Dzulqa’dah sudah di ambang pintu dan Madinah masih sibuk seperti biasanya. Setelah Makkah berada dalam pangkuan Islam, kabilah-kabilah Arab dan sejumlah raja kecil di sekitar Hijaz silih berganti mengirimkan utusan mereka. Ada yang menerima dan memeluk Islam, ada pula yang masih tetap dalam keyakinan lamanya, tetapi bersedia menyerahkan jizyah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam belum pernah menunaikan ibadah haji (Haji Islam). Ketika muncul keinginan untuk menunaikan haji, beliau memberitahukannya kepada seluruh kaum muslimin.
Mendengar berita ini, tidak hanya para sahabat yang berada di Madinah dan sekitarnya saja yang bersiap-siap, mereka yang di Makkah pun ikut sibuk menyiapkan segala persiapannya. Mereka akan menyambut tamu paling agung yang pernah menziarahi Rumah Suci (Ka’bah) ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Selain itu, teman lama dan kerabat mereka juga akan turut serta.
Baitullah (Ka’bah) yang telah bersih dari kotoran dan budaya syirik seakan memanggil orang-orang yang dahulu pernah memujanya dengan adat jahiliah, agar memuliakannya dengan tata cara dan tuntunan tauhid. Sahara dan bukit cadas turut merasakan kegembiraan menyambut berita bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan berhaji pada tahun itu.
Pada 25 Dzulqa’dah 10 H, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat mulai mengarahkan kendaraan mereka ke Masjidil Haram. Semua istri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ikut serta, tidak ada yang tertinggal, seakan Allah subhanahu wa ta’ala mengilhamkan kepada beliau bahwa haji ini adalah pertanda akan berakhirnya pengabdian beliau di dunia ini.
Baca juga: Bekal untuk Jamaah Haji
Perlahan, rombongan jamaah haji yang mulia ini mulai bertolak meninggalkan gerbang Madinah. Atap-atap rumah dan pucuk-pucuk kurma melambai-lambai seakan mengucapkan, “Selamat jalan, jamaah haji yang mulia.…”
Dalam perjalanan, belum lama setelah meninggalkan Madinah, ribuan kaum muslimin dari berbagai pelosok di sekitar Madinah berjalan mengiringi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersama para sahabat. Mereka ingin meraih keutamaan menunaikan haji bersama kekasih mereka, Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Jabir radhiallahu anhu berkata, “Aku melihat lautan manusia mengelilingi beliau. Ada yang berkendaraan, ada pula yang berjalan kaki, di kanan, kiri, depan, dan di belakang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sejauh mata memandang.”
Dari mana mereka datang? Hendak ke mana ribuan manusia ini?
Empat tahun lalu, beliau bersama 1.400 orang sahabat atau lebih, berangkat untuk mengerjakan umrah. Akan tetapi, kesombongan jahiliah yang masih tertanam di hati bangsa Quraisy mendorong mereka menolak tamu-tamu yang agung ini untuk menziarahi Ka’bah.
Penolakan itu bukanlah sebuah kehinaan bagi kaum muslimin, melainkan kemuliaan, kemenangan, bahkan kemenangan yang agung.
Peristiwa Hudaibiyah, 6 H
Saat mereka berada dalam satu tekad membela Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, kemudian menyatakan siap menuntut bela atas tertumpahnya darah Utsman bin Affan, yang diduga terbunuh di tangan Quraisy; hati mereka menyatu, tak akan mundur setapak pun, meskipun harus berkalang tanah.
Tercetuslah sumpah setia di bawah sebatang pohon, yang dikenal dengan peristiwa Baiatur Ridhwan. Sebuah kenangan yang tak terlupakan.…
Sesaat, datanglah Suhail bin Amr sebagai utusan Quraisy. Dia mendesak agar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat kembali ke Madinah, tidak memasuki Makkah pada tahun itu. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerima kesepakatan itu. Akan tetapi, para sahabat yang melihat Makkah sudah di depan mata, sempat kecewa, mengapa harus kembali? Namun, mereka tunduk dan menerima keputusan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Baca juga: Perjanjian Hudaibiyah
Mereka yakin, di balik kejadian ini pasti akan ada kemenangan. Memang, bahkan kemenangan yang sangat agung. Akhirnya, Islam tersebar ke seluruh penjuru tanah Arab. Dari berbagai pelosok, mulai rakyat biasa hingga kepala suku dan raja-raja kecil datang bertanya tentang Islam. Kemenangan mana lagi yang lebih hebat dari ini?
Setahun kemudian, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kembali mengarahkan kendaraannya bersama para sahabat menuju Masjidil Haram untuk menunaikan umrah yang tertunda.
Umratul Qadha telah menampakkan kewibawaan dan keagungan Islam sekaligus keperkasaan para pembelanya. Nyali Quraisy semakin ciut melihatan kekuatan kaum muslimin. Ternyata, di balik fisik yang terlihat lemah itu, tersimpan kekuatan yang demikian dahsyat. Kekuatan yang pada saatnya nanti akan datang kembali sebagai penakluk, pembebas Kota Suci Makkah, yang akan membersihkan Ka’bah dari berhala dan simbol-simbol kesyirikan. Itulah kekuatan yang bersumber dari hati yang terisi iman yang murni. Kekuatan itulah yang meluluhlantakkan kesombongan jahiliah di dada masyarakat Quraisy dan orang-orang Arab di sekitar mereka. Kekuatan itu pula yang menaklukkan sepertiga belahan bumi ini.
Sesudah itu, sepuluh ribu orang tentara Allah subhanahu wa ta’ala datang ke Makkah untuk membersihkan Baitullah dari berbagai berhala dan tempat pemujaan di sekelilingnya. Fathu Makkah, benar-benar kemenangan yang agung.
Kini, pada tahun kesepuluh, kerikil dan pasir sahara kembali terkesima menyaksikan ribuan kaki yang melintasi mereka. Ke manakah gerangan?
Baitullah, itulah tujuan mereka … Rumah Suci pertama yang diletakkan oleh Pencipta semesta, seolah menanti ucapan salam dari para pemuja-Nya. Rumah Suci yang telah kembali suci, seakan mempercantik diri menyambut tamu-tamu agung yang ingin menziarahi.
Baca juga: Doa Untuk Makkah dan Madinah
Di tengah suasana yang syahdu, tiba-tiba suara tangis bayi membuyarkan lamunan. Mereka sudah tiba di Dzul Hulaifah. Asma’ bintu Umais, istri Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu anhu, melahirkan seorang putra yang diberi nama Muhammad. Usai melahirkan, Asma’ menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan bertanya, “Apa yang harus aku lakukan?”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Mandilah dan kencangkan kainmu, kemudian letakkanlah kain di tempat keluarnya darah dan berihramlah.”
Di situlah, di Dzul Hulaifah, setelah mereka bermalam, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mulai berihram dan diikuti oleh seluruh kaum muslimin.
Usai mengerjakan shalat Zuhur dua rakaat, beliau bertalbiah untuk haji dan umrahnya, di tempat beliau shalat. Setelah itu beliau menaiki untanya dan terus bertalbiah sampai tiba di al-Baida’,
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيكَ لَكَ
“Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi. Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya pujian dan kenikmatan itu adalah milik-Mu, (begitu juga) kerajaan, tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Di musim haji itulah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan pilihan kepada para sahabat dan kaum muslimin seluruhnya, sampai Hari Kiamat, mengenai pelaksanaan manasik haji untuk mereka, yaitu tamattu’, qiran, atau ifrad.[1]
Enam mil dari Makkah, di Sarif, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengumumkan kepada para sahabatnya, “Siapa yang tidak membawa hadyu (hewan kurban) dan ingin menjadikannya umrah, silakan! Akan tetapi, siapa yang membawa hadyu, jangan lakukan!”
Baca juga: Hukum-Hukum Seputar Hewan Kurban
Tepat di hari keempat bulan Dzulhijjah, jamaah haji agung ini tiba di Makkah. Perlahan mereka mulai mendekati Ka’bah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memasuki Kota Makkah dari arah atas, Tsaniyatul Ulya. Namun, ketika umrah, beliau masuk dari arah bawah.
Ath-Thabari menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memasuki Masjidil Haram dari pintu Bani Syaibah (sekarang). Beliau shallallahu alaihi wa sallam langsung mendekati Ka’bah untuk thawaf, tanpa shalat tahiyatul masjid.
Setelah berhadapan dengan Hajar Aswad, beliau menyentuhnya, kemudian berjalan ke kanan, memosisikan Hajar Aswad di sebelah kiri. Pada tiga putaran pertama beliau melakukan ramal (jalan cepat) sambil melakukan idhthiba’ (membuka bahu kanannya); menyelempangkan baju ihramnya ke atas pundak kiri. Tiap kali berhadapan dengan Hajar Aswad, beliau memberikan isyarat ke arahnya, menempelkan tongkatnya, lalu mencium tongkat tersebut.
