Perbedaan sifat/ tabiat di antara manusia memang hal lumrah karena itu merupakan bagian dari ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala. Namun tentu saja, sebagai makhluk-Nya kita dituntut berikhtiar dengan menjauhi akhlak dan tabiat yang jelek. Di antaranya adalah rakus dunia dan tidak mau rujuk kepada ulama.
Manusia memiliki sifat dan tabiat yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Mengapa terjadi demikian? Sejumlah konsep pun dimunculkan untuk menjawab pertanyaan ini. Di antaranya ada yang mengatakan bahwa hal itu terjadi karena pengaruh lingkungan dan daerah asalnya. Ada juga yang mengatakan karena faktor keturunan. Yang lain mengatakan, karena pergaulan bebas tanpa ada aturan-aturan Islam. Ada pula yang berpendapat karena bawaan sejak lahir.
Terlepas benar atau tidaknya konsep tersebut, perbedaan sifat dan tabiat tersebut memang ada. Konsep yang paling mudah sebagai jawaban adalah bahwa semua itu adalah pemberian Pencipta manusia, di mana dalam perbedaan sifat dan tabiat tersebut mengandung hikmah yang besar.
Dalam satu keluarga saja, satu ayah dan satu ibu, terjadi perbedaan yang mencolok antara anggota keluarga tersebut. Ada yang memiliki sifat mudah tersinggung, egois, dan pemalas. Namun ada juga yang lemah lembut, penyayang, penyabar, giat, dan ulet dalam segala hal.
Segala perbedaan ini bukan karena keinginan kedua orang tua. Bukan pula karena keinginan mereka masing-masing. Namun hal ini merupakan keinginan Zat yang berada di atas, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّا كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَٰهُ بِقَدَرٖ ٤٩
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (al-Qamar: 49)
وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ ٩٦
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian lakukan.” (ash-Shaffat: 96)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika menjelaskan asal-muasal dan tahapan penciptaan manusia dari setetes air mani, lalu menjadi darah hingga menjadi daging. Setelah itu diutus malaikat dan meniupkan ruh kepadanya serta mencatat empat hal:
بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
“Ditulis rezekinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 6199, dan Muslim no. 2643, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu)
Bila kita mengetahui bahwa semuanya adalah pemberian Allah subhanahu wa ta’ala, maka yang tersisa bagi kita adalah mengoreksi sifat-sifat yang ada pada diri kita, apakah diridhai Allah subhanahu wa ta’ala atau tidak. Di sinilah manhaj (metode) ishlahun nafsi (memperbaiki diri) dengan cara menyesuaikannya dengan apa yang diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu dengan syariat-Nya.
Terjadinya perbedaan sifat itu tidak hanya menimpa orang-orang awam, namun juga menimpa orang-orang saleh, ulama, da’i, dan penuntut ilmu. Betapa banyak orang yang tadinya saleh, dengan sifat yang bertentangan dengan kesalehannya yang melekat pada dirinya, menjadikan dia berubah status menjadi penjahat. Begitu pula penuntut ilmu, da’i di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, dan ulama.
Dalam pembahasan ini akan dijelaskan dua sifat yang keduanya sering menggagalkan penuntut ilmu, da’i, ataupun ulama dalam usaha mereka. Pembahasan ini tidak bermaksud membatasi pada dua hal tersebut, namun masih banyak perkara lain yang bisa dilihat dalam kitab al-’Ilmu karya asy-Syaikh Muhammad Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah dan ‘Isyrina an-Nashihah karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Yamani.
