan saudara-saudaramu, karena mereka sendiri selamanya tidak mungkin melupakanmu, wahai sayangku! Bagaimana mungkin seorang ibu bisa melupakan buah hati, belahan jiwanya? Akan tetapi, yang ibu minta darimu, cintailah suamimu, hiduplah menyertainya, dan berbahagialah dengan kehidupanmu bersamanya.”
Perhatikan nasihat di atas. Adakah Anda, wahai istri, telah mewujudkannya dalam kehidupan bersama seorang lelaki yang dinyatakan oleh Rasulullah n,
هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Dia adalah surgamu dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4/3412, an-Nasa’i no. 8962, al-Hakim 2/206, dengan sanad yang sahih. Lihat Adabuz Zifaf hlm. 214 dan ash-Shahihah no. 2612)
Sebagai penutup, kita ingatkan bahwa sebelum seseorang menuntut orang lain berbuat sesuatu untuknya, hendaklah dia pikirkan bagaimanakah yang diperbuatnya terhadap orang tersebut? Apakah dia pun melakukan apa yang diinginkan oleh orang itu terhadapnya?
Rasulullah n pernah bersabda,
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَ يُدْخَلَ الْجَنَّةَ، فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ
“Siapa yang senang dijauhkan dari api neraka dan masuk surga, hendaklah kematian menjemputnya dalam keadaan dia beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan dia memperlakukan manusia dengan sesuatu yang dia senang apabila hal itu diperlakukan kepadanya.” (HR. Muslim no. 4753 dari sahabat Abdullah ibnu ‘Amr ibnul Ash c)
Makna kalimat yang ditebalkan dari hadits di atas, kata Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t, hendaknya seseorang bermuamalah dengan orang dengan apa yang dia sukai apabila orang lain berbuat demikian kepadanya. Dia pun menasihati orang lain sebagaimana dia menasihati dirinya. Dia tidak suka apabila orang lain tertimpa oleh suatu perkara yang dia benci apabila hal itu menimpanya. Orang seperti ini akan berlaku lemah lembut kepada orang lain sebagaimana dia senang diperlakukan dengan lembut. Dia akan membaguskan ucapan kepada orang lain sebagaimana dia senang mendengarkan ucapan lembut dari orang lain kepadanya. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/462)
(Disusun kembali oleh Ummu Ishaq al-Atsariyah dengan beberapa perubahan dari tulisan asy-Syaikh Salim al-’Ajmi hafizhahullah yang dimuat di Muntadayat al-Ukht as-Salafiyyah dengan judul Walyasa’ki Baituki min Ajli Hayah Zaujiyah Hani’ah disertai tambahan dari sumber/rujukan yang lain)
(insya Allah bersambung)
Catatan Kaki:
1 Islam tidak mengenal hubungan kasih pranikah yang diistilahkan pacaran, bahkan Islam mengharamkannya. Lihat pembahasan masalah ini dalam Asy-Syariah Vol. IV no. 39/1429 H/2008, rubrik “Niswah” berjudul Tidak Ada Pacaran Islami! Lihat pula rubrik “Hadits” Asy-Syariah Vol. VII no. 76, Katakan Tidak untuk Pacaran.
2 Rasulullah n bersabda,
اسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ
“Mintalah wasiat kebaikan dalam perkara istri-istri kalian karena mereka itu di sisi kalian hanyalah sebagai tawanan….” (HR. Ahmad 5/72, at-Tirmidzi no. 1173, Ibnu Majah no. 1851, hadits ini hasan sebagaimana dinyatakan demikian dalam Shahih at-Tirmidzi dan Shahih Ibni Majah)
3 Ia adalah putra dari pemilik dua sayap di surga, Ja’far bin Abi Thalib. Ia terhitung shigharush shahabah (sahabat kecil). Saat ia menjadi yatim karena ayahnya syahid di medan Mu’tah menghadapi Romawi, ia dipelihara oleh Nabi n dan tumbuh dalam asuhan beliau. (Siyar A’lamin Nubala, 3/456)