Berbuat Baik Berbeda dengan Berkasih Sayang

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin)

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, sebagai kawanmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al Mumtahanah: 8—9)
Sebab Turunnya Ayat
Al-Alusi t mengatakan, ayat ini turun berkaitan dengan sikap Asma’ bintu Abu Bakr c terhadap ibu kandungnya, Qutailah1 bintu Abdil Uzza. Ia adalah seorang perempuan yang musyrik, istri Abu Bakr z di masa jahiliah yang kemudian dicerai. Sebagian ulama berpendapat bahwa Qutailah adalah bibi Asma’ bintu Abu Bakr, sedangkan penyebutan ibu hanya pengiasan. Namun, pendapat yang benar adalah bahwa beliau merupakan ibu kandung Asma’ yang sebenarnya.
Al-Hasan dan Abu Shalih berkata bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Bani Khuza’ah, Bani al-Harits bin Ka’b, Kinanah, Muzainah, dan beberapa kabilah Arab yang lain. Mereka melakukan perjanjian damai dengan Rasulullah n, tidak memerangi beliau, dan tidak menolong orang-orang yang akan memerangi beliau n.
Qurrah al-Hamdani dan ‘Athiyyah al-‘Aufi rahimahumallah mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Bani Hasyim, yang al-Abbas termasuk di dalamnya.
Abdullah bin Zubair t mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan para wanita dan anak-anak dari kalangan orang-orang kafir.
Adapun Mujahid t mengatakan bahwa ayat ini turun terhadap orang-orang Makkah yang beriman namun tidak ikut berhijrah sehingga orang-orang Muhajirin dan Anshar serba sulit menyikapinya. Mereka ingin berbuat baik kepada saudaranya, namun di sisi lain mereka adalah orang-orang yang tidak ikut berhijrah.
Ada pula yang berpendapat bahwa ayat ini turun kepada orang-orang yang lemah dari kalangan kaum mukminin yang tidak ikut berhijrah. (Tafsir al-Alusi, (20/465)
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i t, seorang ulama ahli hadits dari negeri Yaman, dalam kitabnya, ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul, “Demikian pula ayat ‘Allah tiada melarang kamu …’, penyebutan (kisah Asma’ bersama ibu kandungnya) sebagai sebab turunnya ayat ini diriwayatkan dari jalan Sufyan bin Uyainah, namun hanya sebatas ucapan beliau. Hal ini seperti yang tertera dalam Shahih al-Bukhari (13/17). Demikian pula dalam kitab al-Adabul Mufrad hlm. 23. Kisah ini juga diriwayatkan dari jalan lain oleh (Abu Dawud) ath-Thayalisi, Abu Ya’la, Ibnu Jarir, dan yang lainnya. Hanya saja, pada sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Mush’ab bin Tsabit, seorang yang dilemahkan dalam meriwayatkan hadits, sebagaimana yang tersebut dalam kitab al-Mizan. Oleh sebab itu, saya (yakni asy-Syaikh Muqbil, -red.) tidak mencantumkan (kisah tersebut dalam asbabun nuzul/sebagai sebab turunnya ayat).” (lihat ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul hlm. 244—245)
Namun, tidak berarti bahwa riwayat tersebut adalah lemah. Riwayat tersebut sahih, sebagaimana dalam hadits Asma’ bintu Abu Bakr c, ia berkata:
قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ n فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللهِ n قُلْتُ: وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ
Pada masa hidup Rasulullah n, ibuku yang musyrik datang menemuiku. Aku meminta fatwa kepada Rasulullah n. Aku berkata, “Ibuku menemuiku dalam keadaan penuh harap. Apakah aku harus bersikap baik kepadanya?” Nabi bersabda, “Ya, bersikap baiklah kepada ibumu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Akan tetapi yang dikritik adalah menjadikan kisah ini sebagai sebab turunnya ayat ke-8 dari surat al-Mumtahanah. Hal ini karena yang meriwayatkan kisah ini sebagai turunnya ayat tersebut adalah Sufyan bin Uyainah t, seorang tabi’ut tabi’in (generasi setelah tabi’in). Dengan demikian, sanad hadits ini tidak bersambung. Keadaan riwayat semacam ini disebut mu’dhal, yaitu hilang atau gugurnya dua orang perawi atau lebih pada sanad hadits. Sebagian ulama, di antaranya al-Khatib al-Baghdadi t menyatakan bahwa hukum riwayat yang mu’dhal sama dengan hukum riwayat yang mursal (yakni hukumnya lemah).