Seusai thawaf, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berjalan menuju ke belakang Maqam Ibrahim sambil membaca,
وَٱتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبۡرَٰهِۧمَ مُصَلّٗىۖ
“Dan jadikanlah Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat …” (al-Baqarah: 125)
Lalu beliau shalat dua rakaat dengan posisi Maqam berada di antara beliau dan Ka’bah. Dalam shalat ini, beliau membaca surah al-Kafirun dan al-Ikhlas, sesudah al-Fatihah.
Baca juga: Beda Tawaf dan Mencium Hajar Aswad dengan Amalan Musyrikin
Kemudian beliau menuju Hajar Aswad dan menyentuhnya, lalu keluar menuju Bukit Shafa dari pintu yang sejajar dengannya. Begitu mendekati pintu, beliau membaca,
إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِۖ
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah.” (al-Baqarah: 158)
Lalu beliau mengatakan,
أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ
“Aku memulai dengan apa yang Allah memulai dengannya.”
Maksudnya, beliau memulai dari Bukit Shafa sebagaimana lafaz ayat di atas.
Setelah itu beliau menaiki Shafa hingga melihat Ka’bah, menghadap kiblat, mentauhidkan Allah dan bertakbir seraya mengucapkan,
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ [وَحْدَهُ] أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ
“Tiada sembahan yang benar selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nyalah kekuasaan dan segala pujian, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada sembahan yang benar selain Allah semata. Dia telah memenuhi janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengalahkan Pasukan Ahzab sendirian.”
Beliau shallallahu alaihi wa sallam berdoa di antara bacaan itu dan mengucapkan kalimat itu tiga kali.
Setelah itu, beliau turun menuju Marwah hingga ketika kedua kaki beliau sudah menginjak perut lembah (sekarang diberi tanda hijau), beliau melakukan sai. Ketika sudah naik, beliau berjalan sampai tiba di Marwah, lalu mengerjakan amalan sebagaimana yang beliau lakukan di atas Bukit Shafa. Selesai sai, beliau berkata, “Orang-orang yang tidak membawa hadyu, boleh melepas pakaian ihramnya (tahalul).”
Baca juga: Wajib Menerima Sunnah Nabi dalam Hal Akidah, Ibadah, dan Muamalah
Pada 8 Dzulhijjah, pada Hari Tarwiyah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan rombongan menuju Mina. Setibanya di Mina, beliau berdiam kemudian melaksanakan shalat Zuhur, Asar, Magrib, Isya, dan Subuh di sana.
Beliau shallallahu alaihi wa sallam tinggal di Mina sampai terbit matahari, lalu bertolak menuju Arafah.
Di Arafah, beliau mendapati sebuah tenda sudah dibuat untuk beliau di Namirah (sebuah daerah di Arafah). Beliau shallallahu alaihi wa sallam pun singgah di sana.
Ketika matahari sudah condong (ke barat), beliau minta dibawakan al-Qashwa, unta beliau. Kemudian beliau menuju perut lembah dan berkhotbah di hadapan kaum muslimin.
Ribuan manusia, yang satu hati dan satu tujuan, semuanya mengagungkan Pencipta mereka yang Maha Esa. Semua tunduk melantunkan talbiah tauhid. Hilang sudah kesombongan jahiliah.…
Baca juga: Kebenaran Tercampakkan karena Kedengkian dan Kesombongan
Di sanalah beliau memulai khotbahnya yang agung. Pesan-pesan terakhir yang seolah mengisyaratkan bahwa itulah penutup dari rangkaian perjalanan risalah Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang kepada hamba-Nya, yang beliau emban lebih dari dua puluh tahun.
Setelah memuji Allah subhanahu wa ta’ala, mengucapkan syahadatain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan pesan-pesannya,
“Amma ba’du. Wahai sekalian manusia! Aku tidak tahu apakah masih akan bertemu kembali dengan kalian sesudah haji tahun ini di tempat ini (ataukah tidak) ….”
Hening. Para sahabat terpaku. Di bawah langit nan biru, ketika mereka merasakan bahagia, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam justru mengisyaratkan perpisahan?
“Wahai sekalian manusia! Hari apakah ini? Bulan apakah ini?”
Setiap kali beliau bertanya, para sahabat terdiam. Mungkin Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ingin memberikan nama yang baru.
“Bukankah hari ini adalah hari Haji Akbar?”
“Benar,” sahut para sahabat.
“Bukankah ini bulan haram?”
“Benar,” kembali para sahabat menjawab.
Lalu beliau bertanya lagi, “Negeri apakah ini?”
Para sahabat terdiam, mungkin beliau hendak mengganti namanya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun berkata, “Bukankah ini adalah Tanah Haram (Tanah Suci)?”
“Benar,” sahut para sahabat.
Setelah itu beliau memulai khotbahnya,
“Sungguh, darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram (suci, tidak boleh dilanggar), seperti sucinya hari kalian ini, di bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini.
Baca juga: Menjaga Kesucian Darah Harta dan Kehormatan Sesama Muslim
Janganlah kalian kembali menjadi orang-orang yang kafir (ingkar) sepeninggalku, yang saling membunuh satu dengan yang lain.
Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya semua perkara jahiliah berada di bawah telapak kakiku ini. Semua urusan darah (utang nyawa, pembunuhan) ala jahiliah, gugur dan tidak ada nilainya (tidak ada tebusannya).
Adapun urusan darah pertama yang akan aku gugurkan adalah darah Rabi’ah bin al-Harits, yang menyusu di Bani Sa’d lalu dibunuh oleh orang-orang dari suku Hudzail.
Demikian pula perkara riba jahiliah, aku hapuskan semuanya. Tidak ada nilainya (tidak perlu ditunaikan). Adapun riba pertama yang akan aku gugurkan adalah riba (keluarga) kami, riba Abbas bin Abdul Muththalib.
Baca juga: Makna Jahiliah dan Macamnya
Wahai manusia! Bertakwalah kalian dalam urusan wanita. Sungguh, kalian (wahai kaum pria) telah mengambil mereka dengan amanat dari Allah. Kalian telah menjadikan kehormatan (kemaluan) mereka halal dengan kalimat Allah.
Kalian mempunyai hak yang wajib dipenuhi oleh para istri. Salah satu di antara hak kalian adalah mereka tidak boleh mengizinkan siapa saja yang tidak kalian senangi untuk menginjakkan kaki di permadani atau lantai rumah kalian. Kalau mereka melanggarnya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai.
Istri-istri kalian juga mempunyai hak yang wajib kalian penuhi, yaitu menerima pakaian dan rezeki yang layak.
Baca juga: Hak Suami Istri
Wahai manusia! Aku telah meninggalkan sesuatu untuk kalian, yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengannya, yaitu Kitabullah.
Kalian semua pun akan ditanya tentangku, maka apa jawaban kalian?”
Para sahabat serempak menjawab, setelah beberapa saat terpana mendengar khotbah beliau, “Kami bersaksi bahwa Anda telah menyampaikan risalah, menunaikan amanat, dan memberikan nasihat.”
Mendengar jawaban mereka, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengangkat telunjuknya ke langit, lalu mengarahkannya ke arah ribuah jamaah haji yang mulia itu sambil berkata, “Ya Allah, saksikanlah!” tiga kali.
Baca juga: Pembelaan Terhadap Nabi Muhammad
Selepas khotbah tersebut, Bilal pun mengumandangkan azan dan iqamat lalu menegakkan shalat Zuhur. Lalu dia mengumandangkan iqamat kembali untuk kemudian melaksanakan shalat Asar. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak melakukan shalat apa pun di antara keduanya.
Selesai shalat, beliau mendatangi tempat wuquf lalu menderumkan untanya, al-Qashwa. Beliau shallallahu alaihi wa sallam duduk di atas sahara sambil menghadap kiblat, lalu mulai berdoa.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah.”[2]
Beliau shallallahu alaihi wa sallam tetap melakukan wuquf sampai matahari benar-benar terbenam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengencangkan tali kekang al-Qashwa dan bertolak menuju Muzdalifah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menundukkan kepalanya hingga menyentuh pelana di atas kendaraannya, sembari berkata dengan (isyarat) tangan kanannya, “Wahai manusia! Perlahan-lahanlah, perlahan-lahanlah!”
Sesampainya di Muzdalifah, beliau mengerjakan shalat Magrib dan Isya dengan satu azan dan dua iqamat, tanpa shalat sunnah di antara keduanya. Kemudian beliau berbaring sampai terbit fajar dan mengerjakan shalat Subuh (fajar) ketika telah tiba waktunya, dengan satu azan dan iqamat.
Baca juga: Hukum Mengqashar Shalat dalam Safar
Setelah itu beliau berangkat hingga tiba di Masy’aril Haram, kemudian menghadap kiblat, berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bertakbir membesarkan-Nya, serta mentauhidkan-Nya. Beliau shallallahu alaihi wa sallam tetap berdiri sampai hari betul-betul terang.
