Hawwa’ Bintu Yazid

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu Imran)

Rasulullah n memulai dakwahnya secara terang-terangan, menyerukan tauhid kepada seluruh manusia. Musim haji adalah saat yang tepat untuk mendakwahkan agama Allah l ini kepada seluruh manusia, saat berbagai kabilah dari berbagai penjuru Jazirah Arab datang ke Baitullah di negeri Makkah. Pada saat seperti ini, Rasulullah n mendatangi kabilah-kabilah itu. Beliau ajak mereka masuk Islam.
Di musim haji itu, datang pula beberapa orang dari Yatsrib (Madinah). Setelah bertemu dengan Rasulullah n, mereka menyatakan diri masuk Islam. Mereka pun pulang ke Yatsrib sebagai muslimin. Namun, kondisi negeri mereka membuat mereka masih harus menyembunyikan keislamannya. Di saat cahaya Islam mulai memancar di negeri Yatsrib ini, Allah l membuka hati seorang wanita untuk menerima keimanan. Dia adalah Hawwa’ bintu Yazid bin Sinan bin Kurz bin Za’ura’ bin Abdil Asyhal al-Anshariyah.
Seperti yang lain, Hawwa’ harus menyembunyikan jatidirinya sebagai muslimah. Terlebih suaminya, Qais ibnul Khathim, masih di atas agama nenek moyangnya.
Namun, suatu waktu, ketika Hawwa’ sedang shalat, suaminya masuk. Qais amat berang. Melihat istrinya sujud, diinjaknya kepala istrinya.
“Kamu memeluk agama yang tidak diketahui agama apa itu?!” hardiknya.
Sejak itu, Qais ibnul Khathim tak henti-henti menghalangi dan menindas istrinya.
Sementara itu, di negeri Makkah, Rasulullah n senantiasa mencari tahu keadaan kaum muslimin yang ada di Yatsrib. Sampailah berita tentang Hawwa’ dan penentangan suaminya kepada beliau.
Tahun kedua setelah kenabian. Pada musim haji berikutnya, datang dua belas tokoh negeri Yatsrib untuk berhaji. Mereka bertemu dengan Rasulullah n, masuk Islam dan menyatakan janji setia untuk membela beliau dan dakwah beliau. Tercetuslah Bai’at Aqabah yang pertama. Mereka pulang dan mulai mengajak penduduk Yatsrib untuk berislam. Tersebarlah Islam di negeri itu.
Pada musim haji itu, Qais ibnul Khathim juga tengah berada di Makkah untuk menyelesaikan keperluannya. Bertepatan saat Qais berada di pasar Dzul Majaz, Rasulullah n menemuinya. Beliau mengajaknya masuk Islam.
“Alangkah bagusnya apa yang kauserukan,” ujar Qais setelah mendengar penjelasan Rasulullah n tentang Islam. “Yang kauserukan ini benar-benar bagus. Tetapi, aku terlalu sibuk berperang sehingga tak bisa mengikuti perkara ini,” lanjutnya.
Rasulullah n tak berhenti berusaha dan mendesak Qais. Namun, Qais berkali-kali menolak dengan alasannya itu.

Akhirnya, Rasulullah n mengatakan kepadanya, “Wahai Abu Yazid, kudengar tentang istrimu, Hawwa’. Engkau selalu berbuat jelek kepadanya sejak dia meninggalkan agamamu. Takutlah kepada Allah! Berjanjilah kepadaku bahwa kau tak akan menghalanginya lagi.”
“Baiklah, demi kemuliaan!” Qais bersumpah menyetujui permintaan Rasulullah n. “Aku akan melaksanakan apa yang kauinginkan. Aku tak akan menghalanginya lagi.”
Qais pulang membawa janjinya.
“Wahai Hawwa’,” katanya kepada istrinya, “Aku bertemu dengan temanmu, Muhammad. Dia memintaku berjanji untuk berbuat baik padamu. Dan aku—demi Allah—akan memenuhi janjiku kepadanya. Lakukan apa pun yang kauinginkan. Demi Allah, kau tak akan mendapatkan gangguanku selamanya!”
Sejak itu, Hawwa’ menampakkan keislamannya yang dahulu selalu disembunyikannya. Qais tak pernah menghalanginya sedikit pun.
Orang-orang pernah menegur Qais atas perbuatannya itu. “Wahai Abu Yazid, istrimu itu sudah mengikuti agama Muhammad!”
Qais menjawab, “Aku telah berjanji kepada Muhammad tidak akan berbuat jelek kepada istriku, dan aku akan memenuhi janjiku padanya.”
Hawwa’ bintu Yazid, semoga Allah l meridhainya…
Sumber Bacaan:
al- Ishabah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani (8/93—95)
ath-Thabaqatul Kubra, al-Imam al-Mizzi (305—306)