Penjelasan Mufradat Ayat
“Allah tiada melarang kamu dari orang-orang ….”
Ulama ahli tafsir berbeda pendapat tentang siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang tidak dilarang bagi kaum mukminin untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka. Berikut ini beberapa pendapat ulama ahli tafsir.
a. Yang dimaksud ayat ini adalah orang-orang yang beriman di Makkah dan tidak ikut melakukan hijrah. Allah l mengizinkan kaum mukminin untuk berbuat baik kepada mereka. Hal ini berdasarkan penafsiran Mujahid.
b. Yang dimaksud adalah orang-orang selain penduduk Makkah, yang tidak ikut melakukan hijrah. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat dari jalan Mush’ab bin Tsabit, dari pamannya, Amir bin Abdillah bin Zubair, dari ayahnya, ia berkata bahwa di masa jahiliah, Asma’ bintu Abi Bakr memiliki ibu kandung yang bernama Qutailah bintu Abdul Uzza, seorang perempuan musyrik. Suatu ketika ia menjenguk putrinya (Asma’) sambil membawa hadiah berupa susu kental dan minyak samin. Asma’ berkata, “Aku tidak akan menerima hadiah ini dan tidak mengizinkannya masuk (ke rumah) hingga ada izin dari Rasulullah n.” Kejadian ini diceritakan oleh Aisyah kepada Rasulullah n. Turunlah ayat, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil …” (al-Mumtahanah: 8)
c. Yang dimaksud adalah orang-orang musyrikin Quraisy, yang tidak memerangi kaum mukminin dan tidak mengusir mereka dari negerinya. Setelah itu, Allah l menghapus hukum ayat ini dengan perintah untuk memerangi mereka (kaum musyrikin). Qatadah t mengatakan bahwa ayat ini dihapus hukumnya dengan ayat:
“Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin di mana saja kamu jumpai mereka.” (at-Taubah: 5)
Setelah menyebutkan masalah di atas, Ibnu Jarir ath-Thabari t menyatakan bahwa pendapat yang benar dalam memaknai ayat “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu…” (al-Mumtahanah: 8) bahwa ayat ini berlaku bagi seluruh jenis aliran dan agama karena Allah l menyebutkan secara umum meliputi siapa pun yang tidak memerangi dan tidak mengusir kaum mukminin, tidak ada pengkhususan. Ayat ini tidaklah dihapuskan hukumnya (mansukh), karena seorang mukmin tidak diharamkan atau tidak dilarang berbuat baik kepada orang kafir harbi, baik yang ada hubungan nasab kekerabatan maupun tidak, jika hal itu tidak mengakibatkan mereka menyingkap rahasia kaum muslimin atau menguatkan mereka dengan kuda-kuda perang atau senjata.

Penjelasan Ayat
Ketika menjelaskan bab yang disebutkan oleh al-Imam al-Bukhari t dalam kitab Shahih-nya, “Bab al-Hadiyyah lil Musyrikin, wa Qaulillah l:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani t mengatakan, “Maksud ayat ini adalah menjelaskan siapa saja yang diperbolehkan untuk diperbuat baik kepadanya. Juga menjelaskan bahwa tentang diperbolehkannya memberi hadiah atau tidak kepada orang musyrik, tidak dapat dihukumi secara umum (mutlak). Di antara ayat yang serupa dengan ayat ini adalah:
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman: 15)
Berbuat baik (berbakti), menyambung hubungan kekerabatan, dan berbuat ihsan (kebaikan) tidak mengharuskan terjadinya saling mencintai dan berkasih sayang karena hal ini dilarang oleh syariat, sebagaimana dalam firman Allah l:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (al Mujadilah: 22)
Ayat ini berlaku umum, meliputi orang kafir yang memerangi (kaum mukminin karena agama) ataupun tidak. Wallahu a’lam. (lihat al-Fath 5/261)
Asy-Syaikh as-Sa’di t berkata dalam Tafsir-nya, ayat ini bermakna bahwa Allah l tidak melarang kamu (wahai kaum mukminin) untuk berbuat baik, menyambung hubungan kekerabatan, dan memberi hadiah dengan baik, serta berlaku adil terhadap orang-orang musyrik dari kerabat kalian ataupun bukan, selama mereka tidak memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari negeri kalian. Sikap semacam ini tidak membahayakan dan tidak pula menimbulkan mafsadah (kerusakan). Seperti firman Allah l tentang kedua orang tua yang musyrik, jika anaknya muslim (untuk berbuat baik kepada keduanya), “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman: 15)
Adapun ayat Allah l, “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.”
Makna larangan berloyal atau menjadikan mereka sebagai teman adalah larangan memberikan kasih sayang dan menolong mereka, baik ucapan maupun perbuatan. Adapun bakti dan perbuatan baik kalian yang tidak menimbulkan sikap loyal kepada orang-orang musyrik, Allah l tidak melarangnya. Bahkan, hal ini termasuk dalam keumuman perintah untuk berbuat baik kepada kerabat dan yang lainnya, dari manusia maupun yang lain.
Adapun makna “Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”, yaitu kezaliman sebatas loyalitas yang dilakukan. Jika loyalitasnya penuh (total), bisa mengakibatkan kekafiran dan mengeluarkan seseorang dari Islam. Jika tidak penuh, ada tingkatannya, ada yang parah dan ada yang di bawahnya. (Lihat Taisir Karim ar-Rahman, pada tafsir surat al-Mumtahanah: 8—9)
Athiyyah Muhammad Salim dalam Titimmah Adhwa’il Bayan menyatakan, sebagian ulama ahli tafsir menganggap bahwa ayat yang pertama (al-Mumtahanah: 8) adalah rukhsah (keringanan) dari ayat di awal surat:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia…”
Akan tetapi, sebenarnya pada ayat ini (ayat 8—9) terdapat penjelasan adanya dua golongan (musuh Islam) dan dua macam perlakuan terhadap mereka.
Golongan yang pertama adalah musuh (Islam) yang tidak memerangi kaum muslimin karena agama dan mengusir kaum muslimin dari negerinya. Golongan ini disebutkan haknya oleh Allah l dalam firman-Nya, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu ….”
Golongan yang kedua adalah musuh (Islam) yang memerangi kaum muslimin karena agama, mengusir mereka dari negeri mereka, dan membantu (orang lain) untuk mengusir mereka. Allah l menyebutkan golongan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, sebagai kawanmu ….”
Artinya, mereka adalah dua golongan yang berbeda dan memiliki hukum (perlakuan) yang berbeda pula, meskipun dua golongan ini tidak keluar dari keumuman sebagai musuh Allah l dan musuh kaum muslimin, sebagaimana yang tersebut pada ayat pertama dari surat al-Mumtahanah.
Sebagian ahli tafsir juga ada yang berpendapat, ayat ini (al-Mumtahanah: 8) di-mansukh (dihapuskan hukumnya) oleh ayat perang atau yang lainnya. Adapun ayat yang kedua (al-Mumtahanah: 9) menjadi penguat terhadap larangan pada ayat pertama dari surat al-Mumtahanah.
Sebagian ahli tafsir membantah pendapat yang menyatakan bahwa ayat yang pertama (ayat ke-8) mansukh. Para ahli tafsir juga berselisih, ditujukan kepada siapa ayat ini turun dan siapa yang dimaksud. Pada hakikatnya, kedua ayat ini (al-Mumtahanah: 8—9) membagi keumuman musuh Islam yang tersebut pada ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia…”,
serta menjelaskan setiap golongan berikut hukumnya. Hal ini ditunjukkan oleh qarinah (fakor penghubung) pada ayat yang pertama (ayat 1) dan pada ayat 8—9.