Sebelum matahari terbit, beliau bergerak hingga tiba di dasar Lembah Muhassir. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mempercepat kendaraannya agar bisa segera melewati tempat tersebut. Itulah tuntunan beliau apabila melewati daerah yang dahulu pernah turun di situ azab Allah subhanahu wa ta’ala yang menghancurkan musuh-musuh-Nya. Di sanalah dahulu Abrahah dan gajahnya dihancurkan oleh Allah Yang Mahaperkasa, sebagaimana diceritakan dalam surah al-Fil. Perbuatan ini pula yang dilakukan beliau ketika melalui perkampungan Hijr (yang pernah dihuni bangsa Tsamud).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berjalan melewati jalan yang tengah dan keluar menuju Jumrah al-Kubra, jumrah yang ada di dekat pohon (batas akhir Mina). Kemudian melemparinya dengan tujuh kerikil; kerikil sebesar satu ruas ujung jari kelingking, sambil bertakbir pada setiap lemparan.
Selesai melempar jumrah, beliau menuju tempat penyembelihan dan mulai menyembelih 63 ekor unta dengan tangan beliau sendiri. Sisanya, 37 ekor, beliau serahkan agar disembelih oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu. Lalu beliau memerintahkan agar dagingnya disedekahkan kepada orang-orang miskin.
Baca juga: Tata Cara Menyembelih Hewan Kurban
Usai menyembelih, beliau memanggil tukang cukurnya, “Wahai Ma’mar! Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyerahkan rambut dekat telinganya kepadamu ….”
“Wahai Rasulullah, ini adalah karunia besar bagiku,” ujar Ma’mar.
“Benar,” jawab Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.[3]
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun memerintahnya untuk mencukur dari yang kanan. Setelah itu beliau membagikan rambut tersebut kepada sahabat-sahabat yang ada di dekat beliau.
“Apakah Abu Thalhah ada di sini?” Tanya beliau.
Para sahabat menjawab, “Ada.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun menyerahkan rambut sebelah kirinya kepada Abu Thalhah radhiallahu anhu.
Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berangkat dan bertolak menuju Ka’bah dan shalat Zuhur di Makkah. Beliau shallallahu alaihi wa sallam menemui Bani Abdul Muththalib yang bertugas memberikan minum kepada para jamaah haji dengan air zamzam.
Beliau shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Bagilah, wahai Bani Abdul Muththalib! Kalau bukan karena khawatir akan dianggap manasik, tentu aku akan membagi dan minum bersama kalian.” Mereka pun memberi beliau secangkir air zamzam. Beliau meminumnya sambil berdiri.
Baca juga: Bolehkah Minum Sambil Berdiri?
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa beliau berkhotbah dua kali di Mina. Yang pertama adalah pada Hari Nahar (penyembelihan). Yang kedua adalah ketika Hari Tasyriq. Pada kesempatan itu, beliau mengingatkan kaum muslimin, terutama para sahabat yang hadir ketika itu,
“Sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah di Jazirah Arab, tetapi dia begitu berambisi untuk menimbulkan permusuhan di antara kalian.
Zaman telah kembali sebagaimana Allah menciptakan langit dan bumi. Jumlah bilangan bulan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala ada dua belas. Empat di antaranya adalah bulan-bulan haram: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab Mudhar yang terletak antara Jumadi (Tsani) dan Sya’ban.
Wahai manusia! Rabb kalian adalah satu. Ayah kalian adalah satu, yaitu Adam. Kalian semua berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah.
Yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa kepada Allah. Tidak ada kelebihan yang dimiliki orang Arab atas orang ajam (non-Arab), kecuali dengan ketakwaan.
Sampaikanlah semua ini kepada yang tidak hadir. Bisa jadi, yang disampaikan itu lebih paham daripada yang mendengar.”
Baca juga: Engkau Istimewa karena Takwa
Itulah sebagian khotbah beliau, yang seolah memberikan isyarat bahwa usia beliau yang penuh berkah akan segera berakhir. Pertemuan dan kebersamaan akan usai. Beliau shallallahu alaihi wa sallam pun bersiap-siap menjumpai kekasihnya, Allah subhanahu wa ta’ala.
Tuntas sudah. Semua yang terkait dengan ibadah haji, sebagai rukun Islam yang kelima, telah beliau ajarkan, baik melalui ucapan maupun perbuatan.
