Berita Kenabian Atas Kepemimpinan Wanita

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)

 

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ النَّبِيُّ n: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

Dari Abu Bakrah z, telah berkata Nabi n: “Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan (kepemimpinan) nya kepada seorang wanita.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad t dalam Musnad-nya no. 19507, 19547, 19556, 19573, 19603, 19612; Al-Imam Al-Bukhari  t dalam Kitabul Maghazi bab Kitabi Nabi n ila Kisra wa Qaishar no. 4425, Kitabul Fitan no. 7099, Al-Imam At-Tirmidzi t dalam Kitabul Fitan an Rasulillah no. 2188, Al-Imam An-Nasa`i t dalam kitab Adabul Qudhah no. 5293.
Jalur Periwayatan Hadits
Hadits ini diriwayatkan dari jalan Mubarak bin Fadhalah Abu Fadhalah Al-Bashri, ‘Auf bin Abi Jamilah Al-Bashri, Humaid bin Abi Humaid Ath-Thawil, semuanya meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri t, dari Abu Bakrah z, dari Nabi n.
Dan terdapat riwayat lain yang diriwayatkan dari jalan Ahmad bin Abdul Malik Al-Harani yang meriwayatkan dari Bakr bin Abdul Aziz, dari Abu Bakrah, dari Nabi n.
Juga dari jalan ‘Uyainah bin Abdurrahman Al-Ghathafani, dari ayahnya, dari Abu Bakrah z, dari Nabi n.
Diagram Periwayatan Hadits
Dalam hadits ini terdapat riwayat Al-Hasan Al-Bashri t dari Abu Bakrah z. Para ulama ahlul hadits seperti Al-Imam Ahmad, Abu Zur’ah, Abu Hatim, ‘Ali ibnul Madini rahimahumullah mempermasalahkan periwayatan beliau dari para sahabat seperti Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, Abu Sa’id Al-Khudri, ‘Ali bin Abi Thalib, dan ‘Utsman bin ‘Affan g, bahwa Al-Hasan Al-Bashri t tidak mendengar (meriwayat)-kan dari para sahabat yang disebutkan tadi.
Qatadah t berkata: “Demi Allah, tidak pernah Al-Hasan Bashri t menyampaikan hadits kepada kami dari para ahli Badr secara langsung.”
Namun riwayat beliau dari Abu Bakrah  z telah ditetapkan sebagai riwayat yang sah atau akurat. Meskipun dalam hadits ini bentuk periwayatan dengan menggunakan kata “dari” yang mengandung kemungkinan (mendengar langsung atau tidak).
Akan tetapi Al-Imam Al-Bukhari t berkata setelah menyebutkan hadits no. 2704 dalam Kitab Ash-Shulhi bab Qaulin Nabi n lil Hasan ibn ‘Ali: “Ali bin Abdullah Al-Madini telah berkata kepadaku: bahwa mendengarnya Al-Hasan Al-Bashri dari Abu Bakrah telah pasti bagi kami dalam hadits ini.” (Fathul Bari, 5/375)
Al-Hafizh t berkata bahwa sanad hadits di atas semuanya adalah orang-orang Bashrah. Dan telah berlalu pada Kitab Ash-Shulhi pendapat yang menyatakan bahwa Al-Hasan Al-Bashri t telah mendengarkan dari Abu Bakrah z. (Fathul Bari, 13/67)
Sebab Periwayatan Hadits
Hadits ini mempunyai sebab periwayatan. Diriwayatkan dari Abu Bakrah z, bahwa dia mengatakan:
لَقَدْ نَفَعَنِي اللهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللهِ n أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ. قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللهِ n أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى، قَالَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan sebab suatu kalimat yang aku dengar dari Nabi pada saat terjadinya fitnah Perang Jamal. Di mana waktu itu hampir-hampir aku akan bergabung dengan Ashabul Jamal (pasukan yang dipimpin ‘Aisyah x) dan berperang bersama mereka.” Lalu beliau berkata: “(Yaitu sebuah hadits) ketika disampaikan kepada Rasulullah n bahwa Kerajaan Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai raja mereka. Beliaupun bersabda: ‘Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita’.” (HR. Al-Bukhari no. 4425)
Adapun pada riwayat lain dalam Sunan At-Tirmidzi disebutkan bahwa Abu Bakrah z berkata:
عَصَمَنِي اللهُ بِشَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ n لَمَّا هَلَكَ كِسْرَى. قَالَ: مَنْ اسْتَخْلَفُوا؟ قَالُوا: ابْنَتَهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ n: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً. قَالَ: فَلَمَّا قَدِمَتْ عَائِشَةُ يَعْنِي الْبَصْرَةَ ذَكَرْتُ قَوْلَ رَسُولِ اللهِ n فَعَصَمَنِي اللهُ بِهِ
“Allah telah melindungiku dengan sesuatu yang telah aku dengarkan dari Rasulullah n ketika meninggalnya Kisra. Beliau berkata: ‘Siapa yang mereka angkat sebagai Kisra baru?’ Mereka berkata: ‘Putrinya.’ Maka Nabi n bersabda: ‘Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita’.” Kemudian Abu Bakrah berkata: “Ketika Aisyah datang ke negeri Bashrah, aku ingat ucapan Rasulullah n dan Allah melindungiku dengannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2188, dan beliau mengatakan: “Hadits ini hasan shahih.”)
Penjelasan Hadits
q Abu Bakrah adalah Nufai’ bin Harits Ats-Tsaqafi, meninggal pada tahun 52 H. Al-Imam Al-Bukhari t berkata: Musaddad berkata: “Abu Bakrah dan Hasan bin ‘Ali c meninggal pada tahun yang sama.”
q Kisra adalah Kisra bin Abrawaiz bin Hurmuz, raja Persia. Ia mempunyai anak laki-laki bernama Syairawaih. Syairawaih mempunyai anak perempuan bernama Buran. Adapun sebab diangkatnya Buran sebagai raja adalah ketika terjadi pemberontakan terhadap Kisra yang dipimpin oleh putranya sendiri (Syairawaih) hingga dia bangkit melawan ayahnya dan membunuhnya, lalu merebut kekuasaannya.
Ketika ayahnya tahu bahwa anaknya berbuat demikian (menginginkan untuk membunuhnya), iapun melakukan siasat (tipu daya) untuk membunuh anaknya setelah kematiannya nanti, dengan menaruh racun pada sebagian lemari khusus. Dalam lemari tersebut diletakkan racun yang mematikan. Dan dia menulis di atasnya bahwa barangsiapa yang mengambil sesuatu dari lemari ini, ia akan memperoleh demikian dan demikian.
Syairawaih pun membaca tulisan tersebut dan mengambil sesuatu yang ada di dalamnya. Inilah yang menjadi penyebab kematian Syairawaih. Dan ia tidak dapat bertahan hidup lama setelah meninggal ayahnya kecuali enam bulan saja. Ketika Syairawaih meninggal, tidak ada seorang pun saudara laki-lakinya yang menggantikan kedudukan raja, karena ia telah membunuh semua saudara laki-lakinya tersebut atas dasar ketamakan untuk menguasai tahta kerajaan Persia. Sehingga tidak ada seorang laki-laki pun yang menjadi pewaris kerajaan. Mereka juga tidak menginginkan tahta kekuasaan kerajaan jatuh kepada pihak lain, sehingga mereka mengangkat seorang wanita yang bernama Buran, anak Syairawaih, atau cucu Kisra.
كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ
“Hampir-hampir aku bergabung dengan Ashabul Jamal (yaitu Aisyah dan orang-orang yang bersamanya) dan berperang bersama mereka.”
Awal kejadiannya adalah ketika ‘Utsman bin ‘Affan z terbunuh dan ‘Ali bin Abi Thalib z dibaiat menjadi khalifah. Keluarlah Thalhah dan Az-Zubair c menuju Makkah. Keduanya mendapati ‘Aisyah x yang baru saja menunaikan ibadah haji. Terjadilah kesepahaman di antara mereka untuk bergerak menuju Bashrah dan meminta bantuan manusia untuk menuntut atas kematian ‘Utsman bin ‘Affan z. Sampailah berita itu kepada ‘Ali bin Abi Thalib z dan beliau pun keluar menyambut mereka dan terjadilah Perang Jamal, akibat upaya orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dinisbahkan kepada Jamal (yaitu unta yang dijadikan tunggangan Aisyah x) dan beliau berada dalam sekedup (semacam tandu di atas punggung unta) sambil mengajak manusia kepada ishlah (perbaikan).
قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللهِ n أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى
“Dia berkata: ‘Ketika disampaikan kepada Rasulullah n bahwa Kerajaan Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai raja mereka’.”
Yang berkata di sini adalah Abu Bakrah z. Perkataan ini sebagai penjelasan (tafsir) lafadz “kalimat” pada ucapan beliau: “Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan kalimat.” Di sini terdapat faedah tentang digunakannya istilah kalimat (kata) untuk mengungkapkan kalam (kalimat) yang banyak.
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
Dalam riwayat ini kalimat امْرَأَةً dengan berharakat fathah atau manshub karena berkedudukan sebagai maf’ul (obyek). Pada riwayat Humaid terdapat lafadz:
وَلَى أَمْرَهُمُ امْرَأَةٌ
dengan kalimat امْرَأةٌُ berharakat dhammah atau marfu’ karena berkedudukan sebagai fa’il (subyek).
Dalam riwayat Al-Isma’ili dari jalan An-Nadhr bin Syumail, dari ‘Auf, di akhir riwayat terdapat tambahan: Abu Bakrah z berkata: “Dan saya mengetahui bahwa Ashabul Jamal tidak akan berhasil.”
Al-Hafizh t berkata: “Ibnu Baththal menukil dari Al-Muhallab, yang nampak dari hadits adalah bahwa Abu Bakrah z terkesan menuduh dan merendahkan pendapat Aisyah x atas apa yang telah beliau perbuat. Namun tidaklah demikian perkaranya. Karena telah diketahui bahwa Abu Bakrah  z sependapat dengan ‘Aisyah x dalam hal menuntut ishlah di antara manusia dan bukanlah tujuan mereka untuk berperang. Ketika perang berkecamuk, tidaklah orang yang bersamanya menjadi bagian dari perang tersebut. Dan Abu Bakrah z tidaklah mencabut kembali pendapat ‘Aisyah x, namun beliau berfirasat bahwa mereka tidak akan menang ketika melihat orang-orang bersama ‘Aisyah x di bawah perintahnya. Hal itu berdasarkan apa yang telah beliau dengarkan (yaitu dari Rasulullah n ketika beliau n berkata: “Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita”).”
Kemudian Al-Hafizh t berkata: “Dan yang lebih memperjelas perkara ini bahwa tidak seorang pun yang menukilkan bahwa ‘Aisyah x dan orang-orang yang bersamanya menentang kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib z. Tidak pula mereka menyeru agar salah seorang di antara mereka untuk dipilih menjadi khalifah.
Yang diingkari oleh Aisyah x dan orang-orang yang bersamanya terhadap ‘Ali bin Abi Thalib z adalah larangan beliau z membunuh orang-orang yang membunuh ‘Utsman bin ‘Affan z dan meninggalkan qishash. ‘Ali z menunggu keluarga ‘Utsman bin ‘Affan z berhukum kepadanya dalam perkara tersebut. Dan apabila telah terbukti pada seseorang bahwa dialah pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan z barulah ditegakkan qishash terhadapnya. Maka berselisihlah mereka karena sebab itu. Ketika orang-orang yang dinisbahkan perang kepadanya merasa khawatir bahwa mereka (pihak ‘Ali dan ‘Aisyah) akan berdamai, maka mereka pun mengobarkan peperangan, dan terjadilah apa yang terjadi. Ketika pihak ‘Ali z menang, Abu Bakrah z pun memuji pendapatnya untuk tidak ikut serta perang bersama Ashabul Jamal meskipun pendapat beliau sama dengan pendapat Aisyah x, yaitu menuntut balas atas pembunuhan ‘Utsman bin ‘Affan z.
Ibnu At-Tin t berkata: ‘Sebagian ulama berdalil dengan hadits Abu Bakrah ini tentang tidak bolehnya seorang wanita menjadi pemutus perkara. Dan ini pendapat jumhur ulama. Sebaliknya Ibnu Jarir Ath-Thabari t berpendapat boleh bagi seorang wanita memutuskan perkara dalam hal yang persaksiannya diterima. Demikian pula sebagian pengikut Malikiyah membolehkan secara mutlak’.” (Fathul Bari, 13/69, 8/159-160)
Al-Khaththabi t berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang wanita tidak boleh mengurusi pemerintahan dan putusan pengadilan. Tidak boleh pula baginya menikahkan dirinya sendiri ataupun menjadi wali nikah bagi orang lain.” (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi)
Ibnu Katsir t berkata setelah menyebutkan ayat:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu takutkan nusyuz-nya maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya.”
Ayat ini menerangkan bahwa laki-laki adalah pemimpin atas wanita, yaitu dia sebagai pemimpin, pembesar dan penguasa serta pendidik bagi mereka, ketika terjadi kebengkokan pada wanita itu. Karena Allah l telah memberikan keutamaan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) yaitu karena laki-laki lebih utama dari wanita dan lebih baik. Karena itulah kenabian dikhususkan kepada kaum laki-laki. Demikian pula kekuasaan yang agung berdasarkan hadits Nabi n: “Tidak akan beruntung suatu kaum manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita.” (HR. Al-Bukhari)
Demikian pula dalam urusan hakim dan sebagainya. “Mereka dimuliakan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka” yaitu berupa mahar, nafkah, dan beban yang Allah l wajibkan atasnya untuk wanita sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya. Maka pada diri kaum lelaki terdapat keutamaan di atas kaum wanita. mereka memiliki keutamaan atas wanita dan pengutamaan, sehingga sangatlah selaras keberadaan (laki-laki) menjadi pemimpin atas wanita. “Dan laki-laki memiliki derajat lebih tinggi atas perempuan.”
‘Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu ‘Abbas c, maknanya adalah sebagai pemimpin-pemimpin atas para wanita, yaitu wanita menaatinya pada perkara yang Allah l perintahkan. Dan bentuk ketaatan itu diwujudkan dengan cara seorang istri berbuat baik kepada suami serta menjaga hartanya. Demikian pula pendapat Muqatil, As-Suddi dan Adh-Dhahhak.
Al-Hasan Al-Bashri t berkata: “Seorang wanita datang kepada Nabi n mengeluhkan bahwa suaminya telah menamparnya. Rasulullah pun menanggapi dengan mengatakan al-qishash (dibalas). Maka Allah l menurunkan ayat: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita,” yaitu tanpa adanya qishash. (Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 1/465)
Telah cukup jelas bahwa kepemimpinan dan kekuasaan tidak akan mungkin berakhir dengan keberuntungan jika yang memimpin atau yang berkuasa adalah seorang wanita. Tidak ada ruang bagi wanita untuk iri hati terhadap karunia yang telah Allah l lebihkan pada kaum laki-laki. Allah k berfirman:
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah Allah berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan, mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa`: 32)
Al-Imam Ahmad t meriwayatkan dari Mujahid t, ia berkata: Ummu Salamah x berkata: “Wahai Rasulullah, kaum lelaki dapat berperang dan kita kaum wanita tidak. Bagi kita separuh bagian dari warisan kaum lelaki.” Maka Allah l turunkan ayat: “Dan janganlah kamu iri terhadap karunia yang telah Allah berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain.”
Ibnu ‘Abbas c berkata: Seorang wanita datang kepada Rasulullah n dan berkata: “Ya Rasulullah, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan persaksian dua orang wanita sebanding dengan persaksian seorang laki-laki. Apakah dalam perkara amalan kami juga demikian? Jika ada seorang wanita berbuat kebaikan hanyalah dicatat untuknya separuh dari kebaikan tersebut?” Maka Allah l turunkan ayat: “Janganlah kamu iri terhadap karunia yang telah Allah berikan berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain.” Sesungguhnya ini adalah keadilan dari-Ku dan Aku yang membuatnya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/462)
Wallahu a’lam bish-shawab.