Terhadap golongan (musuh Islam) yang pertama dalam ayat ini, diperbolehkan untuk berbuat baik dan berlaku adil. Adapun terhadap yang kedua, dilarang menjadikan mereka sebagai teman setia. Dalam hal ini Allah l membedakan kebolehan berbuat baik dan berlaku adil, dan larangan menjadikannya sebagai teman dan berkasih sayang. Yang menguatkan pembagian ini adalah adanya faktor penghubung yang ada pada ayat pertama, yaitu mereka disifati secara umum dengan sifat kufur (ingkar kepada kebenaran), dan disifati dengan sifat khusus, yaitu pengusiran mereka terhadap Rasul n dan kaum muslimin. Perlu diketahui, mengusir Rasul n dan kaum muslimin dari negeri mereka adalah akibat dari peperangan dan gangguan mereka. Golongan inilah yang terlarang diberikan loyalitas kepada mereka karena sikapnya yang senantiasa memusuhi kaum muslimin. Juga karena sikap memusuhi berlawanan dengan sikap berteman.
Adapun golongan yang umum, mereka adalah orang-orang yang ingkar terhadap kebenaran yang datang kepada mereka. Hanya saja, mereka tidak memusuhi kaum muslimin. Mereka tidak pula memerangi dan mengusir kaum muslimin dari negerinya. Golongan ini, dari satu sisi bukan golongan yang dilarang untuk diperbuat baik dan diperlakukan adil.
Dari sini diketahui bahwa tidak ada pembahasan yang baru pada ayat yang kedua (ayat 9), selain pembahasan yang ada pada ayat 1.
Adapun pembahasan tentang ayat yang pertama (ayat 8), ditinjau dari dua sisi.
Sisi yang pertama, tentang maknanya.
Sisi yang kedua, tentang hukumnya.
Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama ahli tafsir pada dua sisi ini. Pembahasan ini sangat penting dan dibutuhkan oleh umat setiap saat, khususnya pada masa sekarang yang hubungan perdamaian di alam sedemikian kuatnya dan terlalu mendalamnya hubungan (antarnegara). Demikian juga, ikatan satu negara dengan yang lain dalam segala hal, serta tidak memungkinkannya satu negara terpisah (tidak berhubungan) sama sekali dengan negara lainnya, semakin menambah pentingnya perhatian terhadap masalah ini.
Saya memohon pertolongan kepada Allah l dalam memaparkan pendapat para ulama tentang tafsir ayat ini. Kesimpulan dari pendapat mereka ada dua.
1. Pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini mansukh (dihapus hukumnya, pent.) sebagaimana yang dinukil oleh al-Imam al-Qurthubi dari Abu Zaid, beliau berkata, “Ayat ini berlaku pada permulaan Islam. Pada masa itu, yang berlaku adalah perdamaian dan belum ada perintah berperang. Ayat ini kemudian di-mansukh oleh ayat, “Maka bunuhlah orang-orang musyrikin di mana saja kamu jumpai mereka.” (at-Taubah: 5)
2. Pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini muhkamah (dikukuhkan hukumnya).
Al-Imam al-Qurthubi t mengatakan bahwa mayoritas ahli tafsir berpendapat bahwa ayat ini tetap berlaku hukumnya. Di antara dalilnya adalah kisah ibu Asma’ bintu Abi Bakr. Namun, dari pembahasan mereka, kisah ini sebenarnya tidak menunjukkan bahwa ayat ini di-mansukh atau tidak.
Akan tetapi, yang menguatkan bahwa ayat ini tidak mansukh adalah apa yang dinukil oleh al-Imam al-Qurthubi t dari mayoritas ahli tafsir yang berpendapat bahwa ayat ini muhkamah (tetap berlaku). Demikian juga tafsir ulama terhadap ayat:
”Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman akrab, pemimpin, pelindung, penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, selain karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.” (Ali Imran: 28)
Ayat ini menjadi rukhsah (keringanan untuk berloyal dengan orang kafir selain kaum mukminin) apabila kaum mukminin dalam keadaan takut, khawatir, dan lemah, dengan syarat selamatnya keyakinan mereka. Dipahami dari ayat ini, apabila kaum mukminin dalam keadaan kuat, tidak takut, aman, tidak diperangi, dan sangat terjamin keselamatannya, tidak mengapa mereka berbuat baik kepada orang-orang kafir, dengan cara berlaku adil (tanpa berloyal) terhadap mereka. Hal ini termasuk yang mengangkat ketinggian Islam dan kaum muslimin. Bahkan mengandung seruan (ajakan) kepada Islam dengan cara muamalah yang bagus, ta’liful qulub (membujuk hati) dengan membalas kebaikan orang yang telah berbuat baik, tidak membenci dan memusuhi orang yang tidak memusuhi.
Di antara bukti yang menguatkan bahwa ayat ini tidak mansukh adalah tidak ada bentuk pertentangan antara ayat ini dengan ayat yang memerintahkan untuk berperang. Karena, syarat (suatu masalah) dikatakan mansukh adalah jika terjadi pertentangan antara dua dalil, tidak mungkin untuk digabungkan, dan mengetahui waktu kejadian atau kapan turunnya ayat. Dalam masalah ini, penggabungan masih mungkin untuk dilakukan. Pertentangan juga tidak ada. Hal itu karena perintah untuk memerangi tidak menghalangi seseorang untuk melakukan perbuatan baik sebelumnya. Sebagaimana kenyataan yang terjadi, kaum muslimin tidakklah tiba-tiba memerangi orang kafir melainkan setelah adanya seruan (ajakan) untuk memeluk Islam terlebih dahulu. Hal ini bisa dipastikan termasuk kebaikan dalam Islam. Selain itu, Islam menerima upeti dari kalangan ahli kitab dan memperlakukan ahli dzimmah dengan berbagai kebaikan dan keadilan.
Dalam Tafsir Ayat Ahkam karya al-Imam asy-Syafi’i t, terdapat sebuah pembahasan yang penting berkaitan dengan masalah ini. Allah l berfirman, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil …”
Al-Imam asy-Syafi’i t berkata, “Wallahu a’lam, dikatakan bahwa sebagian kaum muslimin merasa berdosa karena hubungan yang terjadi dengan kaum musyrikin. Saya kira, hal itu karena turunnya perintah jihad (perang) dan diputusnya hubungan mereka dengan kaum musyrikin, dan turunlah ayat al-Mujadilah ayat 22 (yang berisi larangan mencintai dan berkasih sayang dengan kaum musyrikin). Mereka khawatir bahwa menjalin hubungan dengan harta akan dianggap sebagai bentuk berkasih sayang dengan mereka. Maka dari itu, turunlah ayat al-Mumtahanah ayat 8—9. Menjalin hubungan melalui harta, kebaikan, berlaku adil, lunak/halus dalam berbicara, surat-menyurat tentang hukum Allah l, tidak termasuk dalam larangan berloyal dengan orang-orang yang dilarang, dan tidak termasuk membantu mereka untuk memusuhi kaum muslimin. Allah l membolehkan berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang musyrik yang tidak membantu memusuhi muslimin. Hal ini tidak diharamkan. Allah l menyebut orang-orang yang membantu dalam permusuhan terhadap kaum muslimin dan melarang berloyal dengan mereka. Berloyal dengan mereka berbeda dengan berbuat baik dan berbuat adil…”.
Pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir dan Imam asy-Syafi’i rahimahumallah (bahwa ayat ini muhkamah) adalah pendapat yang dikehendaki oleh roh Islam. Alasan bahwa pembahasan ini harus mendapatkan perhatian khusus adalah karena kaum muslimin di masa kini terlibat dalam hubungan kemaslahatan yang bersifat universal. Terjadi ikatan dengan berbagai negara di dunia ini, baik dari kalangan kaum musyrikin maupun ahli kitab. Tidak mungkin umat menjalani hidup dengan memisahkan diri (tidak berhubungan dengan) berbagai negara yang ada. Demikian juga semakin mendalam dan kuatnya hubungan kemaslahatan, terlebih dalam bidang perekonomian. Kehidupan masa kini sangat terikat dengan adanya produksi, industri, dan perdagangan. Dari sinilah, ayat dalam pembahasan ini sangat membantu dalam hal menjelaskan bolehnya (musuh Islam) bersama kaum muslimin dan saling menukar dalam hal yang bermaslahat. Berdasarkan apa yang dikatakan al-Imam Asy Syafi’i dan Ibnu Jarir, semua itu diperbolehkan jika terdapat keselamatan hati, yaitu hati tidak boleh condong (kepada mereka).

Wallahu a’lam bish-shawab.

Catatan Kaki:

1 Demikian yang disebutkan dalam Muqaddimah Fathul Bari hlm. 331. Adapun dalam Usdul Ghabah disebutkan bahwa namanya adalah Qailah.