Tidak hanya itu, seluruh ajaran Islam, mulai dari akidah (tentang keimanan, kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan urusan gaib), ibadah, akhlak, dan muamalah, baik terkait dengan individu maupun kenegaraan, telah beliau ajarkan.
Benarlah sabda beliau, dan memang pantas beliau untuk dibenarkan, tatkala bersabda,
إنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقّاً عَلَيْهِ أنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَيُنْذِرَهُم شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُم
“Sesungguhnya, tidak ada seorang nabi pun sebelumku, kecuali wajib baginya untuk membimbing umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya dan melarang mereka dari kejahatan yang diketahuinya.”[4]
Kebaikan yang paling utama yang beliau perintahkan adalah tauhid, yaitu menyerahkan seluruh ibadah (berdoa, meminta syafaat, istighatsah, dan sebagainya) hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Adapun kejahatan terbesar yang beliau larang adalah syirik, yaitu menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal-hal yang khusus bagi Allah, seperti syirik dalam rububiyah, yaitu meyakini adanya kekuatan selain Allah yang mengatur alam semesta ini, ada yang memberi rezeki selain Allah, ada yang menghidupkan dan mematikan, menjadikan seseorang kaya atau miskin selain Allah, dan sebagainya.
Kemudian syirik dalam uluhiyah, yaitu menyerahkan ibadah—yang sebetulnya merupakan hak Allah yang paling utama—kepada sesuatu selain Dia, apakah kepada nabi yang diutus, malaikat yang didekatkan, atau selain mereka.
Baca juga: Syirik
Ditegaskan pula oleh Allah subhanahu wa ta’ala bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sudah menyampaikan risalah-Nya dengan sempurna. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينًاۚ
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (al-Maidah: 3)
Oleh sebab itu, tidak ada satu pun urusan agama ini yang cacat sehingga harus ditambah, atau berlebih sehingga perlu dikurangi.
Ayat ini turun saat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam masih hidup, bahkan belum beranjak meninggalkan Tanah Suci Makkah setelah menunaikan ibadah hajinya. Artinya, masih ada kemungkinan akan terjadi perubahan dalam syariat Islam yang beliau bawa. Namun, ternyata tidak ada perubahan apa pun. Walillahil hamdu.
Ayat ini adalah dalil pertama yang harus dihadapkan kepada para pengusung kebatilan, siapa pun dia, di mana saja dan kapan saja. Maka dari itu, sesuatu yang pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bukan merupakan ajaran Islam, pada zaman ini dan seterusnya pun juga bukan bagian dari Islam. Siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam agama ini, berarti dia telah menuduh Muhammad shallallahu alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya.
Baca juga: Agama Ini Telah Sempurna
Agaknya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun sudah menyadari bahwa ajalnya sudah dekat. Beberapa bulan sebelumnya, ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau berpesan, “Wahai Muadz, mungkin engkau tidak lagi menjumpaiku sesudah ini. Mungkin engkau hanya melewati masjidku ini dan kuburanku.”
Muadz menangis tersedu-sedu mendengar pesan Sang Junjungan. Berat hatinya meninggalkan Madinah. Akan tetapi, tugas ini dipercayakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ke pundaknya. Pantas dan sangat pantas Muadz menangis. Kita pun seharusnya demikian. Tidak ada kesedihan yang lebih berat daripada berpisah dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, di dunia, apalagi di akhirat. Na’udzu billah min dzalik!
Setelah menunaikan thawaf wada’, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersama kaum muslimin bersiap menuju Madinah. Istirahat? Bukan, melainkan melanjutkan jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala.
Baca juga: Berjuta Cinta dalam Bayang-Bayang Pedang
Beberapa hari kemudian, beliau jatuh sakit.…
Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan atasmu, wahai Junjungan.
Catatan Kaki:
[1] Haji tamattu’ adalah mengerjakan umrah pada bulan-bulan haji, lalu bertahalul dari umrah itu untuk melaksanakan haji pada tahun itu juga. Haji qiran ialah berihram untuk haji dan umrah secara bersamaan (sekaligus). Adapun haji ifrad adalah berihram hanya untuk haji.
[2] Penggalan hadits dari Thalhah bin Ubaidillah bin Katsir, diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (1/422) dengan sanad yang mursal. Namun, ada penguatnya dari jalur Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, dalam Sunan at-Tirmidzi (no. 3579).
[3] HR. Ahmad (6/187) dan Abu Dawud (2019). Dinyatakan sahih oleh al-Hakim (1/467) dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
[4] HR. Muslim (6/18, 1844) (46).