Rakus terhadap Dunia
Dunia adalah sesuatu yang manis dan indah, menyejukkan, serta menenteramkan hati bagi orang yang hanya melihat dengan sebelah mata. Menggiurkan bagi orang yang memandangnya dan membahagiakan bagi orang yang telah masuk di dalamnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengungkapkan keindahan dunia dalam sebuah sabdanya:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian silih berganti padanya untuk melihat apa yang kalian perbuat. Maka takutlah kalian kepada (godaan) dunia dan takutlah kalian kepada (godaan) wanita, karena sesungguhnya godaan yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah kaum wanita.” (Sahih, HR. Muslim no. 2742 dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Orang yang paling tertipu adalah orang yang tertipu dengan dunia dan segala kenikmatan di atasnya, serta lebih mengutamakan dunia daripada akhirat. Dia ridha dunia ini sebagai ganti akhirat, sehingga sebagian orang mengatakan bahwa dunia adalah (bayaran yang) kontan sedangkan akhirat adalah utang (tertunda). Maka bayaran yang langsung (kontan) lebih baik daripada utang. Sebagian lain mengatakan bahwa dunia adalah biji-bijian yang telah tersedia, sedangkan akhirat adalah permata yang hanya sebatas janji. Sebagian lagi mengatakan bahwa kelezatan dunia benar-benar terwujud, sedangkan kelezatan akhirat hanya sebatas janji.” (al-Jawabul Kafi, hlm. 32)
Namun beliau juga mengatakan (al-Fawaid, hlm. 53), “Dunia bagaikan seorang wanita pelacur yang tidak betah dengan satu laki-laki, sehingga dia meminang banyak laki-laki (pasangan) agar mereka semua bisa berbuat baik kepadanya, dan dia tidak suka pada kecemburuan laki-laki.”
Selain itu beliau juga berkata, “Orang yang berjalan mencarinya seperti orang yang berjalan di tanah yang dihuni binatang buas. Dan orang yang berenang di dalamnya bagaikan berenang dalam air yang penuh dengan buaya.” (al-Fawaid, hlm. 54)
Dunia bagi seseorang yang memikul amanat dakwah bagaikan racun bagi tubuh. Di antara mereka ada yang bisa menangkal racun tersebut sehingga terselamatkan, dan di antara mereka ada yang terkena racun tersebut. Bagi orang yang terkena racun ada dua kemungkinan: Pertama, dia selamat dan tertolong sehingga kembali segar bugar dan berjuang. Kedua, racun itu membunuhnya, dan inilah yang biasa terjadi bila terkena racun.
Keikhlasan mereka bisa meleleh karena dunia, sehingga dia tampil menjadi orang yang berbaju hasad dan rakus. Berjalan bagaikan anjing yang selalu menjulurkan lidah karena haus dan lapar. Hidupnya bagaikan orang yang tersambar petir dari kanan dan kiri, lalu menjadi tidak tenang dan tidak tenteram, yang puncaknya adalah dia melepaskan baju kemuliaan (agama)nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ بَعْدِيْ بُطُوْنَكُمْ وَفُرُوْجَكُمْ وَمُضِلاَّتِ الْأَهْوَاءِ
“Sesungguhnya sebagian perkara yang aku takutkan menimpa kalian sepeninggalku adalah permasalahan perut-perut kalian, kemaluan-kemaluan (syahwat) kalian, dan hawa nafsu-hawa nafsu yang menyesatkan.” (HR. Ahmad, ath-Thabarani dalam ash-Shaghir, dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah. Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah hadits no. 14, hlm. 30)
بَادِرُوْا بِالْأَعْمَالِ فِتَناً كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِناً وَيُمْسِي كَافِراً، وَيُمْسِي مُؤْمِناً وَيُصْبِحُ كَافِراً، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bersegeralah kalian untuk beramal, karena akan terjadi fitnah-fitnah bagaikan potongan malam yang gelap. Seseorang beriman di pagi hari dan menjadi kafir pada sore harinya, atau di sore hari dia beriman dan di pagi harinya menjadi kafir. Dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.” (Sahih, HR. Muslim no. 118 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas pada sekelompok kambing akan lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. at-Tirmidzi no. 2377, al-Imam Ahmad, 3/406, dari sahabat Ka’b bin Malik radhiallahu ‘anhu dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, 2/280 hadits no. 1935 dan dalam ar-Raudhatun Nadzir, 5—7. Juga disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami’ush Shahih, 1/42)
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menulis dua bab dalam kitab beliau al-Jami’ush Shahih (1/41 dan 1/42) yaitu “(Bab) dikhawatirkan bagi penuntut ilmu apabila hatinya condong kepada dunia” dan “(Bab) bergelut dengan dunia akan melemahkan hafalan penuntut ilmu.” Lalu beliau membawakan hadits-hadits yang terkait dengan bab tersebut. Di antaranya hadits di atas dan juga hadits Ka’b bin ‘Iyadh radhiallahu ‘anhu yang dihasankan oleh beliau:
لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Bagi setiap umat ada fitnah (ujian/ cobaan)nya dan fitnah umatku adalah harta benda.” (HR. at-Tirmidzi no. 2337, juga disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1905 dan dalam ash-Shahihah no. 594)
Beliau juga membawakan hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu dan beliau mensahihkannya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang dunia menjadi tujuannya, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mencabik-cabik urusannya. Dan Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadikan kefakirannya ada di hadapannya, dan tidaklah datang kepadanya dunia melainkan apa yang telah dituliskan baginya. Dan barang siapa yang meniatkan akhirat, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menghimpunkan semua urusannya dan Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kaya di dalam hatinya. Dan bila dunia datang kepadanya, dunia itu dalam keadaan hina.” (HR. Ibnu Majah no. 4105 dan disahihkan juga oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah, 2/393 hadits no. 3313, dan dalam ash-Shahihah hadits no. 950)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Yamani dalam kitab ‘Isyrina an-Nashihah mengatakan, “Wahai para penuntut ilmu, berhati-hatilah kalian terhadap dunia. Berhati-hatilah dari cinta terhadapnya. Berhati-hati pula dari ketergantungan hatimu pada dunia. Karena bila hati bergantung kepada dunia dan cinta kepadanya, akan cepat tertipu dan akan hilang ilmu karenanya.”
Kemudian beliau mengatakan, “Berhati-hatilah kamu darinya, karena tidak akan bertemu dalam hati seseorang antara cinta kepada ilmu dan mencintainya. Apabila cinta kepada dunia lebih berkuasa atas dirimu, niscaya kamu akan meninggalkan ilmu dan kamu akan menyia-nyiakan dirimu.”
Tidak Mau Kembali Kepada Ulama
Kedudukan ulama di tengah umat ini sangat jelas dan terang dengan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, malamnya seperti siangnya. Mereka adalah pilihan Allah subhanahu wa ta’ala yang akan menghubungkan diri hamba-hamba-Nya dengan Allah subhanahu wa ta’ala, yang telah mewarisi peninggalan para nabi dan rasul Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَاراً وَلاَ دِرْهَماً، وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Dan sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidak pernah mewariskan dinar dan tidak pula dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang mengambilnya, sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641, at-Tirmidzi no. 2835, Ibnu Majah no. 223, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud, Shahih Sunan at-Tirmidzi, dan Shahih Sunan Ibni Majah)
Meremehkan mereka berarti engkau telah membuka pintu kehinaan dan kesesatan. Engkau menggiring dirimu sendiri ke dalam jurang kebinasaan. Memakan daging ulama adalah ciri orang-orang yang menyeleweng dan ahlul bid’ah. Apakah engkau tega memakan daging ayahmu sendiri dan gurumu?
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab al-Yamani mengatakan, “Ini adalah penampilan yang keji dan kotor… Engkau baru belajar sesaat, lalu engkau tampil seakan-akan Ibnu Hajar yang kedua, (atau) Ibnu Taimiyah di masanya, (atau) al-Imam adz-Dzahabi… Engkau melihat guru (syaikh)mu dengan pandangan penuh penghinaan.” (lihat ‘Isyrina an-Nashihah pada nasihat kesembilan)
Sesungguhnya mencerca ulama pada hakikatnya bukan cercaan terhadap diri mereka semata, namun cercaan terhadap ilmu yang dibawanya, yang sama artinya dengan mencerca Islam. Karena ilmu itu adalah Islam sedangkan Islam datang dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala melalui Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat Fitnah at-Takfir, hlm. 16)
Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih al-Bukhari mengatakan, “Barang siapa menyakiti orang alim (ulama) maka sungguh dia telah menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan barang siapa yang menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menyakiti Allah subhanahu wa ta’ala.” (lihat Fitnah at-Takfir, hlm. 17)
Bila demikian kedudukan mereka, tahukah engkau apa yang mereka bawa? Yang mereka bawa adalah Islam. Apakah engkau ingin menjadi pembantu (musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala) dalam memerangi Islam? Sesungguhnya orang-orang yang menuduh para ulama bahwa pengetahuan mereka dangkal atau sebagai orang yang suka berbasa-basi, maka mereka telah membantu musuh-musuh Islam untuk mewujudkan keinginan mereka. (lihat Fitnah at-Takfir, hlm. 16)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman