Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah.
Begitu bunyi ungkapan yang menggambarkan betapa besar kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya. Demikianlah realitasnya. Betapapun besarnya balas budi seorang anak, ia tidak akan mampu menyamai apa yang telah diberikan orang tua kepadanya. Sudah sepantasnya seorang anak berbuat baik dan menaati perintah orang tua, selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.
Di masa-masa terakhir ini, kita dihadapkan pada fenomena pudarnya hukum syariat di tengah-tengah kehidupan keluarga. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari tingginya frekuensi media dalam menampilkan potret kekejian dan kekotoran dalam keluarga.
Seorang bapak dengan tega mencabut keperawanan anak sendiri. Sampai karena takut dan malu, dengan tidak ada rasa sayang, dia pun merenggut nyawa anaknya itu. Sebuah lambang kebuasan hidup dan malapetaka yang dahsyat.
Di tempat lain, seorang anak tega mengumpuli ibu sendiri. Kemudian dengan tiada rasa takut, menumpahkan darah sang ibu yang telah mengandung dan menyapihnya dengan segala penderitaan.
Semua fakta ini menunjukkan merajalelanya penyakit jahil (kebodohan) di kalangan umat tentang agamanya. Kini, seakan-akan tidak ada lagi yang namanya kasih sayang dalam keluarga. Akibat lebih jauh, rantai pendidikan generasi-generasi Islam pun terancam putus.
Akankah semua itu berakhir? Akankah syariat Allah subhanahu wa ta’ala menyentuh kalbu para orang tua yang jahat dan menyentuh kalbu anak-anak yang durhaka? Mengapa orang tua buas terhadap anak sendiri dan anak tega kepada kedua orang tuanya sendiri?
Jasamu, Wahai Ayah Ibu
Tanpa sadar, air mata akan menetes manakala melihat seorang ibu yang telah renta mengais rezeki dengan cucuran keringat dan beban berat di pundaknya. Semua itu dilakukan demi sesuap nasi untuk kelangsungan hidup anak dan keluarganya. Di manakah suaminya? Apa yang sedang dilakukannya?
Di sebuah pematang sawah di belahan lain, sepasang orang tua harus diterpa panas matahari menyengat di sekujur tubuhnya, bergulat dengan lumpur yang menguras tenaga. Semuanya dilakukan demi menghidupi diri dan keluarganya. Bukankah yang demikian itu merupakan wujud tanggung jawab dan kasih sayang terhadap diri dan anak-anaknya?
Jauh sebelum itu, ibu kita telah berkorban dengan pengorbanan yang sekiranya kita bayar dengan emas sebesar Gunung Uhud, niscaya tidak akan sanggup kita untuk menukarnya. Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan dalam firman-Nya,
وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ ١٤
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya yang telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Dan kepada-Ku lah kembalimu.” (Luqman: 14)
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya (4/538) mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan tentang pengorbanan seorang ibu dan rasa lelah dan berat dengan siap berjaga di malam hari dan siang hari, agar sang anak itu mengingat kebaikan ibunya yang telah dikorbankannya.”
As-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan, “Kelemahan demi kelemahan, hal ini terus-menerus menyertai seorang ibu mulai dia menjadi setetes air mani (yang dibuahi), mengidam, sakit, lemah, berat, berubah keadaannya, kemudian sakit ketika melahirkan dan ini yang paling dahsyat.”
Karena demikian tinggi pengorbanan kedua orang tua maka janganlah kamu menyombongkan diri di hadapan keduanya dan durhaka. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepadamu agar kamu berterima kasih kepada keduanya.
ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ
“Bersyukurlah kepadaku dan kepada kedua orang tuamu.” (Luqman: 14)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِيْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أَبُوْكَ.
“Datang seseorang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah , siapakah orang yang paling patut aku berbuat baik kepadanya?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ibumu.’
Orang itu berkata, ‘Kemudian siapa?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ibumu.’
Orang itu berkata, ‘Kemudian siapa?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Ibumu.’
Orang itu berkata, ‘Kemudian siapa?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Bapakmu’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan,
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ الصُحْبَةِ؟ قَالَ: أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أَبُوْكَ، ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ.
“Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak aku temani?” Rasulullah menjawab, “Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian bapakmu, kemudian (keluargamu) yang paling dekat dan yang paling dekat.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَجْزِي وَلَدٌ وَالِداً إِلاَّ أَنْ يَجِدَهُ مَمْلُوْكاً فَيَشْتَرِيْهِ فَيُعْتِقَهُ
“Seorang anak tidak akan sanggup membalas jasa orang tuanya kecuali dia menjumpainya sebagai budak lalu dia membelinya dan memerdekakannya.” (HR. Muslim no. 1510)
Menaati Perintah Orang Tua
Dalam permasalahan ketaatan kepada orang tua, manusia terbagi menjadi tiga kelompok:
Pertama, menaati segala perintah kedua orang tua tanpa melihat perintah tersebut sesuai dengan syariat atau tidak. Hal ini termasuk dari ifrath (melampaui batas).
Kedua, tidak mau menaati perintah kedua orang tua walaupun perintah tersebut tidak dalam bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Sikap ini adalah tafrith (meremehkan).
Ketiga, menaati perintah keduanya selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syariat dan menolak perintah itu bila menyelisihi syariat.
Semuanya ini dapat kita lihat dalam kehidupan kaum muslimin sehari-hari. Lalu manakah sikap yang benar dalam menaati perintah kedua orang tua?
Adapun kelompok pertama yang menaati semua perintah orang tua baik perintah tersebut bermaksiat atau tidak, sangat bertentangan dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ طَاعَةَ لِأَحَدٍ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Tidak ada ketaatan kepada seorang pun di dalam bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sesungguhnya ketaatan itu di dalam kebajikan.” (HR. al-Bukhari no. 40 dan Muslim no. 39 dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Abu ‘Amr ad-Dani ‘Utsman bin Sa’id al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Tidak ada ketaatan kepada seorang makhluk pun di dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq. Tidak pula bernadzar dalam bermaksiat dan mensyaratkan dengan syarat yang mengandung maksiat. Ketaatan itu pada perkara yang baik.” (ar-Risalah al-Wafiyah hlm. 114)
Kelompok kedua yaitu yang tidak mau taat pada apa yang diperintahkan kedua orang tua baik dalam perkara yang diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala maupun tidak. Ini bertentangan dengan firman-Nya,
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ
“Sungguh Rabb-mu telah memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain kepada-Nya dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (al-Isra: 23)
قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗاۖ
“Katakan, ‘Marilah kubacakan apa yang telah diharamkan kepada kalian oleh Rabb kalian yaitu janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (al-An’am: 151)
Sangat bertentangan dengan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya sebagai berikut.
Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ: أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلىَ وَقْتِهَا. قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ. قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amalan apa yang paling dicintai oleh Allah?’
Beliau berkata, ‘Shalat pada waktunya.’
Aku berkata, ‘Kemudian apa?’
Beliau berkata, ‘Berbuat baik kepada kedua orang tua.’
Aku berkata, ‘Kemudian apa?’
Beliau berkata, ‘Jihad di jalan Allah’.” (HR. al-Bukhari, 10/336 dan Muslim no. 85)
Kelompok ketiga menaati perintah kedua orang tua selama tidak bertentangan dengan syariat Allah subhanahu wa ta’ala dalam arti tidak dalam rangka bermaksiat. Inilah sikap yang benar sesuai dengan ayat-ayat dan hadits-hadits di atas. Tidak ifrath dan tidak pula tafrith.
Jika ada pertanyaan, bagaimana hukum menaati kedua orang tua? Jawabnya tidak spontan wajib. Namun membutuhkan rincian. Jika perintah tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah subhanahu wa ta’ala, maka wajib untuk menaatinya. Apabila perintah tersebut bertentangan dengannya, maka wajib untuk tidak taat kepada perintah keduanya. Dalilnya sebagaimana di atas.
Bagaimana bila orang tua melarang untuk menuntut ilmu agama? Menuntut ilmu agama adalah wajib atas setiap orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.” (Sahih, HR. al-Baihaqi dan lainnya dari Anas radhiallahu ‘anhu dan lainnya. Dinyatakan sahih oleh al-Albani, Shahihul Jami’ no. 3913)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ
“Ilmuilah olehmu bahwasanya La Ilaha illallah (tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah).” (Muhammad: 19)
Kita tidak boleh menaati perintah orang tua apabila mereka memerintahkan untuk tidak menuntut ilmu karena termasuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala akan tetapi ketaatan itu dalam kebajikan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah